Warung Bebas

Monday, 19 September 2011

Rekam Imaji #8

"Apa ketika menikah dengan ayah ibu mencintai orang lain?"
Ibu terkekeh mendengar pertanyaanku. "Kok malah ketawa bu?
Aku tanya serius loh, ini...". Ujarku cemberut.

Ibu yang tengah merapihkan tumpukan bajuku berhenti. Beliau
menghampiriku yang sedari tadi berkaca di depan cermin meja rias. Ibu mengambil
sisir. Ini salah satu kegiatan yang aku suka saat sedang bersama ibu. Dan
beliau-pun mulai menyisir rambut panjangku dengan lembut. "Apa ada sesuatu yang
perlu ibu tahu?"

"Kok malah balik tanya, bu?"
"Ya karena anak perempuan ibu mempertanyakan soal cinta,
padahal beberapa bulan lagi akan berada di pelaminan bersama orang yang
dicintainya." Aku tidak berani menatap ibu. Mata dan jariku tengah memainkan
cincin pertunanganku dengan Langit. "Benarkan Langit pria yang kamu cintai?"

"Hemm...". Aku hanya menggumam, masih tidak menatap ibu.
"Jelang pernikahan...tiap pasangan akan dihadapkan pada
cobaan."

"Apa ibu dulu juga begitu?"
"Tentu saja."
Oh, apa mungkin Tuhan memberiku cobaan melalui Bumi? Untuk
menguji seberapa yakinnya aku? Atau seberapa kesungguhan dan nyaliku?

"Ibu mencintai ayah sejak kapan?"
"Sejak ayahmu belum mencintai ibu."
Ku lirik ibu melalui pantulan di cermin. "Lalu?"
"Haha...ibu membuat ayahmu jatuh cinta."
"Tapi katanya pria tidak belajar mencintai, perempuan yang
harusnya begitu...".

"Maksudmu? Apa cinta harus dikotak-kotakkan dengan gender?
Apa perempuan tidak boleh mencintai? Tidak boleh mengejar cintanya?"

"Apa boleh?"
Ibu duduk di sampingku, akupun memiringkan tubuhku mulai
menatap wajah ibu.


"Tiap manusia dibolehkan mencintai, dan boleh berharap untuk
dicintai. Karna Tuhan menciptakan kita dengan hati Pelangi...". Ibu menghapus
air mataku, beliau tahu aku sedang resah dan ragu. "Pelangi,...cinta itu bukan
sekedar belajar, tapi juga ikhlas menerima kehadirannya...".

"Cinta itu bukan
hanya tentang belajar mencintai...tapi juga ikhlas menerima keberadaannya."

Tiba-tiba aku teringat kata-kata bunda. Bunda adalah sosok wanita
bijaksana, ia memang jauh lebih tua dari ibu, ia pemilik toko barang antik di
Jogja. Aku sering kali ke sana, bermain-main dengan barang tuanya, terutama jam
pasirnnya yang unik. Kadang aku juga membantunya membersihkan toko, sebagai
imbalannya, aku bisa memeilih beberapa aksesoris tua yang dipajang di etalase
toko.

"Sekarang kamu katakan yang sejujurnya sama ibu." Ibu menatapku,
senyumnya membuatku tidak bisa menolak untuk menatapnya. "Apa kamu benar-benar
mencintai Langit?"

"Ibu...". Aku semakin terisak, menangis di bahu ibu. "Aku...aku tidak
tahu bu..". Kataku di sela isak tangis.

Ibu mengusap kepalaku. "Masih ada waktu...pikirkanlah baik-baik. Dan
bila ada pria lain yang benar kau cintai, perjuangkanlah perasaanmu...sebelum
kamu belajar mencintai, belajarlah dulu jujur terhadap perasaanmu."

Ku benamkan diri dalam resah, ragu, kebingungan, rindu dan rasa
bersalah. Ku luapkan semua dipundak ibu.

"Bicaralah pada Langit." Ibu mengecup keningku. "Sepertinya memang
perempuan dikeluarga kita tidak cocok untuk acara perjodohan." Ibu lalu
terkekeh, akupun memeluk beliau.
Aku harus segera berbicara dengan Langit, juga..Bumi...entah bagaimana
akhirnya nanti, yang jelas tidak akan ku biarkan rasa bersalah, rindu, dan
kebohongan macam ini menumpuk dan ku jadikan fondasi dalam rumah tangga yang
akan ku bina nantinya. Ketika kita berani mencintai, bukankah harus disertai
nyali untuk memperjuangkannya?





~ (oleh @NadiaAgustina)

0 comments em “Rekam Imaji #8”

Post a Comment