*I'm having the day from hell
* It was all going so well (before you came)
*And you told me you needed space
*With a kiss on the side of my face (not again)
(When it All Falls Apart – The Veronicas)
Artikel tentang aku dan Ares dimuat beberapa hari kemudian. Tidak diragukan lagi, Ares sanggup mengalihkan perhatian pembaca dari hubungan kami dengan menulis pengalamanku tentang inspirasi untuk menulis Athena's Diary lebih banyak. Aku puas dan lega, meski ada beberapa pertanyaan dari penggemar yang menanyakan hubunganku dengan Ares dulu. Tapi, selalu kujawab sekenanya saja.
Namun, pikiranku tetap saja terganggu...
Sejak hari dimana Ares menangkapku dan Adrian berdua di apartemen, aku yakin dia jadi berpikiran macam-macam. Karena, aku sempat berharap hubungan kami sebenarnya akan kembali seperti semula – apalagi setelah membuka paketnya. Ada beberapa bungkus kacang giling dari Fair Grounds dan mug buatan tangan yang khusus dikirim Artemis dari Yunani. Ketika aku meneleponnya untuk ucapan terima kasih, Ares hanya membalas dengan sama-sama yang singkat dan dingin.
Uh.
Adrian? Dia tidak datang ke apartemenku dalam empat hari terakhir. Mungkin sibuk mengurus rumahnya di Brooklyn.
Well, hari ini, setelah mengabari Mitha tentang gaunnya, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke kawasan Manhattan. Aku sengaja memakai scarf tebal sampai menutupi sebagian daguku karena suhu hari ini hampir lima derajat Celsius. Juga, untuk mengalihkan perhatian dari orang-orang. Bagaimana pun juga, artikel Ares sangat menyedot perhatian.
Mataku lalu menangkap sebuah kedai kopi dengan nama Branchworth Coffee. Terdengar familiar, lalu kukeluarkan kartu nama Eris dan... oke, ternyata ini memang kedai miliknya! Hati-hati, aku menyeberangi jalan dan berjalan ke sana.
Begitu masuk, aku disambut ruangan dengan desain ala kafe Prancis. Memang tidak sehangat Fair Grounds atau seluas Starbucks, tapi aku takjub dengan perabotan kayunya yang klasik.
"Selamat datang!" Eris dengan cepat sanggup menguasai dirinya untuk tidak menyebut namaku. "Silakan, ada meja kosong di dekat jendela."
Dia mengantarku ke meja dengan satu kursi di dekat jendela yang menghadap jalanan Manhattan. Meja ini juga terletak cukup jauh dari meja lain. Tangan Eris kemudian mengeluarkan notes dan pena untuk mencatat pesananku.
"Ar baru pulang dari sini," katanya setengah berbisik dan aku tahu nama asli dari inisial Ar. "Kamu nggak tahu hari ini dia pergi ke Norfolk?"
Mataku mengerjap kaget. "Dalam rangka apa?"
Dia termenung sejenak. "He didn't tell me. Tapi, selama satu jam di sini, dia kelihatan gelisah banget."
"Mungkin ada urusan sama temennya," gumamku asal. By that mean, bisa saja bertemu dengan Jared. Eh, tapi dia kan lagi ada di Bandung! "Hazelnut coffee, ya."
"Oke." Eris mencatatnya, lalu menyerahkan pesananku pada barista.
Sambil menunggu pesanan datang, aku mengecek beberapa email yang masuk lewat ponsel dan tidak lama kemudian, sebuah panggilan menginterupsi. Dari Adrian.
"Halo?"
"Halo, Dita, kamu lagi ada dimana?"
"Aku di Branchworth Coffee, Manhattan—"
"Oke, tunggu, aku ke sana!"
Adrian langsung menutup teleponnya dan sepuluh menit kemudian, tepat saat pesananku datang, Adrian masuk dengan tatapan khawatir dan lega yang ganjil. Dia menghampiriku sambil menarik satu kursi dan menempatkannya di hadapanku.
"Well, emh..." Adrian duduk "...artikel yang di New York Times..."
"Kenapa?"
"Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"
Aku hampir lupa untuk menceritakan apa yang terjadi di apartemen Ares saat itu. Adrian yang tadinya khawatir, berubah jadi penasaran karena aku tidak menjawab langsung. Tapi, kemudian berubah tenang saat aku menceritakan bahwa artikel itu sudah dinegosiasikan olehku dan Ares sebelumnya.
"Maaf aku berpikiran yang macam-macam. Tapi, setelah hari itu di apartemen kamu..." Adrian meringis "...kalian berdua masih berhubungan?"
Mataku menyapu seluruh ruangan – mengawasi kalau ada yang menguping kami saat ini. "Nope. Kayaknya dia lagi sibuk."
Kepalanya mengangguk lemah. Sebenarnya, aku menangkap ada sesuatu yang tidak beres darinya – seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, aku lebih memilih untuk diam sambil menikmati kopi dan pemandangan Manhattan dari jendela.
"Mau ke Brooklyn?" tawarnya tiba-tiba. "Mau lihat rumahku dulu?"
Menimbang tidak ada hal yang akan kulakukan di apartemen, aku mengiyakan dengan anggukan.
***
~ (oleh @erlinberlin13)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)