Sehari setelahnya...
Aku berangkat ke kampus dengan suasana hati yang baik-baik saja. Tentu saja masih sedikit kecewa dengan apa yang Jazzy lakukan kemarin. Tapi aku memang tidak sanggup berlama dalam kesedihan. Aku menjalankan peranku seperti biasanya hari ini. Masih terus memanggil Jazzy tampan dan seharian berjalan mengikutinya tanpa beban. Aku tau, mungkin aku terlalu mencintainya.
Tapi kulihat sejak pagi Jazzy selalu memperhatikan gerak-gerikku, mendengarkan apa yang kuucapkan dengan seksama. Walau tetap dalam diamnya. Aku tau, dia pasti tak enak hati denganku. Dia sudah minta maaf dan aku sudah memafkannya. Hidup seharusnya memang se-simple itu. Asal ada maaf, tentu akan ada yang memaafkan.
Kami berjalan bersama dengannya sore itu. Masih dipelataran kampus, hari ini aku lebih banyak berjalan di hadapannya.
"Heh." Jazzy memanggilku dan langkahku terhenti. Aku segera berbalik dan menatap ke arahnya.
"Kenapa? Kamu mau jalan di depan?" Tanyaku polos. Tapi Jazzy tidak bereaksi. Berdiri dan menatap ke tanah.
"Aku.. aku.. minta maaf, ke.. kemarin aku memang keter..la..luan. Kamu bisa marah kalau kamu memang marah. Ngga perlu terlalu keras berusaha untuk mengerti aku. Dan.. terimakasih untuk kue dan kaosnya. A..a..gak basah, tapi rasanya lumayan. Seperti apa pun bentuknya, keju selalu terasa enak di mulutku." Jazzy menatapku dalam dan jantungku berdebar. Itu adalah percakapan pertama kami yang berawal dari mulutnya. Selain omelan, oke dia memang nggak pernah marah. Lalu aku tersenyum lebar.
Kuberanikan diriku untuk mengambil telapak tangannya dan kugenggam dengan kedua tanganku.
"Aku selalu jujur atas perasaanku. Baik mau pun buruk. Aku akan menangis jika memang benar-nenar sedih dan akan tertawa jika memang merasa bahagia. Aku tentu saja akan marah padamu, jika memang masih marah. Tidak perlu merasa tidak enak hati padaku. Maaf kalau sifatku ini bikin kamu nggak nyaman. Aku sehat dan baik. Aku minta maaf kalau sikapku kemarin agak keterlaluan ya. Dan oh iya, hari ini aku nggak bisa pulang sama kamu. Sampai jumpa besok ya sayang!" Kulepaskan genggaman tanganku dan kutatap wajahnya baik-baik. Ketidak yakinan tergambar jelas di sana.
Aku pun kembali menggenggam tangannya, sekarang justru aku yang merasa bersalah membuatnya jadi seperti ini. "Gimana kalau kamu memang merasa bersalah banget sama aku, mulai sekarang kamu bisa panggil aku Sera kalau nggak keberatan. Lalu mari kita anggap ini impas."
***
5 bulan setelahnya...
Begitu banyak hal yang telah berlari menjauh dan menjadi kemarin. Tapi dapat kuyakinkan pada kalian bahwa tak ada satu detik pun yang ingin aku tinggalkan. Jazzy telah banyak berubah. Dia bahkan telah meyakinkan dirinya sendiri untuk memanggilku Sera. Nama kecilku. Sekarang aku sedang bersamanya di taman kota. Di malam sebuah hari yang hangat.
"Kalau kunang-kunang hidup di perkotaan pasti akan sangat baik." Gumamku sembari memakan dengan lahap gulali berwarna merah jambu. Jazzy yang membelikannya. Tanpa aku harus merengek, hebat bukan?!
Kemudian kami duduk di tepi danau buatan. Menatap bayangan lampu-lampu yang bergoyang-goyang di muka air. Malam minggu yang paling menyenangkan. Aku rela menukar apa pun yang kupunya untuk hari ini. Segalanya. Malam minggu pertamaku dengannya, setelah 5 bulan berusaha keras.
"Sera." Panggilnya.
"Ya." Aku menjawab tapi masih saja sibuk membagi kesadaranku dari kembang gulali.
"Aku, aku, nggak begitu suka kalau kamu berteman sama Judo." Katanya terbata.
Spontan gerakanku berhenti, hah? Apa aku tidak salah dengar? Jazzy nggak suka aku berteman sama Judo. Apa dia cemburu sama Judo. Judo yang sering kali kuceritakan padanya. Oh my God.
Jazzy terdiam dan aku mulai tertawa, "Hahahaha!"
"Kok ketawa? Bagian mana yang lucu?" Jawabnya sewot
"Memangnya kenapa dengan Judo? Kamu cemburu ya?" Tanyaku langsung.
"Nggak, aku cuma mikir kalian terlalu dekat. Bahkan sampai sering tidur-tiduran bareng. Jangan terlalu percaya sama laki-laki. Mereka semua berengsek." Kilahnya
"Ya nggak bisa lah. Kalo nggak sama Judo aku nggak bisa tidur!"
"Kok gitu?"
"Ya memang gitu pokoknya. Titik." Jawabanku membuat jazzy terdiam. Aku kemudian merebahkan tubuhku ke rerumputan.
"Huh... ternyata 5 bulan belum cukup untuk buat kamu mengerti aku. Untuk buat kamu merasa bahwa aku penting untuk diperhatikan. Sering banget aku cerita tentang Judo aja kamu nggak pernah nyimak kalau dia itu kucing cowok, bukan manusia. Mengecewakan. Merusak suasana. Kamu kan bisa cemburu sama species yang lebih konkret." Kutatap gugusan bintang di langit, mereka membentuk sesuatu yang tak terbaca olehku.
"Jadi, Judo itu kucing? Maaf ya." Jazzy tersenyum kecut padaku. Wajahnya merah merona. Dan aku kembali bahagia.
***
~ (oleh @falafu)