"Vina, besok kamu lebih baik tidak masuk sekolah dulu, ya?" Mama terlihat khawatir di samping ranjangku, aku masih saja mencegah mengalirnya darah yang sedari tadi sore mengalir di hidungku.
"Tapi, Ma; Vina besok ada ulangan. IPA lagi..."
"Sayang, kondisi kamu sedang lemah."
"Sebentar lagi juga sembuh kok, ma. Vina cuma perlu istirahat. Vina harus tidur." Aku berusaha meyakinkan mama, meskipun hatiku sendiri berkata lain.
"Kamu tidak berubah, keras kepala. Ya sudah, tapi kalau sampai besok pagi kamu masih mimisan seperti ini, jangan masuk! Biar mama yang izin ke guru kamu." Mama mulai berniat meninggalkanku di kamar.
Aku membentuk jariku tanda setuju.
Aku hanya berharap darah ini bisa berhenti, entah dengan apa. Setidaknya, esok pagi ia sudah lenyap. Dan sungguh kusyukuri, pagi-pagi darah ini telah hilang, mungkin dari semalam ketika aku terbuai lelap. Dan sesuai janji mama semalam, mama mengizinkanku masuk sekolah demi ulangan. Yah, meski aku tau hati kecilnya tidak berkata demikian.
Perlahan aku menghampiri kelas, sejauh ini semua baik-baik saja. Dan ulangan IPA cukup berhasil kulewati meski sempat dadaku seakan dicekik. Namun semua tak berlangsung lama, perlahan aku bisa merasakan ada darah mengalir dalam hidungku. Sekilat aku menghalaunya dengan saputangan yang sudah kupersiapkan. Dan darah itu sempat berhenti. Namun tidak saat aku beranjak pulang. Darah itu kembali menderas. Tiada waktu untuk mengambil saputangan di dalam tasku, aku berlari sekuat yang kubisa ke kamar mandi; dengan harapan setidaknya tak ada yang melihatku dengan wajah bercucuran darah.
"Sorry, guys... Kebelet." Aku hanya menyunggingkan senyumku melihat Azizah dan Viva yang menungguku sedari tadi, aku tau, aku terlalu lama tadi. Dan mereka akan menungguku karena kami terbiasa pulang bersama. Maaf, teman-teman.
"Viva! Sudah mama bilang, seharusnya kamu tidak masuk sekolah tadi. Jadinya seperti ini, kan." Mama terlihat cemas di sampingku. Darah seakan meleleh di baju seragamku. Tadi, sesampainya di rumah, darah itu kembali mengucur dari hidungku, dan bahkan ketika aku terbatuk, kejadian saat malam anniversary-ku terulang kembali. Mama, maafkan aku.
Dan, mama tidak mempercayaiku lagi. Mama mulai mengikat kegiatanku di luar.
"Biar mama yang antar kamu sekolah."
"Kerja kelompoknya di sini aja."
"Biar mama yang belikan peralatan tulis itu, kamu istirahat saja di rumah."
"Mama, aku tetep gadis biasa. Aku ingin bebas sedikit saja." Terkadang jiwaku memberontak.
Segala larangan itu mulai membatasiku. Bahkan, aku tak lagi diizinkan bepergian bersama Viva, Azizah dan Deo. Aku tak lagi hadir di antara ceria-ceria mereka. Aku hanya bisa termangu di sudut kamar. Kadang dadaku seakan diikat kuat, kadang darah itu berusaha keluar dari tubuhku tanpa pernah kusuruh, dan segala pedih dari kanker ini mulai mengekang hidupku, tanpa mendapati mereka tertawa di hadapanku. Aku rindu kebersamaan kita, guys. Aku rindu kalian.
Saat sekolah, aku kerap mendapati diriku batuk dengan darah yang mengiringi, atau mimisan yang seakan mewakili tangisan mataku. Kadang darah-darah itu menetes, membasahi seragamku yang semakin sulit kututupi. Dan ketika bercak-bercak darah itu terlihat oleh mama, aku terpaksa harus menurutinya untuk absen yang kesekian kali dari kelasku.
"Vin, lo nggak mungkin kebelet tiap hari, kan? Sering lagi." Viva mendelik, perlahan ia duduk di samping ranjangku. Ia menjengukku setelah tiga hari aku absen dari kelas. Tidak ada Azizah dan Deo bersamanya. Kata Viva, mereka ditugaskan kelompok sementara Viva telah tuntas dan menyempatkan datang kemari.
"Dan, gue sering lihat ada darah di seragam lo. Walau lo bilang itu saus atau apalah, darah itu berbeda dari sekedar saus, Vina."
Aku terdiam. Aku tahu, aku tak lagi mungkin merahasiakan semua yang mendekam di tubuhku.
"Vina, gue ini sahabat lo." Viva mendekap tanganku.
"Va, gue pengen, lo tetep mau bertemen sama gue."
Viva mengangguk, seperti tak ingin berkata karena menerka.
Dan aku terisak, "Maaf selama ini gue sering ngebohongin kalian, lo dan Azizah. Selama ini, gue sering mimisan dan batuk berdarah. Gue gak mau dilihat kalian dengan keadaan seperti itu. Gue kanker; Va, gue kanker." Aku menangis di hadapannya. Berat. Aku seakan gadis yang lemah, tiada berdaya saat itu.
"Revina, gimanapun keadaan lo, gue tetep bakalan ada di samping lo. Juga Azizah, dan Deo. Lo boleh pegang janji gue. Kita bakalan terus doain lo. Lo pasti bisa sembuh. Gue tau lo cewek kuat. Lo nggak lemah..." Ada titik-titik air mata di pancaran mata Viva. Perlahan, titik-titik itu berubah menjadi mengikat, dan perlahan turun bersamaan.
"Makasih, Viva. Lo yang terbaik bagi gue, dan kalian juga." Aku memeluknya erat-erat. "Va, tolong rahasiakan ini dari Azizah dan Deo. Aku belum siap untuk diketahui mereka. Please..." Aku memohon.
"Percaya padaku!" Matanya memancarkan kesungguhan.
"Udah ah galaunya. Lo bakalan tetap menggila bareng kita, kan? Lo gak akan berubah jadi cewek jaim, kan?" Senyum mengejeknya mulai tersungging manis.
"Pasti! Gue tetap bakalan ketawa-ketawa bareng kalian, dan gue tetap cewek non-jaim. Hahaha..." Aku seakan terbawa suasana yang baru ia munculkan.
"Hahaha... Gue tunggu wajah lo di sekolah, besok!"
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang indah untukku, Viva...
- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)
Thursday, 15 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)