Warung Bebas

Friday, 16 September 2011

Salahku Sahabatku: Dilema

Memilih itu bukan pekerjaan mudah asal kamu tahu. Apalagi memilih satu dari beberapa pilihan yang sama sekali tak ada garansinya. Memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Sekian lama aku tinggal tapi kamu sama sekali tak pernah peduli. Tapi selangkah saja aku mundur, kamu mencegahku. Atau setidaknya aku yang merasa kamu mencegahku.

***
"Kamu berubah," katamu disuatu hari ketika kamu pulang berkencan dengan perempuanmu lalu kamu datang ke kedai kopi langgananku.

"Berubah apanya?" tanyamu waktu itu.

"Semuanya. Kamu sekarang nggak lagi nyari aku waktu kamu ada apa-apa. Kalau kamu ada apa-apa, sekarang aku jadi orang terakhir yang tahu. Nggak cuma itu, penampilanmu juga," paparmu.

"Aku nggak berubah," aku tetap pada pendirianku. Aku memang merasa tak berubah, hanya aku merasa sudah bukan saatnya aku menganggu kamu dengan perempuanmu.

"Tuh kan, kamu berubah. Kamu jutek sama aku," jawabmu lagi.

"Aku nggak berubah. Aku tetep aku yang dulu kok," kataku dengan air muka yang sedikit lebih lunak, aku lelah dengan perdebatan seperti ini yang tak akan berakhir bahkan hingga kedai kopi itu tutup.

"Nah gitu dong," katamu sambil menangkupkan tanganmu dikedua pipiku.

Aku masih setengah tercengang. Jika ruangan itu tidak remang mungkin mukaku yang memerah sudah dapat kamu lihat. Aku tersipu. Kamu, masih semanis dahulu.

"Yaudah sekarang pesenin aku minum kaya biasa ya," perintahmu kemudian.

***
Aku kemudian bertanya, masih pantaskah aku menunggu kamu? Sedangkan sementara aku menunggu, aku juga harus menutupi rasa sakit yang kamu torehkan. Tetapi jika aku pergi, aku takut kamu mencariku dan ketika kamu mencariku aku sudah tak ada. Aku takut bila kamu tiba-tiba sadar bahwa aku ada di saat aku telah pergi. Aku takut menyesal.




- (oleh @prdnk - http://darkblueandgrey.blogspot.com / http://prdnkprdnk.blogspot.com)

0 comments em “Salahku Sahabatku: Dilema”

Post a Comment