Warung Bebas

Saturday, 17 September 2011

Tuhan, Lancarkan Jalanku.

"Hallo..." Aku menyaut terlebih dahulu.
"Aku ke rumah kamu, ya?."
"Ya udah, ditunggu, ya!"
Klik. Telfon ditutup.
Setengah jam kemudian telah ada Revand, sampai di depan rumahku.
"Gimana keadaan kamu, sayang?"
"Baik, kok..." Aku malu-malu.
"Hmm... Oh iya, kamu kapan kemoterapi?"
Aku termenung, "Kamu ini bicara apa? Kamu tau sendiri keadaan keluarga aku. Kemo itu ngga murah, Rev."
Revand membelaiku, "Memangnya berapa, sayang?"
"Aku sih nggak tau pasti. Itu kata mama."
"Ooh..." Sempat hening, "Aku mau ngambil HPku dulu ya, di motor. Tadi ketinggalan."
"Cepetan, ya..."
Cukup lama, tapi ia kembali.
"Kok bisa HPmu ketinggalan di motor?"
"Eh... Kelupaan." Revand terdiam sejenak, "Aku balik sekarang ya, sayang. Aku belum ngerjain tugas, nih. Kamu banyak istirahat, ya."
"Ya udah, makasih ya udah nyempetin dateng. Hehe..."
Aku merasa ada yang aneh dengan Revand, sesuatu yang entah.
***
"Revinaaaa..." Mama memelukku dengan alasan yang entah, saat aku baru saja membuka pintu kamarku sepulang sekolah.
"Lho, mama kenapa? Kok nangis?"
"Kamu bisa berobat! Kamu bisa!"
"Mama serius? Vina dibolehin alternatif??" Sontak mataku memancarkan bahagia.
Mama menggeleng, "bukan alternatif. Pengobatan medis, sayang."
Aku mengerutkan alisku, "maksudnya?"
Mama melirik ke belakang, ada Revand di sana.
"Maksudnya? Revand?" Aku semakin tak mengerti alur kata-kata mama.
Revand mendekat, "kamu ingat uang yang kusimpan untuk biaya kuliahku nanti? Itu sepenuhnya untuk kamu. Untuk kesembuhan kamu."
"Tapi, Rev... Kuliah kamu?"
Revand menyentuh kedua pundakku, "bagiku, kamu lebih berharga dari apapun. Soal kuliah, orang tuaku masih punya simpanan. Kamu ingat kan tentang bisnis ayahku? Bisnisnya menuai peningkatan besar di sana."
Aku masih merunduk.
"Revina, lihat mataku." Tangannya menaikkan daguku, "aku ingin mendengar nyanyianmu lagi."
"Tapi, Rev..."
"Kamu masih sayang sama aku, kan? Kamu nggak akan biarin aku kecewa, kan?"
Aku memeluknya, air mataku mengalir di sana.
"Makasih, Revand. Makasiih." Ujarku lirih.
Tuhan, terima kasih telah menitipkan cinta yang kuat bagiku, Revand.

***
Hari ini, aku siap melaksanakan kemoterapi pertamaku. Dengan bagaimana hasilnya, walau dengan setitik keraguan di hati dokter Riana. Karena menurutnya, kondisiku terlalu lemah sejak kecil. Dan harapan kesembuhan sangatlah kecil. Aku hanya berharap kesembuhan berpihak padaku. Aku berharap bisa menjadi bagian yang 'kecil' itu. Aku ingin kembali bebas, seperti ketika aku masih belia. Walau memang tak sepenuhnya bebas, karena sedari kecil radang paru-paru sedikit mengikatku di saat-saat tertentu. Tapi setidaknya, tidak seperti sekarang. Dimana perkembangan sel-sel kanker itu perlahan memakan ruang eksplorasiku.
Mama membelai rambutku halus, "Semangat ya, sayang..."
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Kalau kakak udah selesai langsung temenin Reno main, ya!" Reno menyembulkan PSPnya di depanku.
Aku tertawa renyah, "Iya, sayang." Aku mencubit gemas pipi gembulnya.
Revand menggenggam jemariku, "I'll be here for you, honey."
"Makasih, sayang." Aku sempat mengecupnya sekilas.
Dan aku mulai dibawa masuk ke ruang kemoterapi. Dapat kulihat Mama, Reno dan Revand menatapku sepanjang koridor rumah sakit. Tak ada papa seperti yang kuharapkan di antaranya. Tapi, seakan tatapan mereka mewakilkan tatapan papa yang selalu kurindukan.
Tuhan, lancarkan jalanku; kini...



~ (oleh @LandinaAmsayna)

0 comments em “Tuhan, Lancarkan Jalanku.”

Post a Comment