Warung Bebas

Sunday, 18 September 2011

Simfoni Kelima #5

Hari yang ditunggu pun tiba. Siang itu Pak Gideon, Bu Jessica, Sammy dan tak ketinggalan Gita, berkumpul di ruang keluarga. Sammy memainkan sebuah lagu dengan gitarnya. "Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki" dari Sheila on 7. Gita mengubah progresi akor lagu itu hanya menjadi G dan C. Hanya dua akor itu yang perlu Sammy mainkan untuk membawakan lagu dari awal hingga selesai. Secara mengejutkan, Sammy mengalami kemajuan yang cukup pesat. Di hari keempat, Sammy telah menguasai beberapa akor dasar. Pagi tadi Gita mengajarkan lagu itu, dan lima jam kemudian Sammy sudah cukup menguasainya. Ia bernyanyi ala kadarnya. Kedua orangtuanya tak menghiraukan suara Sammy yang pas-pasan. Yang terpenting bagi mereka, anaknya kini sudah bisa bermain gitar.
Pak Gideon, Bu Jessica, serta Gita bertepuk tangan ketika Sammy selesai membawakan lagu.
"Papa tahu, kamu pasti bisa," ucap Pak Gideon seraya menepuk-nepuk pundak anaknya.
"Terima kasih Nak Gita, sekarang anak Ibu bisa menarik perhatian calon mertuanya," ujar Bu Jessica terkekeh.
"Iya. Dan usaha kita gak jadi bangkrut," sahut Pak Gideon dengan mata berbinar. Kedua suami-istri itu tertawa-tawa bahagia.
Gita menatap Sammy dengan pandangan penuh tanya. Sammy memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata Gita.
"Nak Gita, sebelum pulang, kita makan siang dulu ya?" ajak Bu Jessica.
"Iya. Anggaplah ucapan terima kasih kami, karena kamu berhasil mendidik Sammy secepat ini," sambung Pak Gideon.
Gita tersenyum simpul. Ia mengangguk pelan. "S-saya mau beresin gitar saya dulu," katanya sambil menatap gitarnya yang tergeletak di lantai.
"Ya sudah, kita tunggu di meja makan, ya?" tanya Bu Jessica.
"Baik Bu," angguk Gita.
Bu Jessica dan suaminya lantas pergi meninggalkan ruang keluarga. Sambil berjalan, keduanya masih tertawa-tawa kecil.
"Jadi, lo mau merit?" tanya Gita.
Sammy mengangguk lesu. Tatapannya terarah ke lantai keramik.
"Jadi, lo belajar gitar cuma buat narik simpati calon mertua lo?" Gita tersenyum kecut. Ia berlutut dan masukkan gitar akustiknya ke dalam hard case. "Gue pernah denger pernikahan yang dilandasi harta. Tapi cuma di sinetron. Baru kali ini gue ngelihat dengan mata-kepala gue sendiri." Suara Gita terasa dingin.
"Kok elo jadi sewot, sih?" tanya Sammy.
"Si Kuning itu nama siapa? Panggilan kesayangan buat pacar lo, kan?" tembak Gita.
"Gita… elo gak tahu apa-apa tentang keluarga gue. Lo gak tahu apa-apa tentang gue. Lo gak berhak ngasih penilaian apapun terhadap gue dan keluarga gue."
Gita telah selesai membereskan gitarnya. Ia berdiri dan menatap mata Sammy dengan tajam. "Bilangin ke bo-nyok lo, gue gak jadi makan!" ucapnya. Ia lantas berbalik dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.
Sammy hanya terdiam menatap punggung Gita yang bergerak menjauh. Ketika Gita menghilang di balik dinding, ia baru menyadari, ucapannya mungkin terlalu kasar. Ah, gak usah gue pikirin. Toh dia yang ngata-ngatain gue duluan, bela Sammy dalam hati.
***
Malam harinya, sebuah reuni keluarga kecil-kecilan terjadi di ruang makan rumah Sammy. Pak Leo dan Pak Gideon bercengkerama dengan hangat. Bu Jessica dan Bu Rika, istri Pak Leo, ikut menyemarakkan suasana. Rena sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat keempat orang dewasa itu tertawa terbahak-bahak. Topik pembicaraan mereka berkisar antara masa kecil Sammy dan Rena yang menggelikan.
"Waktu itu, Sammy yang ngompol duluan," kata Bu Jessica. "Dia nangis. Rena ikut-ikutan nangis. Eh, habis itu, Rena malah ikutan ngompol."
Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Sammy hanya tersenyum simpul. Ia tak begitu tertarik dengan topik pembicaraan. Ia bahkan tak tertarik dengan acara malam itu. Entah mengapa, sedari tadi wajah Gita berputar-putar di benaknya. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Ia berdiri dan bergerak meninggalkan ruangan itu.
"Mau ke mana Sam?" tanya Bu Jessica.
"Ke toilet," jawab Sammy.
"Jangan lama-lama," kata Pak Gideon.
Sammy hanya mengangguk lemah. Sebenarnya, ia tak ingin ke toilet. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Entah mengapa ruang makan itu terasa sesak. Ia butuh udara segar.
Ketika melewati ruang keluarga, perhatiannya tertuju pada gitar berwarna merah pemberian ayahnya. Langkahnya terhenti. Ia tatap gitar itu beberapa detik. Ia memutuskan untuk mendekatinya. Ia angkat gitar itu, lalu memainkannya perlahan sambil berdiri. Suaranya lirih menyanyikan lagu Sheila on 7—satu-satunya lagu yang ia kuasai saat itu. Lirik lagu itu terasa merasuk dalam jiwanya. Ia bernyanyi dengan pelan, berusaha agar suaranya tak sampai terdengar ke ruang makan.
Sebuah tepukan di pundak kanannya membuatnya terkejut. Ia berhenti bernyanyi, lalu menoleh.
"Katanya kamu mau ke toilet?" tanya Rena yang sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu mengenakan mini dress biru yang melekat pas dengan tubuhnya. Sapuan make-up tipis membuat wajahnya terlihat segar. Anting-anting biru di telinganya terlihat serasi dengan pakaiannya. Dalam balutan busana seperti itu, Rena tampak lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya.
Saking seriusnya menghayati lagu, Sammy sampai tak menyadari kehadiran orang lain di ruangan itu. "Ehm… tiba-tiba aja gak jadi pengen buang air."
Rena mengangguk-angguk kecil. "Dari tadi, aku perhatiin kamu diam aja," katanya. "Kamu lagi ada masalah?" tanyanya kemudian.
Sammy menggelengkan kepala.
"Atau… kamu gak suka dengan kedatanganku?" tanya Rena lagi.
"Eng… enggak, bukan itu. Aku cuma—" Suara Sammy tercekat di tenggorokan. "Entahlah…" katanya seraya menghela napas panjang.
"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku," kata Rena.
Sammy menatap lembut mata Rena. Ada keramahan yang terpancar di sana. "Aku baik-baik aja. Terima kasih," kata Sammy. "Mending sekarang kita balik ke ruang makan. Sebelum nyokap gue mulai panik." Ia mencoba mencairkan suasana.
Rena tersenyum. "Kamu lucu. Kayak dulu…"
Sammy memaksakan sebuah senyum. Wajahnya terasa kaku. Keduanya lantas berjalan menuju meja makan.
"Jadi, kamu suka main musik sekarang, Sam?" tanya Pak Leo, menyambut Sammy yang telah kembali.
"Eng—"
"Suara Sammy bagus, Pi," kata Rena. "Tadi Rena sempet dengerin. Main gitarnya juga lumayan."
Sammy menatap Rena yang tersenyum ke arahnya. Ia tak bisa berkata-kata.
"Oh ya? Wah, kalian bakal cocok kalau begitu," kata Pak Leo.
"Sammy ini dari dulu kerjaannya nge-band terus, Pak Leo," kata Pak Gideon.
"Oh ya? Jadi kamu nge-band juga?" tanya Pak Leo dengan mata berbinar.
Pak Gideon mengangguk mantap. "Saya sampai capek ngingetin dia untuk fokus ke sekolah. Tapi sekarang kan dia sudah lulus. Jadi, saya dukung saja kegiatan dia. Siapa tahu dia berhasil di musik."
Sammy hanya terdiam mendengar bualan ayahnya.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bantuin Rena di produksi albumnya. Kebetulan dia lagi butuh gitaris," kata Pak Leo. "Itu juga kalau kamu mau."
"Wah, Sammy pasti senang sekali," kata Bu Jessica. "Apalagi bisa bikin album sama Rena. Iya kan, Sam?"
Sammy tersenyum kecut, lalu mengangguk pelan. "I-iya…"
"Bagus, bagus. Kalau begitu, bulan depan Bapak tunggu kamu di studio. Kebetulan Bapak sendiri yang jadi produsernya." Pak Leo tersenyum bangga. "Gimana?"
Sammy menelan ludah. Rasanya sungguh pahit. Merasa tak punya pilihan lain, ia pun mengangguk lemah. Sekali lagi, ayahnya menempatkannya dalam posisi sulit. Entah apa yang akan terjadi nanti. Ia baru menguasai satu lagu, dan minggu depan ia sudah membuat janji dengan seorang produser musik untuk membantu pembuatan sebuah album. Gue jadi penasaran, kesialan apa lagi yang bakal gue dapetin nanti? tanya Sammy dalam hati. Ia pun melanjutkan sisa makanannya tanpa nafsu.
***

(Bersambung)


~ (oleh @garirakaisambu)

0 comments em “Simfoni Kelima #5”

Post a Comment