Warung Bebas

Saturday, 17 September 2011

Elegi Purnama #6

"Selamat pagi Runny". Rengga.
"Pagih.. ". Emotikon senyum di belakangnya.
"Aku boleh nggak denger suaramu?".
"Eh penasaran banget ya,tenang aja,aku belum ganti kelamin. Suaranya pasti perempuan".
"Ahahaha".
"Sebentaaaar aja, dua menit deeeh" bujuknya.


"Neng, atuh diminum tehnya ya. Kalo mau sarapan ada di meja makan" , Ibu Ningrum melongok ke kamar sebelum berangkat ke pasar. Aku mengalihkan pandangan dari balik laptop dan berdiri, "iya Ibu, makasih ya".


"Lo balik nanti aja ya Run, ntar sore baru pulang. Gw mau curhat", Ningrum menaruh blackberry di samping tempat tidur dan membetulkan letak bantalnya. "Pasti tentang Dika kan?", aku masih membenamkan diri dengan laptop. "Kenapa lagi?" Lanjutku.


Ningrum dengan Dika adalah pasangan bertahun-tahun awet sepanjang masa, begitu kusebut. Baru tahun lalu mereka bertunangan. Dika bekerja di Bali dan Ningrum menetap di Bogor. Enam bulan sekali mereka bertemu. Sementara Ningrum hanya memacari Dika dari tahun ke tahun, aku mungkin sudah menggenapkan kedua tangan untuk bilangan mantan kekasih. Tak ada salahnya kan memilih, perempuan juga punya hak. Jika dalam prosesnya harus membuatku berkali-kali jatuh dan mencinta, buatku pasti akan ada hasilnya nanti. Menemukan orang yang betul-betul tepat sampai kukatakan " He's the one!". Dan oh baiklah aku mengaku, sebenarnya tak begitu mengenakkan berganti-ganti pacar dalam waktu singkat.


Ah, ini dia rupanya masalah Ningrum masih sama seperti kemarin. Ayahnya tak begitu menyukai Dika. Hanya karena keluarganya adalah keluarga angkatan darat. Sangat aneh dan rancu alasan yang dimiliki Ayah Ningrum. Tak suka, itu saja.


"Gw pusing jadinya Run, Ayah gak bisa sepenuhnya menyukai Dika. Padahal dia udah punya semua, kita tinggal nikah aja. Cinta kita juga kuat" terangnya panjang lebar.


"Gw sih males ya nyuruh lo sabar-sabarin diri. Soalnya gw juga males klo curhat cuma itu doang kata-katanya. Saran gw sih, mending deketin bokap lo aja terus. Biar hatinya kebuka", jawabku.


"Doain gw ya Run". "Selalu Ningrum, gw selalu doain orang terdekat gw", jawabku sambil tersenyum.


Handphone-ku bergetar, sebaris nomor tak dikenal memanggil. Aku jarang mengangkat nomor asing, kudiamkan. Kembali bergetar. " Angkat Run, siapa tau penting".


"Halo".
"Assalamualaikum de' ".
Aku membisu. Suara ini kudengar kembali sebelum berkenalan dengan Herry.
"Halo, de'.. Halo..halooo" .
Klik. Kumatikan.


"Aku di Jakarta hari Senin besok, menginap di mercure. Kuharap kamu mau diajak ketemu". Sebaris sms masuk.
Aku tercenung.
Ponselku kembali bergetar. Berulang-ulang. "Halo", Ningrum berinisiatif mengangkat. "Oh iya ada, sebentar ya" tangannya terulur ke arahku.


"Halo, assalamualaikum".
"Waalaikumsalam ini Rengga, Runny".
"Iya", malas kujawab.
"Maaf ya aku telepon duluan. Sedang apa?".
"Maaf Rengga, aku lagi ngobrol sama temen, nanti boleh telepon lagi?".
"Oh boleh, maaf ya".
"Bye".
Ningrum di toilet. Aku duduk di ruang tamu dan mulai melamun. Lima menit lalu suara sengau-nya terdengar jelas, seolah sosoknya kini duduk di sampingku. Kuraba wajahnya dari kening, hidung, dagu dan berakhir di bibirnya. Atas bibirnya yang agak kasar. Bimbingan skripsi yang sangat personal. Aku menarik napas panjang mengingatnya dalam lamunan pendek.
***
Senin adalah waktu yang sibuk, sangat sibuk. Transaksi yang menggila usai Lebaran ditambah dengan project yang hari ini diresmikan peraturannya. Semua tak banyak waktu untuk bicara, ruangan hening. Hanya suara mesin fax, printer, keyboard dan mouse yang diklik menjadi nada tak teratur.
Kami selesai reconcile pukul 7 malam. Ruangan departemen lain sudah tutup dan beberapa ada yang mengunyah makan malamnya di meja. Kami butuh asupan energi lebih untuk lembur malam ini. Karena baru akan selesai dua jam ke depan agar semua beres.




~ (oleh @IedaTeddy)

0 comments em “Elegi Purnama #6”

Post a Comment