Mount Trashmore, Virginia Beach.
"Biasanya, aku main *skateboard *sama temen-temen SMA," papar Ares sambil
mengelus-elus papan luncur kesayangannya. "Tapi, sekarang mereka masih
liburan. Jadi, ya, kurasa, bermain dengan orang-orang asing kali ini akan
sedikit ganjil."
Aku menatap takjub *7-foot deep bowl* – arena *skateboard *di Trashmore.
Tingginya sekitar 2,1 meter. Di dalam 'mangkuk' besar ini, ada banyak
*skateboarder
*yang menampilkan berbagai trik bermain *skateboard *– dari yang paling
mudah sampai tersulit. Bahkan, aku kagum ada beberapa *skateboarder *wanita
di sini!
"Aku turun dulu, ya?" Ares melirikku sebentar, lalu sejurus kemudian, dia
sudah berada di dasar 'mangkuk'. Meluncur mulus dengan *skateboard*-nya
bersama pemain lain. Wow. Aku hanya bisa menatap takjub dari atas; di tepi
lintasan. Ini mengingatkanku dengan film *Grind*.
Setelah setengah jam menyaksikan *live perfomance *Ares sebagai *
skateboarder*, dia mengajakku jalan-jalan ke *picnic shelter* di Mount
Trashmore. Sesekali, dia meringis kesakitan karena jatuh beberapa kali di
lintasan tadi. Kalau lengannya tidak dipenuhi rambut tipis, mungkin aku bisa
melihat goresan-goresan dan lecetnya lebih jelas.
"Mau coba?" tanyanya tiba-tiba sambil mendorong *skateboard *ke kakiku.
"Asyik, lho!"
"Itu sih kamu! Keseimbangan aku jelek!" sahutku merendah. Tapi, Ares
memaksaku – dia membimbingku untuk berdiri di atas papan luncur itu. Dia
tahu kalau semakin aku merendah, justru semakin besar aku ingin mencobanya.
Namun, baru lima detik meluncur, aku oleng dan nyaris jatuh. Dengan cekatan,
Ares menangkapku dengan melingkarkan tangannya pada pinggangku sebelum jatuh
mencium rumput. Salah satu kakinya menahan *skateboard *yang hampir terjun
bebas ke kolam.
"Kamu hampir nenggelamin Nico."
Kepalaku menoleh padanya penasaran. "Apa? Siapa?"
Secara teknis, Ares sedang memelukku dari belakang. Jadi, rasanya geli saat
dia tergelak dan bernafas tepat di leherku. Uh, aku yakin dia juga bisa
mendengar detak jantungku yang mulai berantakan.
Lengannya mendekapku semakin erat dan secara mengejutkan, Ares mencium
pipiku. "Virginia Beach Amphitheater?"
Oh ya! Konser We Are the in Crowd!
***
Virginia Beach Amphitheater, seperti namanya, adalah *concert hall
outdoor *dengan
format amfiteater raksasa yang sanggup menampung 20 ribu orang. Ada tiga
kelas di sini dan Ares mengajakku ke tempat yang terletak tidak jauh dari *
stage*.
"Aku nggak pernah nyangka Watic akan jadi band sebesar ini," gumamku sambil
melihat orang-orang yang berdatangan ke *venue*. "Padahal baru dua tahun
yang lalu aku dengerin mereka."
"Nggak akan ada yang bisa memprediksi hal seperti itu secara akurat,"
komentar Ares. "Tapi, jujur, setiap kali dengerin mereka... aku jadi ingat
hari-hari dimana kita bersama."
Alisku bertaut. "Salah satunya?"
"*Never Be What You Want*." Dia menghela nafas panjang. "Kamu akan tahu
kenapa."
Sepuluh menit kemudian, *lighting *mulai redup dan gemuruh penonton
terdengar keras menggema di *venue* – meminta band untuk segera naik
panggung. Satu persatu personil Watic naik ke atas panggung sampai kedua *lead
vocal*-nya, Jordan Eckes dan Taylor Jardine, muncul paling terakhir.
Ares terkekeh, lalu terbatuk-batuk kecil. *I know why*.
"*Hey, you all, Virginian!*" sapa Taylor yang malam ini memakai
*t-shirt *hitam-putih
dan jins hitam. Penonton membalasnya dengan penuh semangat. "*Glad to know
we have so many crumbs now!*" Sebagai catatan, *crumb *di sini adalah
sebutan bagi penggemar Watic.
*For the Win *dijadikan lagu pembuka. Salah satu lagu favoritku dari EP
mereka yang pertama, *Guaranteed to Disagree*. Para penonton mulai ikut
bernyani – menciptakan paduan suara yang besar di *venue*.
Namun, aku dan Ares hanya diam seperti terjebak di konser yang salah.
Saat *This Isn't Rocket Surgery *dibawakan sebagai lagu kedua, Ares melepas
rangkulan tangannya dari pundakku. Refleks, aku langsung menoleh padanya
karena kebingungan.
"Maaf kalau kamu merasa terintimidasi," bisiknya lembut.
Aku? Atau sebenarnya Ares yang merasa terintimidasi? Karena di lagu
selanjutnya, *Rumor Mill*, dia bernyanyi seperti orang kerasukan. Begitu
lepas dan mengejutkanku. *Déjà vu*. Ayolah, Dita! *You should've felt that
stupid thing called euphoria, no?*
"*The next song is called EASY! Where's your voice, crumbs?!!*" Taylor
mengacungkan *mic*-nya ke arah *crowd *dan kali ini, aku menjerit senang.
Lagu ini, *Easy*, mengingatkanku dengan kencan pertama dengan Ares di Fair
Grounds. Jadi, ya, sekarang aku dan Ares tenggelam dalam euforia
masing-masing.
Lagu-lagu selanjutnya; *Lights Out, We Need a Break, On Your Own, *dan *This
Isn't Goodbye, It's BRB *dibawakan oleh Watic dengan baik. Aku juga iri
melihat Taylor yang sangat energik meski tubuhnya yang paling mungil dari
personil yang lain.
Mereka mengambil jeda sejenak – sekitar lima menit yang dimanfaatkan oleh
Mike dan Jordan untuk basa-basi dengan penonton. Sementara Taylor berlari ke
arah *drum set *dan menghabiskan satu botol air mineral.
"*It's acoustic set, huh?*" Tiba-tiba, Taylor muncul dengan kursi di
tangannya, disusul Jordan yang sudah mengganti gitarnya dengan gitar
akustik. Para penonton menyambut dengan sorakan dan menebak-nebak lagu apa
yang akan dibawakan. Watic, *well*, mereka adalah salah satu band yang
sanggup membawakan sesi akustik dengan baik.
"*Never Be What You Wan, please?*" gumam Ares resah. "Mereka belum bawain
lagu ini."
Bahuku mengedik. "Siapa tahu *Both Sides of the Story*."
Ares menoleh padaku dengan dahi mengerut. "Kamu nggak mau tahu lagu apa yang
*sangat *mempengaruhi keputusanku tadi siang?"
"A—"
Sebelum aku sempat membalasnya, Taylor dan Jordan sudah sibuk
mengetuk-ngetuk kepala *mic*. Mereka berdua menebar senyum pada penonton dan
ketika *lighting *berubah menjadi biru keunguan, Taylor bicara,
"*This song is called... Never Be What You Want*."
Tepuk tangan singkat, kemudian hening agar kami bisa mendengar Jordan dan
Taylor bernyanyi. Ares melirikku lagi – matanya mengisyaratkanku untuk
memperhatikan lagu ini baik-baik. Aku tidak meragukan kemampuan duo ini,
jadi rasanya bukan hal yang sulit untuk menangkap lirik lagunya.
Sampai tiba Jordan menyanyikan bait ini;
* Take all your big plans and throw them away*
* I've got something in mind before we got separate ways*
Kemudian, Taylor menjawab;
* We ask the question, baby*
* Who provides the answer?*
Mereka menusukku lebih dalam di bagian ini;
* I'm scared to death and it shows*
* The flame burned out, but it glows*
* And the look in your eyes say thing I don't wanna know*
* It's time to go; come closer!*
* And I can't say anything, everything comes out the wrong way...
*
Aku terkesiap – lagu ini menggambarkan apa yang aku dan Ares pikirkan untuk
membuat keputusan bagi hubungan kami. Bagaimana bisa liriknya begitu
*pas? *Dan...
apa Ares jadi sangat yakin dengan keputusannya setelah mendengar lagu ini?
Taylor memejamkan mata saat bait ini dinyanyikan;
* I wanna be with you, and no one else!*
* I need you to feel the way that you felt*
* That summer night, when you found that puzzle piece*
* Missing for eight straight weeks*
* You're not the perfect fit! *
"Ares..." Aku menoleh padanya – yang ternyata sedari tadi menunggu reaksiku.
Mata hijau kecoklatannya bersinar redup; menggambarkan penyesalan yang
sangat dalam. Tapi, kami tidak bisa menariknya lagi. Keputusan ini sudah
bulat dan bukan main-main.
"*Pardon me, *Dita."
Ares menundukan kepalanya – kedua tangannya merengkuh wajahku. Aku
seharusnya malu; tapi kami sudah pernah berciuman di tengah kerumunan. Hanya
saja, yang ini jauh lebih suram. Kedua tanganku melingkar pada lehernya saat
Ares, dengan lembut, mencium bibirku perlahan.
* I'll never be what you want*
* I wouldn't change any part of me, just to make you stay*
* You had a piece of my heart*
* But not enough just to run away*
* Cause I know what's best for me...*
(*Never Be What You Want *– We Are the in Crowd)
***
Setelah itu, semuanya terasa sangat, *sangat *ringan.
Aku masih ingat saat Ares mengantarku pulang ke apartemen Helen usai konser.
*I realized that would be the last time I saw him*. Selama beberapa menit,
kami hanya diam, saling berhadapan di samping Chevrolet. Ketika pandangan
kami beradu, aku tahu... semuanya memang akan berakhir.
"*I just... had an awesome date with an extraordinary girl named *Dita,"
ujar Ares – tersenyum manis padaku. "Dan, aku pikir, tidak akan pernah ada
kencan seindah ini lagi nanti bersamanya."
Mataku memanas – hampir menangis. Tapi, akhirnya aku sanggup menarik nafas
panjang agar bisa tenang. "*And I just had a wonderful date with a lovely
iceberg guy named *Ares." Kami tertawa sejenak. "Seharusnya, aku 'membeku',
tapi dia membuatku terus 'kepanasan' sampai sekarang."
Lalu, Ares mendekapku erat. Telapak tangannya mengelus punggungku perlahan.
Sementara aku melingkarkan tangan pada pinggangnya. Menghirup, sekali lagi,
aroma tubuh Ares dari kemeja ini. Menenangkan – seolah-olah dia tidak akan
melepaskanku.
"*Like *Watic *said... this isn't goodbye, it's be right back*," hibur Ares.
"Kita akan bertemu lagi nanti."
Selanjutnya, Ares mengusap keningku sebelum mendaratkan sebuah ciuman hangat
di sana. Hatiku kembali bergejolak dan kali ini, kubiarkan air mata meleleh
tanpa isakan. Aku sudah terlalu lelah bertingkah dramatis hari ini.
Ares menempelkan keningnya pada keningku – membuat hidung kami saling
bersentuhan dan mata saling memandang. Aku berusaha untuk tersenyum ketika
air matanya menghapus air mataku.
"Istirahat yang cukup," pesannya setengah berbisik. "Jangan sampai sakit
lagi, ya?"
Aku mengangguk patuh. "Jaga diri baik-baik, Ar. Aku juga titip salam buat
Arty. Maaf nggak bisa ketemu dulu buat pamit."
"Ya, pasti kusampaikan."
Hening sejenak. Ares perlahan menarik mundur kepalanya, sementara aku
melepas pelukan dari pinggangnya. Lebih sulit untuk melepasnya kali ini –
jemari kami adalah yang terakhir; saling melepas satu persatu sampai kami
berdiri dan tidak bersentuhan.
"*Don't look past, keep moving forward, and start a new leaf,*" ujarku
padanya. Kami bertukar pandang – sudah saatnya. "*So, see you later, *Ares."
"*See you later*," sahutnya, "Aphrodite."
Aku mundur beberapa langkah dengan mata terpejam, lalu membalikan badan
dengan cepat ke arah apartemen. Begitu terbuka, yang mataku lihat hanya
gedung. Tanganku terkepal kuat; menahan godaan untuk menoleh ke
belakang. *Jangan
lirik Ares di belakang atau dia akan kembali ke kerajaan Hades*, candaku
miris dalam hati – mencatut kisah Orpheus dan Eurydice.
Tidak lama kemudian, telingaku pintu mobil terbuka dan terutup. Mesinnya
menyala dan Ares menginjak pedal gas – deru mobil terdengar meninggalkan
apartemen apartemen di belakang. Saat itu pula, aku berlari ke arah
*lift *dengan
air mata berderai. *Jangan, Dita! Jangan lihat ke belakang dan berlari
mengejar Ares!!!*
Semuanya berakhir. Tamat.
***
~ (oleh artemistics)