"Naya.. Sayaang..", bisik Nalen membangunkan Nara dengan lembut. Nalen memeluk Nara yang tidur meringkuk memunggunginya.
"Hmmpfh.. Mau brunoo Len..", rengek Naya sambil mengucek kedua matanya.
"Ya ampun baru melek mata udah inget bruno aja dia..", Nalen memutar bola matanya sambil membuang nafas panjang pertanda harus lebih sabar lagi menghadapi kelakuan istrinya.
"Hup ayoo bangun.." Nalen mengulurkan kedua tangannya meraih tangan Naya agar terduduk dari tidurnya. "Ayo bangun trus nanti ke rumah OpaFrans ajak bruno buat jalan-jalan ya?", kata Nalen memperlakukan istrinya seperti anak kecil hihi..
Senin pagi.
Tidak seperti aktifitas di rumah-rumah kebanyakan. Aku tak terlalu sibuk terburu-buru menyiapkan sarapan untuk Nalen karena dia harus berangkat ke kantor. Kami pasangan wiraswasta, yang bisa mengatur jam kerja kami sesuka hati. Tidak terpaku jam kantor kecuali kalau kami ada janji dengan klien kami. Malah seringnya aku cukup mengirim hasil tulisanku via email atau tinggal kirim batik tulis ke rumah pelanggan lalu tinggal menunggu transferanku masuk ke dalam rekening. Tidak perlu repot merasakan kemacetan ibukota atau riuhnya angkutan di Bogor .
Berbeda dengan Nalen, kalau sedang ada proyek dia akan lebih sering menghabiskan waktu di luar kota atau kalau sedang menunggu proyek berikutnya dia lebih senang menghabiskan waktu mengurus jerami. Kami bekerja mencari uang tetapi tetap bisa menikmati waktu. Nalendra tidak terlalu ngotot dengan pekerjaannya. Aku pun tak pernah menuntut banyak darinya, berapapun yang dia berikan aku selalu merasa cukup. Tak ada masalah, kami hidup sederhana sebab untuk kami kebersamaan itu yang utama.
Seperti pagi ini, aku sibuk di dapur dan Nalen entah di mana. Biasanya dia di beranda membaca koran pagi, tapi kali ini aku tak menemukan batang hidungnya.
"Len.. Nalendraaa.." Aku berjalan mengikuti arah suara paku di pukul berirama oleh palu. Teras depan. "Kopinya nii..", aku mendekati Nalen yang sedang sibuk di pagar rumah.
"Sip! Udah ke pasang. Gimana bagus kan ??" Tanya Nalen sambil mengangkat kedua alisnya.
"Baguuss..", ku serahkan secangkir kopi panas milik Nalen. Kalian masih ingat hari minggu kemarin Nalen sibuk dengan balok papan kayu? Ini dia hasilnya, sebuah kotak pos cantik berdiri gagah di tepi pagar rumahku.
"Tapi siapa yang mau kirim surat buat kamu?" Ledekku mengingat jaman sekarang mengirim pesan sudah serba instan sampai kadang hampir terlupa budaya berkirim surat lewat pos.
"Ayahku mungkin hehe..", itu Nalen yang selalu bangga pada pekerjaan Ayahnya sebagai Tukang Pos. Menghantarkan pesan entah cinta, duka atau bahagia. Tidak ada yang pernah tau isi surat selain pengirim dan penerimanya. Yang Ayah Nalen tau selalu ada senyum mengembang setiap kali amplop di serahkan pada penerimanya. Ayah Nalen, Bapak Mertua ku itu pekerjaannya pengantar senyum. Itu juga sebab Nalen lebih suka mengendarai motor ketimbang mobil. Sebab Ayahnya kemana saja mengantar senyum dan pesan, selalu menunggang motor berwarna orange berlogo Pos Indonesia.
"Setiap pagi aku bakal ngecheck kotak pos ini. Nah nanti kalau tiba aku dinas keluar kota kamu yang gantiin tugasku ya Nay.. Check kotak pos tiap pagi! Oke?" Perintah Nalen bak komandan.
"Ga ah aku sibuk mau ajak jalan-jalan bruno." Jawabku membuat bola mata Nalen berputar. 'Bruno (lagi)' bathin Nalen bosan.
"Kamu daripada mikirin bruno melulu mending nanti kita jalan-jalan yuuk.." Tawar Nalen.
"Ke mana?" Aku selalu tertarik dengan kata 'jalan-jalan'.
"Hmm..ke Jogja yuukk..", ajak Nalen bersemangat.
"Yaahh kita kan baru pindah Len. Kalau mau pergi jangan jauh-jauh donk.. Aku lagi betah-betahnya ni di rumah.", jelasku lugas. Nalen terlihat kecewa mendengar jawaban Naya, walaupun sebelumnya dia sudah berprediksi persis seperti apa yg dia dengar.
"Yah masa ga mau siy Nay? Mau ya?", rayu Nalen.
"Ga bisa yang deketan ya Len?" Tawar Naya.
"Eh kayaknya minggu depan aku bakal dapet proyek lho Nay.. Blum tau kemana yang jelas Indonesia bagian timur. Kalau aku ajak ke sana pasti kamu tambah gak mau. Jadi sebelum aku sibuk kerja, mau yaa ke jogja sama aku?? Ya??" Desak Nalen membuat lengkung cemberut di bibir Naya.
"Ayo tapi ada syaratnya.."
"Apa?"
"Nalen mulai bersemangat.."
"Bruno." Senyum Naya nyengir mengembang seperti mendapat kesempatan mendesak Nalen untuk memenuhi keinginannya memelihara anjing.
'Errghh..bruno lagi!' Bathin Nalen geram.
"Guuukk!" Seekor anjing menyalak menghampiri halaman depan mereka.
"Hai buddy.." Sapa Naya ramah sambil mengusap-usap kepala Bruno.
'Oke Naya akan sibuk dengan Bruno' bathin Nalen tambah kesal berlalu masuk ke dalam rumah.
"Leenn kalau kamu sok-sokan ngambek aku tambah makin ga mau kamu ajak ke Yogja lhoo.." ancam Naya setengah beteriak. Nalen berhenti lalu membalikkan tubuhnya, "Aku ga ngambek sayang, mau baca koran" ucap Nalen memberikan alasan.
***
Baru sekitar 10 menit kepala Nalen kembali menyembul di balik pintu.
"Nay.. Papi telfon.." panggil Nalen sambil melambaikan telfon wareless kami.
"Bawain sini donk Len.."ucap Naya masih asyik meracau dengan Bruno.
'Duh sabar Len sabar.. Naya lagi ngambek..' bathin Nalen melangkah menuju Naya.
"Halooo Papii.. Baru tadi rencana Naya mau telfon papi. Pap sini donk maen ke rumah baru Naya!", begitu menerima telfon langsung Naya berceloteh tanpa perlu diberi aba-aba. "Kapan Pap? Sekarang??" suara Naya sengaja dibesar-besarkan agar Nalen mendengar. Daaann tepat pada sasaran si Nalen langsung melotot, bisik-bisik "Jangan sekarang Naya kita mau ke Jogja.." bisik Nalen pelan. Mendengar bisikan Nalen, gantian Naya yang melotot.
"Bentar Pap.." ---- "Jangan berisik deh Len.." ucap Naya sambil menutupi ujung telfon agar Ayahnya tak mendengar. Naya masih melotot sambil menginjak pelan kaki Nalen lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedang Nalen, mengelus dada 'sabar-sabar..' hihihi..
Aku suka begitu, kalau sudah ngambek aku akan bertingkah yang aneh-aneh yang bisa membuat Nalen kesel. Seperti sekarang aku malah sengaja meminta ayahku datang padahal jelas-jelas Nalen mengajaknya ke Jogya.
Sambil asyik bertelfon dengan Ayahku, aku memasak sarapan untuk Tuan Muda Nalendra Jaleswara. Aku selalu bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar ngobrol ringan dengan Ayahku. Sosok yang paling aku cinta. Dari kecil kami hanya tinggal berdua, ibuku entah kemana. Aku tak begitu dekat dengan ibuku maka maaf jika nanti aku tak terlalu banyak menceritakan kisah tentang beliau. Yang aku ingat tentang ibuku cuma satu, hari dimana dia meninggalkan rumah, meninggalkan aku dan ayahku. Belasan tahun aku ingin melupakan detik-detik itu tapi aku tak pernah mampu. Seperti luka yang selalu menganga dan tak pernah bisa terobati. Ibuku pergi, kedua orangtuaku bercerai. Awalnya ibu pulang ke Magelang tetapi kabar terakhir yang ku dengar Ibu sudah menikah dan menetap di Swedia. Ya, ibuku Indo-Aussie. Kakek dari Ibuku seorang jawa tulen asli Magelang yang menikah dengan Nenek seorang Australia asli.
Papi, seumur hidupnya mengabdikan menit-menitnya untuk bekerja dan mengurusku Putri semata wayangnya. Papiku tak pernah mau menikah lagi, betapa aku tahu bahwa Papi belum mampu melupakan Mami. Dan setelah aku menikah dengan Nalen betapa aku tahu Papi benar-benar kesepian tanpa celotehku. Aku seringkali sedih mengingat ini. Aku sering kali dilemma antara tinggal tak jauh dari rumah papi atau mengikuti keinginan diri untuk tinggal di Bogor . Untuk mengurangi rasa bersalahku telah membiarkan papi kesepian tinggal sendiri di Ibukota, seminggu sekali atau paling lama dua minggu sekali selalu menyempatkan mengunjunginya. Kalau Nalen sibuk biasa aku akan berkereta sendiri ke Ibukota.
Sup ku sudah matang sekarang tinggal menggoreng perkedel dan mengolah sayap ayam bumbu kecap kesukaanku. Papi menyudahi pembicaraan ketika tahu aku sedang memasak, katanya "Nanti masakan kamu gosong kalau di sambil ngobrol sm Papi Nay.." hihi.. 'Papiii Naya kangen papi' bathinku ingin berteriak.
Oh Tuhan ternyata dari tadi cengar-cengir membuntutiku.
"Apaan siy kamu Len? Risih deh orang lagi masak juga.." aku menggerutu kembali cemberut.
"Yee orang mau bantuin juga masa ga boleh?"
"Tumben mau bantuin di dapur? Ada perkedel di balik batu yaa??"
"Heheheh.. Ni buat kamu sayang.." Nalen nyengir seperti sudah terbaca apa maksud dan tujuannya sambil mengulurkan setangkai Lily Putih kesukaan Naya.
Ada yang merona di pipi Naya, sebuah senyum seindah Lily yang sedang di genggamnya.Tak lama hanya dalam hitungan detik senyum itu pun sirna dari wajahnya. Berubah menjadi mimik wajah penuh curiga salam melangkah menuju beranda.
"Na-Len-Draaaaaaa.. eRrrrgghhhhhhh.. kamu petik bunga aku yaaaa???" Naya berteriak kesal dengan bola mata nyaris copot dari cekung matanya. Ini menyeramkan, lebih menyeramkan dari serigala berbulu domba huhuhu..
"Astagaaaahh.." Nalen menepuk keningnya sendiri. Sangking dia sibuk memikirkan cara menyenangkan hati Naya dia sampai lupa efek sampingnya. Salah strategi kawan!
"Sayang ampun sayang.." seketika Nalen tunggang langgang berlari mendekati Naya yang sedang sibuk memeriksa tanamannya. "Sayang maaf.." Nalen pasang tampang melas, lebih melas dari orang yang belum makan seminggu.
"Tauk Ah.." bibir Naya manyun 5 meter setengah. Lebih parah dari biasanya yang cuma 5 meter.
"Yaaahh gimana donk biar kamu bisa maafin aku? Nay.. Nayaa.." rengek Nalen menarik-narik lengan Naya seperti anak kecil. "Nayaaaa.." sekarang Nalen berlutut di hadapan Naya, lututnya bertumpu di atas rumput halaman kami yang nyaris lebih mirip dengan permadani hijau. Sorot mata Nalen benar-benar menggambarkan perasaan bersalahnya. Melas plus jelek sama dengan kusut hihi sebenarnya kasihan juga melihat Nalen begini tapi gimana emang dia bener-bener nyebelin tingkahnya kali ini.
"Apa?" kataku masih marah.
"Maaf.. Yaa??"
"Pokoknya aku ga mau tau tangkai ini harus kembali ke batangnya lagi. Terserah kamu gimana caranya. Titik." Naya tau ini ga mungkin tapi cukuplah untuk menghukum Nalen, terbukti wajah Nalen langsung berubah bingung level akut.
"Yah gimana caranya?? Masa di lem hww.."
"Bu-kan u-ru-san-ku.. selesai masak aku check lagi harus udah beres atau kalau ga usah tu ada acara ke jogja-jogjaan." ancam Naya bergegas kembali ke dapur.
'GLEK' Nalen menelan ludah sambil memutar otak. 'Tangkai-batang-tangkai-batang-tangkai-batang-tangkai-batang HARUS NYAMBUNG. Gimana cara??'
Untuk beberapa saat di dapur begitu terasa damai tanpa rengekan Nalen yang sibuk minta maaf lah, sibuk ngerayu ke Jogja lah hihi sekali-kali ngerjain suami itu perlu lho kawan-kawan haha peace Len wee.. :p
Tak perlu berlama-lama untuk menyelesaikan masakanku minggu pagi ini. Sementara Nalen sibuk sendiri memikirkan tangkai dan batang, aku mulai merapikan meja makan. Menyajikan semua hidangan sarapan, mengisi gelas-gelas kami penuh-penuh dengan jus jambu buatanku. Setiap hari aku membiasakan diri dan menularkannya ke Nalen untuk giat minum jus demi kesehatan.
"Naleenn waktunya hampir habiiis.. Aku udah selesai masak lhoo.. Tinggal beres-beres dapur sebentar habis itu aku periksa yaa.." kataku setengah berteriak dari dalam rumah. Tak ada jawaban dari Nalen entah karena dia tak mendengar atau pura-pura tak mendengar hihi..
Soal pekerjaan rumah khususnya dapur jangan heran kalau aku selalu cepat menyelesaikannya. Aku sudah terbiasa dari kecil di dapur dengan Papi sekedar membuat camilan untuk berdua atau apa saja yang kami ingin santap. Lama-lama aku jadi sering menghabiskan waktu di dapur hanya untuk menyenangkan perut Papi. Tak ada gambaran sosok seorang ibu di dapur kami, hanya aku dan Papi.
Aku merapikan rambutku. Mengikatnya tinggi-tinggi persis ekor kuda. Mulai berjalan ke arah beranda, berharap masih menemukan Nalen dengan tampang kusut kebingungan disana hihi jahat ya aku?! Semacam istri durhaka senang melihat suaminya menderita haha..
Salah! Di luar dugaan. Kebunku. Halaman belakang rumahku tak ku temukan Nalen disana. Hanya ada hamparan tanaman bunga Lily putih disana. Tertata rapi mempercantik kebunku yang awalnya jauh dari nilai artistik. 'Uugh..Nalen!' bathinku gemas dengan makhluk cipataan Tuhan yang paling ku cinta. Nalen, makhluk yang tak pernah kehabisan cara untuk meluluhkan hatiku hmm..di mana dia sekarang aku benar-benar ingin menggigitnya haha..
"Sayaaaaanggg.." sapa nalen menyembulkan kepalanya dari balik pagar rumah Opa Frans. "Udah nyambung lho tangkai ke batang tanamannya." Pamer Nalen mengangkat tinggi-tinggi pot bunga lily yang kami permasalahkan tadi.
"Kamu curaaaanggg!! Kamu minta bantuan Opa Frans kan pasti??" tak salah lagi Opa Frans paling ahli di bidang ini.
"Kan kamu sendiri yang bilang terserah aku gimana caranya." Ucap Nalen mengingatkan sambil melangkah mendekatiku meyerahkan pot bunga di tangannya dengan hati-hati. Aku sibuk memeriksanya, penasaran bagaimana cara menyambungnya.
"Gimana caranya?" tanyaku memperhatikan bekas sambungan antara tangkai yang di petik dengan batang yang masih utuh di dalam pot.
"Rahasiaaaa hahaha.." kata Nalen sombong karena merasa menang.
"Ck..nyebelin! Awas ya kamuuu aku tanya Opa Frans nanti." Kataku melirik tajam ke arah Nalen sambil meletakkan pot bunga ke tempat semula.
"Suka ga??" bisik Nalen melingkarkan pelukannya di pinggangku dari belakang. Aku paling ga bisa marah kalau Nalen sudah bersikap semanis ini uh..Nalen kamu Juara!
"Suka ga sayang? Aku borong habis lho stock bunga Lily Opa Frans.." katanya pamer.
"Oh ya?! Hahaha.." aku tertawa mendengarnya.
"Sukaaa Len!! Tapi jangan di petikin lagi yaaa.." aku meliriknya dari sudut mataku.
"Iyaa maaf ya.. ga kepikiran kamu bakal semarah itu tadi hehehe.." jawab Nalen meletakkan dagunya dipundakku. "Sayang mau yaa ke jogja.. Pleasee mau donk.. keburu siang aku harus ke terminal buat beli tiket.." rengek Nalen merasa masalah per-Lily-an nya sudah selesai, dia kembali merayuku untuk mau pergi ke Jogja.
"Duuhh emangnya harus sekarang ya?? Belum packing segala macem lho.." jawabku malas-malasan sambil asyik memanjakan mataku memandang kebun Lily Putihku.
"Bisanya sekarang istriku, minggu depan aku udah sibuk-sibuk lagi." Rengek Nalen sekarang dia mijit-mijit pundak. Ya ampun Nalen keluar deh lebaynya. -_______-"
"Besok aja Len jangan hari ini.. Sarapn yuk udah siap tuh keburu dingin." Ajakku masuk ke dalam rumah.
"Emang kenapa kalau hari ini? Papi jadi mau ksini?" Nalen mulai panik mengikuti langkahku.
"Ya engga siy.. Cuma aku ga suka aja kamu hobby nya dadakan gini.. males tauk!" kataku meraih sendok nasi. Nalen cemberut mendekati mangkok soup ku yang masih mengepul. Mengambil sendok lalu mencicipinya.
"Nay.. Nayaa ini enak Nay.. sumpah! Pasti bapak di Yogja kangen sup buatanmu Nay.."
"Nalen udah deh jangan mulai lebay nya.." Naya menanggapi datar.
"Huaaaaa sayaaangg kamu gitu banget siiy.. aku pengen ke Yogja sayang.." Nalen menarik-narik lengan bajuku seperti anak kecil.
"hhhhhh..Nalen! Kamu niih.. yauda sana abis ini beli tiket.. BA-WEL!"
Dan Nalen pun bersorak penuh suka cita mengambil nasi banyak-banyak lalu melahapnya penuh semangat. Aku hanya meliriknya, geli sekali melihat tingkahnya hari ini. Ah suamiku..
-Raina Kalea Nara-
~ (oleh @ukakuiki)