Warung Bebas

Sunday, 18 September 2011

Simfoni Keenam #6

Sammy termangu di atas meja belajarnya. Buku-buku pelajarannya sudah ia tutup sedari tadi. Yang ada di hadapannya kini adalah telepon seluler. Ia tatap telepon seluler itu lekat-lekat. Beberapa saat kemudian ia meraihnya dan menekan beberapa angka. Belum juga jaringan telepon terhubung, ia sudah mematikan sambungan. Rasa bersalah memenuhi relung hatinya. Dadanya dijejali penyesalan. Sekali lagi, ia tekan nomor yang sama. Sebaris kalimat muncul di layar HP:
Calling Gita…
Tak ada jawaban. Ia telepon sekali lagi, namun tetap tak ada jawaban. Gita benar-benar marah padanya dengan alasan yang tak ia pahami. Keluarganya memang ingin menikahkan dirinya dengan Rena untuk alasan uang. Rumah makan ayahnya butuh suntikan modal, dan menikahi anak seorang pengusaha besar adalah satu-satunya jalan menghindari kebangkrutan. Apa salahnya? Toh, ia dan Rena saling mencintai. Sepertinya…
Untuk yang satu itu, Sammy memang belum terlalu yakin. Pada pertemuan kemarin malam, Rena memang tampil mempesona. Namun itu belum cukup membuatnya jatuh cinta. Pesona Rena belum bisa membuat Sammy berhenti memikirkan Gita.
Apakah ia mencintai Gita? Gak banget! seru Sammy dalam hati. Gue gak mungkin suka sama cewek aneh itu!
Perempuan adalah makhluk yang sangat aneh. Mereka bisa meledak-ledak karena suatu alasan yang tak jelas. Begitulah yang Sammy yakini. Dan itu terbukti pada Gita. Kenapa Gita harus semarah itu? Apakah motivasinya belajar gitar salah? Kalau memang salah, di mana letak kesalahannya? Ia tak habis pikir. Ia tak bisa mengikuti jalan pikiran gadis itu.
Semakin lama ia memikirkannya, semakin sulit ia menghapus bayangan wajah Gita dari benaknya. Gue cuma harus minta maaf sama cewek itu, dan gue pasti bisa berhenti mikirin dia, pikirnya. Tapi gimana caranya minta maaf, kalo telepon gue gak diangkat-angkat gini? Ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba ia teringat kartu nama ayah Gita yang ada di dompet ibunya. Seingatnya, di kartu nama itu tertera alamat lengkap Gita. Ia pun segera bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
***
Mobil yang ditumpangi Sammy berhenti di sebuah rumah yang berada di tengah kompleks perumahan. Setelah yakin itu adalah rumah yang dituju, ia segera memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia lalu turun dan bergegas melangkah menuju pintu. Ia tekan bel yang ada di samping daun pintu. Sebuah alunan nada terdengar di dalam. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Ketika pintu terbuka, wajah Gita tiba-tiba muncul di hadapan Sammy.
Melihat kehadiran Sammy, raut Gita mengeras. Dahinya mengernyit, membuat kedua alisnya seperti menyatu di tengah-tengah. Ia bergerak menutup kembali daun pintu.
Sammy bergegas menahannya. "Git, sebentar. Gue ke sini mau ngomong sama lo."
"Gue lagi males ngomong. Apalagi sama lo." Ia semakin kuat menekan pintu, berusaha keras menutupnya. Namun gagal. Tenaga Sammy yang jauh lebih besar membuat usahanya sia-sia.
"Jelasin dulu apa salah gue, dan gue bakal pergi dari sini. Gue gak akan nemuin lo lagi."
"Omong kosong! Pergi, atau gue teriak?"
"Please, kasih gue lima detik untuk ngejelasin satu hal. Habis itu terserah kalo elo mau ngusir gue."
Memahami bahwa tenaganya kalah kuat dengan Sammy, Gita akhirnya berhenti berusaha menutup pintu. Ia buka pintu itu hingga separuh. "Oke, lima detik."
"Sebentar," kata Sammy sembari mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya. Ia buka lipatan kertas itu dengan cekatan. "Lo liat ini," pintanya pada Gita. Kertas itu menampilkan sepasang pria dan wanita menggunakan seragam almamater berwarna kuning. "Ini motivasi gue belajar gitar. Gue dapet nama untuk gitar gue dari sini."
Dahi Gita semakin berkerut-kerut. "Gue gak ngerti," katanya.
"Gue pengen banget kuliah di UI. Tapi cita-cita gue bakal gagal, soalnya usaha bokap gue hampir bangkrut. Keluarga gue punya utang yang gede. Satu-satunya jalan untuk keluar dari masalah ini, bokap-nyokap terpaksa ngejodohin gue dengan teman kecil gue. Namanya Rena. Bokapnya dia pengusaha kaya."
"Terus? Maksudnya, dengan begitu, elo tetep boleh menikah dengan alasan uang? Kalo gue jadi Rena, gue pasti sedih banget begitu tahu suami gue gak pernah mencintai gue. Begitu tahu suami gue cuma mau nikahin gue demi harta bokap gue."
"Gak begitu juga," sanggah Sammy. "Gue dan Rena udah dijodohin dari kecil. Jadi sebenernya alasan uang itu cuma alasan penguat aja. Ada alasan itu atau enggak, gue dan Rena tetap bakal menikah."
Gita terdiam sesaat. Ia seperti memikirkan sesuatu. "Lo cinta sama Rena?"
Sammy terkejut mendengarnya. "Kok lo tanya kayak gitu?"
"Gue tanya, elo cinta sama Rena?"
Sammy menelan ludah. "I-iya," angguknya.
Gita tersenyum kecut. "Baguslah. Berarti lo gak bajingan banget."
Sammy tak mengerti, apakah itu sanjungan atau hinaan. Ia juga tak mau memiliki konflik yang lebih panjang dengan gadis itu. "Gue butuh lo, Git," ujar Sammy kemudian.
"Buat apa? Lo udah bisa main gitar. Tinggal dikembangin terus aja, lo pasti jago sendiri."
"Tapi gue harus jago dalam waktu sebulan."
"Jadi, apa lagi sekarang?"
"Lo harus bisa narik simpati nenek buyutnya Rena yang musisi terkenal?"
"Gita, please deh…"
"Terus?"
"Bulan depan gue harus bantuin Rena bikin album. Gue yang ngisi part gitarnya."
"Hah? Gue heran deh. Kalo elo emang gak bisa, kenapa lo gak jujur aja sih dari awal?"
"Bokap gue yang bilang ke bokapnya Rena kalo gue jago main gitar. Bokapnya Rena produser. Dia langsung ngajakin gue bantuin produksi albumnya Rena."
Gita mendengus kecil. "Gue curiga, jangan-jangan dari awal, bokap lo juga ngibulin bokapnya Rena kalo elo suka musik lah, jago main gitar lah, bla… bla… bla…"
"Ya, lo bener."
Gita terdiam sesaat. Beberapa detik kemudian ia berseru, "Hah? Serius lo?"
Sammy mengangguk.
"Wah, bokap lo emang yahud," kata Gita terkekeh.
Sekali lagi, Sammy tak mengerti apakah itu pujian atau hinaan. Ia tak peduli. Yang ia pedulikan, sekarang Gita mau kembali mengajarinya bermain gitar. Hanya itu yang ia pedulikan. Karena hanya itu satu-satunya jalan agar ia bisa berkuliah.
"Dunia emang panggung sandiwara," kata Gita sejurus kemudian.
"Ya… gue setuju sama kata-kata lo."
"Itu bukan kata-kata gue. Itu lirik lagunya God Bless."
"God apa? Gue belum pernah denger nama penyanyi itu."
"Itu bukan nama penyanyi, Dodol! Itu nama band legendaris Indonesia."
"Oh ya? Gue belom pernah denger."
"Apa sih, yang pernah lo denger? Rumus Fisika?" ledek Gita. Sammy hanya melengos. "Gue kasih tahu ya," kata Gita lagi, "lo gak bakal jadi manusia kalo cuma ngerti rumus Fisika. Lo harus ngerti musik. Manusia dilahirkan secara gak sempurna. Gak utuh. Musiklah yang bikin kita jadi utuh. Jadi sempurna."
"Oh ya?"
"Oh ya, oh ya… mulu. Lo punya kata-kata lain gak sih?"
Sammy terkekeh. "Punya. Kata-kata gue gini: Gita, please bantuin gue biar jago main gitar. Gue pengen kuliah di UI."
"Ah, basi lo!"
Sammy terkikik. Gita ikut tertawa geli.
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu - http://garirakaisambu.com)

0 comments em “Simfoni Keenam #6”

Post a Comment