Warung Bebas

Tuesday 4 October 2011

#23 Denial (pt 1)

That awful memory of yours
 What blessing, what a curse
And all our confessing forgotten every word we're saying
From the womb, I heard my name on your lips
It sounds the same
As the many times I've ignored since that day...
(That Awful Memory of Yours – Copeland)


Tidak ada band yang bisa menandingi Copeland bagiku. Bahkan, setelah lima tahun sejak bubar, lagu-lagu mereka tidak pernah membosankan dan sanggup menemaniku dalam situasi apapun.
Termasuk situasi ini. Situasi di mana semuanya berwarna abu-abu.
Ponselku sengaja tidak diaktifkan selama empat hari terakhir untuk menghindari panggilan apapun dan dari siapapun. Satu hari setelah konser itu, aku sempat demam, tapi sanggup bertahan sampai sembuh dan memutuskan untuk tidak keluar dari apartemen.
Hah, selalu begini! Tapi, aku tidak bisa menerima dengan apa yang dilakukan Adrian! Kenapa dia menghalangi pertemuanku dan Ares di Norfolk?! Apa dia ketakutan atau terlalu cemburu?
Seseorang mengetuk pintu. Aku cukup tenang karena itu hanya kurir yang mengantarkan postcard. Namun, tiba-tiba saja aku jadi ingat—AH! Mataku kemudian membaca siapa pengirimnya – Yudika Firdiyantoro. Postcard-nya kali ini adalah pemandangan savana di Afrika dengan zebra, jerapah, dan singa di dalamnya.
Di baliknya ada sebuah surat juga. Antara penasaran dan gelisah, aku membacanya.
--
Hi, Cupid!
It seemed like I was too cold at the first letter :)
Well, aku belum mengucapkan selamat atas kesuksesan "Athena's Diary". Momo baru membelinya via online dan beberapa hari lalu, aku baru selesai membacanya. Still the awesome you, aku tidak pernah meragukan kemampuan kamu
dalam menulis. :D

Hmm, tapi ada satu hal lain yang mengejutkanku. I checked your personal blog and there was so many people who asked about an article in New York Times. Aku baru cek di situsnya dan menemukan artikel yang dimaksud, "Past in Present" – ditulis oleh Ares. It shocked me, by the way; apa dia menulis artikel itu atas sepengetahuan kamu?
Ah, well, I'm not good enough at writing a letter. Reply anytime? Maybe with another postcard or leave an email for me.
* *
Regards,
-y


Aku ingin sekali membalasnya, tapi... ah, it's not the right time.
Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Siapa lagi? Aku menyeret kaki ke arah pintu dan membuka pintu tanpa mengecek siapa yang datang karena terlalu malas. Sialnya, ternyata itu bukan keputusan yang bagus.
Aku mematung di ambang pintu. Ares.
"Oh, God, thanks!" serunya dengan wajah lega. "NYT baru menerima berita kalau ada seorang gadis yang tewas di apartemen, I'm worried if—ah, lupakan! Glad to see you're okay!"
"Ayo masuk," sambutku singkat.
Ares membawakanku makanan karena mengkhawatirkan kondisiku. Apalagi setelah teleponnya tidak diangkat beberapa kali. Hmm, aku jadi tergoda untuk mengaktifkan ponsel untuk mengecek berapa panggilan darinya yang masuk.
Kami duduk di meja makan. Sementara aku mencari topik pembicaraan, Ares mengeluarkan makanan yang dia bawa – beberapa roti kering dan kue cokelat.
"Ares," kataku akhirnya, "soal tiket itu, aku minta maaf. Kamu pasti ngeluarin banyak uang untuk itu, biar aku bayar—"
"Jangan, Dita!" larangnya. "Sebenernya, aku nggak ngeluarin uang sepeser pun untuk tiket-tiket itu. Those are my birthday presents from... Eris."
Aku melongo. Ulang tahun? "K-Kapan? I mean, your birthday?"
"Sepuluh hari setelah ulang tahun kamu. Eris memberinya karena... dia menganggap ada sesuatu yang belum selesai di antara kita – khususnya dengan hubungan kita dulu. She wanted both of us to retrace it all,"  paparnya sambil menyodorkanku roti dan kue. "Tapi, aku masih nggak ngerti... kenapa amplopnya nggak ada di paket itu, ya? Apa jatuh?"
Aku bisa saja mengadu kalau Adrian yang menyembunyikannya. Tapi, itu berarti aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara aku dan dia. Sementara saat ini, aku masih terlalu sakit dengan perlakuan Adrian. Biar saja Ares tahu aku dan dia hanya teman sejak di bangku kuliah.
"Kayaknya sih jatuh," kataku sambil menikmati kue cokelat – pura-pura ikut bingung. Tapi, aku semakin rikuh karena Ares menatapku dalam dan penuh selidik.
"Kalian bertengkar?" tanyanya tiba-tiba.
"Bertengkar? Siapa yang bertengkar?!" Aku curiga kalau Ares juga berprofesi sebagai cenayang. Kenapa dia jadi sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan, sih?
Dia tersenyum kecil. "Sama siapa lagi? Adrian, kan?"
"Kamu ngomong apa, sih?"
Kemudian, dia menggeser kursinya ke sisi meja lain; di sampingku. Sementara aku menenggelamkan kepala ke dalam sweatshirt seperti seekor kura-kura.
Ares terkekeh, lalu menarik tanganku.

"Sebentar," bisiknya, "aku mau tes sesuatu."
Dia mencondongkan tubuhnya mendekat dan tanpa basa-basi mencium bibirku.
Awalnya, aku mengira akan ada sensasi aliran listrik dari ujung kaki ke ujung kepala yang membuat akal sehatku hilang dalam satu detik. Tapi, entah kenapa, otakku malah memberi perintah untuk mendorong Ares untuk menjauh.

Nampaknya, Ares sudah mengetahui hal ini. Karena dia tidak mengikuti kemauanku dan mengakhiri ciumannya.
"Just because we're not dating, you can't hide anything from me," ujarnya santai. "Well, you just did a denial,* Jardine." 
Aku terperangah kaget. Penyangkalan... atas apa? Penyangkalan ini seperti sudah di­-setting oleh otakku. Apa sugesti itu—"Ar..." Aku kembali menutup mulut – kenapa jadi sulit sekali untuk menjelaskannya. "Hah, aku nggak tahu harus ngomong apa! Everything seems messing my life!"
"Kalau gitu, boleh aku lanjutin dulu?"
Kepalaku mengangguk.
Ares termenung sejenak, kemudian tangannya menggenggam jemariku hangat.
"Dita,
let's move on," ujarnya lembut, namun menohok. "Jujur, aku juga sebenarnya ingin hubungan kita kembali setelah kita bertemu di Wal-Mart itu. I couldn't sleep without thinking of you first. Tapi, kemudian aku berpikir kamu cukup kuat untuk menghadapinya. Terlebih lagi, ada satu hal yang selalu aku ingat; you can't love a person who hurts you twice."
Aku tidak percaya dia mengingatnya dengan baik.
"Jadi, dari sana, aku juga mulai maju. Bahkan, semakin optimis saat bertemu dengan Adrian di Café Lalo waktu itu." Salah satu alisnya terangkat. "Well, I know that testing a woman through her heart could hurt. But, that night when we made out, I felt something different. Ada orang lain yang kamu pikirkan. Kamu mengkhawatirkannya dan itu bukan aku." 
Mataku memicing tajam padanya. "Kamu pikir aku mengkhawatirkan Adrian, Ar? Demi apa?!"
"Demi apa yang kamu bilang barusan. Aku nggak tahu kalau kamu ternyata mengkhawatirkan dia," sambutnya cepat yang membuatku salah tingkah. "Ya, aku nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya di antara kalian selain teman sejak kuliah. Aku nggak maksa kamu buat cerita. Tapi, kalau seandainya memang benar, I guess he's helped you much."
Aku tidak suka dikalahkan dengan logika.
"So, would you?" tangannya semakin erat meremas jemariku. "Would you like to get over it? Karena, aku sebenarnya belajar dari kamu, Dita. I remember those days when you struggled to make your ex massive crush moving on. Aku ingin bisa setegar dan sekuat itu. You're such a, such a tough person. Strongest girl I've ever met."
Mataku memanas dan satu persatu, bulir mata itu jatuh di atas punggung tangan Ares. Setelah dia memaparkan semuanya, aku merasa sia-sia. Bahkan, ketika bayangan Adrian muncul, aku tidak lagi mengenyahkannya.
"Masa lalu memang tidak selamanya indah," ujar Ares sambil menyeka air matanya. "But, if you want to learn it for real, you can make your future better*."
Kepalaku menengadah untuk menatap mata Ares. Mata hijau kecokelatannya yang pernah menghangatkan hatiku. Apa sebenarnya... perasaaku yang sudah mulai terkikis?
Dia tersenyum manis. "I know you easily forgive someone's mistake."
Kemudian, Ares memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.


Remember Harbor Boulevard
 The dreaming days where the mess was made
 Look how all the kids have grown
 We have changed but we're still the same
 After all that we've been through, I know we're cool
(Cool – Gwen Stefani)


***


~ (oleh @erlinberlin13)

0 comments em “#23 Denial (pt 1)”

Post a Comment