"Sampai sekarang aku masih menyukai permainan sulap," ujarku pada Indi yang sedang mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk tangan kirinya. Buku kecil yang tadi dipakai untuk menamparku itu masih di tangan kanannya. "Kalau pekerjaanku sedang luang, aku mengunjungi blog-blog yang membongkar rahasia para pesulap," lanjutku dengan tatapan was-was. Kuatir kalau ceritaku dianggap ngaco, kemudian buku itu kembali mendarat di pipiku. "Dan kalau memungkinkan, aku akan mencoba memainkannya."
"Apa maksudnya kalau memungkinkan?"
"Hanya sulap-sulap ringan yang tak butuh peralatan macam-macam," jelasku. "Tidak mungkin aku memainkan sulap-sulap panggung seperti mengiris tubuh dengan gergaji mesin, mengeluarkan perempuan cantik dari kotak, kebal dilindas stoom, merebus diri dalam tandon air mendidih, atau atraksi-atraksi besar lainnya. Aku lebih suka permainan kartu, koin, korek api, atau benda-benda kecil yang hilang dan muncul kembali dalam sekejap mata."
"Contohnya?"
Tanganku merogoh saku celana, kemudian mengeluarkan sekotak kartu dari dalamnya. "Aku punya satu permainan. Kali ini kita akan menyapa masa lalu."
"Tidak. Aku tidak mau diramal." Indi menggeleng, dua kali. "Masa lalu biar tetap jadi masa lalu. Itu sama sekali tidak penting. Masa depan biar tetap jadi misteri."
"Indiii... Lagian siapa yang mau ngeramaaal?" bantahku gemas. "Ini bukan kartu ramal. Cuma permainan untuk mengetahui siapa kamu di kehidupan sebelumnya. Idenya datang dari permainan Rolet Rusia. Pernah dengar kan?"
"Hanya ada satu peluru dalam pistol berpeluru enam?"
"Ya. Tantangannya adalah kita harus menghindari satu yang paling berbahaya. Seperti juga permainan empat gelas kertas yang dipasang terbalik dan salah satunya berisi pisau. Atau empat kaleng terbuka dan salah satunya berisi ular berbisa."
"Apa hubungannya dengan yang akan kamu mainkan?"
"Prinsipnya kurang lebih sama. Tapi yang ini kebalikannya."
"Aku masih nggak paham."
"Kamu nggak akan paham kalau ini nggak dimainkan, Indi. Kita coba saja mulai permainanya. Oke?"
Indi mengangguk ragu, lalu meletakkan buku kecil dan penanya agak jauh di ujung meja, kemudian melipat kedua tangannya dan mulai memperhatikan kartu-kartu di tanganku dengan lebih serius. Aku tersenyum kecil dan mulai mengocok kartu. Empat kartu kuambil secara acak lalu kubagi berjajar. Setumpuk kartu yang tersisa kugeser ke ujung meja sebelah kanan, di sebelah buku kecil dan pena milik Indi.
"Bisa kupinjam ini?" tanyaku sambil menunjuk buku dan pena itu.
Masih sedikit ragu Indi mengangguk mengiyakan. Aku cepat meraih buku itu, membuka halaman terakhirnya, menuliskan beberapa baris kalimat, lalu menutupnya dan meletakkan buku itu kembali di tempat semula. "Nanti di akhir permainan kamu boleh baca apa yang sudah kutulis di situ."
"Okay."
"Sekarang perhatikan kartu-kartu ini." Jelasku sambil menatap mata Indi dengan serius. "Ada empat gambar minuman. Espresso, cappuccino, hot chocolate, orange juice. Kamu boleh pilih, lalu tunjuk dua kartu. Jangan disentuh. Tunjuk aja."
"Kenapa nggak boleh disentuh?"
"Bukan muhrimnya, takut jinnya ngamuk, lalu dia nggak mau nunjukin masa lalu."
"Okay!" ujar Indi bersemangat. Tangannya langsung menunjuk dua kartu. Satu kartu bergambar orange juice dan satu lagi yang bergambar cappuccino.
"Yakin?" tanyaku.
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah lagi?"
"Yap."
"Bener?"
"Iyaaa..."
Aku menyingkirkan dua kartu pilihannya ke sisi meja sebelah kiri. Tersisa dua kartu. Gambar espresso dan hot chocolate. "Sekarang kamu pilih salah satu."
"Ditunjuk tanpa disentuh juga?"
"Ya." Aku mengangguk. "Tunjuk satu kartu. Lalu tunggu perintah selanjutnya."
Ragu-ragu telunjuk Indi mengarah ke kartu bergambar hot chocolate. Pilihan yang sebenarnya sudah bisa kutebak sejak awal, karena memang itulah minuman favoritnya. Ingatanku lalu melayang pada dua tahun yang lalu saat kami baru saling kenal. Pada suatu sore yang hujan di sebuah kedai kopi tak terlalu ramai. Aku baru saja menyelesaikan deadline artikel untuk sebuah majalah saat kulihat sosok asing Indi dengan langkah terburu-buru membuka pintu dan mengambil duduk tak jauh dari mejaku. Aku memperhatikannya beberapa saat, lalu tanpa banyak kesulitan memberanikan diri mendekatinya, dan akhirnya kami berkenalan sore itu juga. Kami mengobrol dan membahas tentang banyak hal. Indi lalu bercerita kepadaku. Hujan, hot chocolate, kangen dan Coldplay memang paduan yang mematikan, katanya sambil menyeruput minumannya. Aku mengangguk-angguk, sambil menghayati Warning Sign yang mengalun pelan di kafe.
"Okay." Suara Indi membuyarkan lamunan sesaatku. Telunjuknya berhenti tepat di atas kartu bergambar hot chocolate. "Jadi kartu ini milikku sekarang?"
"Sebentar. Kamu yakin dengan pilihan ini?"
"Sangat yakin."
"Nggak mau diubah?"
"Engg.. Ganti deh." Indi menggeleng sambil menatapku lucu. Telunjuknya berpindah ke kartu bergambar espresso.
"Yakin? Nggak mau ganti lagi?"
"Eh. Nggak jadi deh." Ralatnya lagi sambil tertawa. Telunjuknya kembali berpindah ke kartu bergambar hot chocolate.
"Yakin? Nggak mau gant.."
"Udah. Buruan. Sebelum aku jadi labil lagi."
"Baik. Sekarang kamu boleh buka bukunya, lihat apa yang tadi kutulis di lembar terakhir."
Indi meraih buku di atas meja, lalu membukanya perlahan seakan yang dihadapinya adalah kotak pandora berisi hal yang mengerikan. Tapi tak lama kemudian tawanya langsung pecah. "Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyanya tergelak. Buku itu diletakkannya terbuka di atas meja. Ada sebaris tulisan tanganku di sana;
Silakan diminum coklatnya.
"Tunggu dulu." Jelasku. "Inti permainannya bukan ini. Tadi sudah kukatakan kalau ini tentang siapa kamu di kehidupan sebelumnya kan?"
"Ya. Bagaimana tentang itu?"
Aku tersenyum, lalu membalik kartu yang tersisa, kartu bergambar hot chocolate yang jadi pilihan Indi. Ada kertas putih yang sebelumnya sudah kutempel di sana dengan double tape. Tertera di atas kertas itu dengan font berukuran kecil;
I don't know how you feel about it, but you were female in your last earthly incarnation.You were born somewhere in the territory of modern West Australia around the year 400. Your profession was that of a jeweler or watch-maker.
Your brief psychological profile in your past life:
Inquisitive, inventive, you liked to get to the very bottom of things and to rummage in books. Talent for drama, natural born actor.
The lesson that your last past life brought to your present incarnation:
There is an invisible connection between the material and the spiritual world. Your lesson is to search, find and use this magical bridge.
Do you remember now?
Indi kembali tertawa. "Ini bisa dipercaya? Jadi di kehidupan yang lalu aku adalah..."
"Cuma past life analysis hasil copy paste dari internet. Mana aku tahu?"
"I Love You More," ujar Indi sambil tersenyum.
"What?"
"Maksudku nama untuk cupcake berikutnya," Indi buru-buru meralat. "Cupcake dengan topping butiran coklat, taburan serbuk cinnamon.."
"Sebentar," tahanku. "Bukannya cerita kedua belum aku mulai?"
"Permainan sulap barusan sudah cukup menginspirasiku, Cesa." ucap Indi masih dengan senyum yang entah kenapa tiba-tiba membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. "Ceritamu berikutnya bisa disimpan untuk nama cupcake ketiga," lanjutnya kemudian.
"Tapi.. I Love You More?" aku menggeleng-nggeleng. "Oh Tuhan.. Sepertinya bukan nama yang cocok."
"Tidak," tegas Indi yakin. "Aku yakin ini nama yang bagus. I Love You More, pasti akan jadi paduan yang tepat kalau dinikmati bersama dengan.."
"Hujan, hot chocolate dan Coldplay?" potongku.
KLIK!
"Oh, shit!" ucapku refleks. Sekitarku mendadak gelap gulita. Kudengar Indi juga tersentak kaget dan tangannya menyenggol tumpukan kartu di meja hingga jatuh berserakan di lantai.
"Pemadaman." Katanya setengah berbisik. "Rupanya PLN sedang bercanda. Semoga tidak lama."
***
~ (oleh @monstreza)