Warung Bebas

Friday, 16 September 2011

Saputangan Biru Muda

Suasana ini,  aku benci sekali bau Rumah Sakit, tiga tahun lalu, di tempat ini Ayahku meregang nyawanya. Kanker otak yang menggerogoti tubuhnya hingga mengecil, lalu lemah tak berdaya untuk sekedar menerima pengobatan. Aku benci harus kembali melihat diding putih bergaris hijau muda tempat ini, benci tiap inci lantai di sini, bau ini, bau yang menemani tangisku di malam itu, malam di mana kami kehilangan satu-satunya lelaki di rumah munggil kami. Ayahku.
Ya Tuhan, semoga Ricardo baik-baik saja. Sembuhkan dia Tuhan, tolong berikan sedikit bantuan di sini. Tolong.
“Nar, Sinar.. Ricardo kenapa, Nar?” suara lembut seorang perempuan dari arah belakangku, aku pun langsung menengok.
“Mama..” ucap Tena sambil berdiri dari tempat duduk ruang tunggu Unit Gawat Darurat (UDG) Rumah Sakit swasta yang tidak jauh dari komplek rumah kami.
“..Abang baru masuk, Ma. Dokternya belum keluar ngasih kabar. Abang pingsan di rumah kak Sinar” lanjut Tena menjelaskan kondisi Ricardo.
“Gimana ceritanya sih, Nar? Kenapa dia bisa pingsan?” tanya tante Ina, perempuan cantik berusia 46 tahun, mama Ricardo.
“Aku juga kurang tau tante, tadi dia di rumah sendirian, aku pergi sebentar, pas aku pulang dia udah pingsan. Aku langsung telepon Tena buat bawa ke RS tadi. Aku bingung banget, sampai lupa ngabarin tante” jelasku.
“Aduuh, itu anak sekarang memang kurusan, pulang tengah malam terus, kecapekan pasti..” kali ini nada bicara Beliau mulai melemah dan dari matanya terlihat air mata yang ditahan.
“Semua akan baik-baik aja, Tante. Ricardo pasti baik-baik aja” aku menghampiri dan merangkul nya.
Dokter keluar dari ruangan dan mempersilahkan kami masuk satu-persatu, dari rawut wajahnya sepertinya semuanya baik-baik saja, dokter ingin berbicara pada orang tua pasien, dan Tena sudah terlebih dahulu masuk ke ruangan UGD, artinya aku harus menunggu Tena keluar dulu agar aku bisa melihat kondisi Ricardo.
Tante Ina selesai berbicara dengan dokter berbarengan dengan keluarnya Tena dari tempat Ricardo berada, kali ini tante Ina masuk ke sana. Aku masih belum mendapatkan info apapun tentang Ricardo. Tena langsung pergi ke toilet sebelum aku sempat mananyai bagaimana kondisi Ricardo saat ini. Ah, itu dokter tadi, aku tanya dia saja.
“Dok, sebentar dok. Saya teman dari pasien yang baru saja dokter periksa, yang di sebelah sana” aku menunjuk di mana Ricardo berada.
“Oh, tuan Ricardo. Dia gak apa-apa, Cuma kecapekan, darahnya rendah dan sepertinya makanan yang dia makan banyak yang sembarangan, hingga kurang gizi”
“Hah? Kurang gizi? Kayanya berat badan dia sudah normal dan selalu makan yang bener deh”
“Bener kayak gimana? Kurang gizi gak semata-mata hanya dilihat dari berat badan, dilihat juga dari apa yang dia konsumsi tiap hari, mungkin dia banyak makan makanan enak namun rendah gizi? Ditambah dengan darahnya yang rendah, jadi sitem imunnya kurang kuat, dan mudah terserang penyakit. Lalu dilihat juga dari kerajinannya berolah raga. Apa olah raganya teratur?”
“Nggak, dia gak pernah olah raga” jawabku singkat.
Aku mendengarkan penjelasan dari dokter dan meminta saran untuk gaya hidup yang baik untuk nanti aku paksakan ke Ricardo.
Tante Ina sudah keluar dari ruangan itu, aku segera masuk menemui Ricardo.
“Bangsat” ucapku pertama kali saat kulihat dia di atas tempat tidur dengan infus di tangannya saat itu.
“Hehehe” seperti biasa, dia tidak menunjukkan rawut wajah ‘ada yang salah’, dia malah cengengesan.
“Demen amat sih lo bikin orang khawatir!” ucapku lagi sambil mejenggut rambutnya pelan.
“Aduduuuh, orang sakit gini malah dijambak” dia memegang kepalanya.
“Hhhhh..gue pikir lo kenapa, tau-taunya kurang gizi, malu-maluin gue aja lo”
“Nar, tadi lo khawatir yak sama gue?”
“Kagak, ngapain juga gue khawatir sama akibat dari kemalasan lo gerak”
“Cailah, gue tau kok elo tadi pas di rumah nangis, Tena cerita” ucapnya dengan nada meledek.
“Ya khawatir lah, lo pingsan di rumah gue, kalau lo kenapa-kenapa gue yang repot” jawabku ketus
“Hmmm”
“Denger yah, mulai minggu depan tiap hari kita lari pagi, minimal 30 menit, seminggu sekali kita berenang atau apa kek yang lebih berat olah raganya”
“What?”
“Iya, lo juga harus atur makanan lo, jangan asal-asalan pilih makanan. Lo gak boleh makan mie instant lagi, ada ya orang kayak lo, sehari makan mie instant dua bungkus. Kesian perut lo”
“Hmmm” jawabnya singkat, wajahnya masih pucat dan terlihat lelah.
“Jangan pulang malem terus, jangan begadang. Mau kan lo kali ini nurut sama gue?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku yang terakhir, karena sepertinya tertidur, belum pulas, namun aku tidak mau mengganggunya.
Dokter bilang dia bisa langsung pulang, namun tante Ina tidak memperbolehkan Ricardo pulang dulu, katanya agar dia bisa istirahat total di sini. “Kalau dia langsung pulang palingan nanti malem sudah kelayapan lagi entah ke mana” kurang lebih begitulah ucapan tante Ina tadi. Tena mengantar mamanya pulang, karena beliau sendiripun sebenarnya sedang tidak begitu sehat.
Ricardo sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap, aku duduk di sebelah tempat tidurnya. Sudah lama aku tidak sedekat ini melihat teman kecilku tertidur pulas. Bentuk wajahnya tidak ada yang berubah sedari dulu, hanya semakin tajam dan jadi. Seketika kenangan yang telah kami jalani bersama terbayang saat itu. Saat kami masih mengenakan seragam putih biru.
Ricardo Redaya, anak basket yang juga ngeband, tidak salah saat itu dia digilai perempuan-perempuan satu sekolah. Ditambah tampangnya yang kombinasi darah Minang ayahnya dan Belanda – Sunda ibunya. Sedari dulu dia selalu hidup enak, lahir di keluarga kaya yang bahagia.
Aku mengenalnya saat kelas dua SMP, saat itu kami sekelas, dia menjabat sebagi ketua kelas dan aku sekretaris kelas. Dia pernah menolongku saat aku datang terlambat sekolah, kami memanjat pagar belakang sekolah, saat itu ada ujian di jam pelajaran pertama, namun aku dan dan dia datang terlambat, aku yang ketakutan karena pasti disuruh pulang atau setidaknya dihukum jika ketauan terlambat, diam tidak berani berjalan hingga depan sekolah. Dia lewat sambil berjalan dengan santai dan menyapaku, lalu menarik tanganku untuk memutar jalan ke belakang. Itulah genggaman tangan pertama yang ku dapat dari seorang lelaki selain ayahku.
“Nah, kita lewat sini aja..” ucap Ricardo sambil menunjukkan tembok belakang sekolah yang posisinya tepat dekat mosola sekolah kami.
“Hah? Manjat? Guekan pake rok” jawabku ragu.
“Lo pasti bisa, ini temboknya pendek kok, gue bantuin”
“Emm..duh”
“Kenapa? Mau ikut ulangan gak lo? Jam segini musola sepi, cepetan, nanti keburu ulangan dimulai”
Aku terdiam dan memikirkan apakah aku bisa memanjat tembok itu, aku menggigit bibirku menandakan aku takut dan ragu. Eh? Ricardo membungkukkan badan merapat dengan tembok yang harus dipanjat.
“Buru, lo naik aja ke punggung gue, kalau kaya gitu lo gak akan takut lagi. Lo akan baik-baik aja” ucapnya sambil mengajakku mendekat.
Akupun menuruti perkataannya, kuinjak seragam putih yang dia kenakan, aku merasa tidak enak, bajunya menjdai kotor karena sepatuku, tapi aku juga harus ikut ulangan. Aku menyakini diriku kalau aku bisa melakukan ini. Dan...
“Aaaaaaa...!” aku terjatuh dan menangis.
Ricardo dengan cepat memanjat tembok dan menghampiriku.
“Lo gak apa-apa? Mana sini liat luka lo?” dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah sapu tangan berwarna biru muda, dan botol minumnya. Dia membasahi sebagian sapu tangannya dan membersihkan luka di dengkulku.
“Aduuh..” ucapku menahan tangis.
“Jangan nangis, kalau jatuh, buru-buru bersihin lukanya. Bangun, terus lari lagi. Semuanya akan baik-baik aja. Nih liat lukanya tinggal kasih plester deh, tuhkan. Taraaaa...udah gak keliatan. Besok juga sembuh” ucapnya setelah membersihkan luka dan memberika plester pada lukaku. Aku tersenyum menatap matanya.
Dia membantuku berdiri dan aku membersihkan rok ku yang kotor.
“Nama lo Sinarkan? Sinar itu Cahaya. Cahaya yang paling abadi itu Matahari. Tau lagu ini gak?”
“Here comes the sun, dududu.. Here comes the sun, and I say it’s alright. Little darling the smiles returning to the faces. Little darling it’s seem like years since it’s been  here. Here comes the sun, dudududu.. Here comes the sun, dududu.. Here comes the sun, and I say it’s alright.”
-The Beatles Here Comes The Sun-

Dia menyanyikan lagu tersebut dengan baik, atau mungkin saat itu usiaku masih sebelas tahun jadi masih belum bisa membedakan mana lirik yang benar atau asal-asalan. Aku tersenyum mendengar dia menyanyi. Kami berjalan menuju kelas kami.

“Lagu itu sering diputar papa, gak tau sih arti sepenuhnya apaan. Tapi gue tau lah kalau Cuma arti Sun dan it’s alright. Sering dipake-pake di film-film. Sun artinya matahari dan it’s alright artinya gak apa-apa atau baik-baik aja. Nah paskan sama nama lo dan kejadian tadi. Luka lo bakal sembuh cepet kok” jelasnya, dan aku hanya tersenyum dan terus berjalan bersamanya. Kami berhasil memasuki kelas tanpa dicurigai guru, tas kami, kami titipkan ke penjaga sekolah, entah apa yang dia ucapkan ke penjaga sekolah hingga penjaga sekolah tersebut menurut saja tanpa membantah sedikitpun permintaan dia.
--
Hhhh..sudah 10 tahun kami berteman, biasanya dia yang jagain aku, sekarang dia yang tertidur dengan pucat dan aku yang gantian merawatnya. Aku pun tersenyum mengingat kejadian memanjat pager belakang sekolah saat itu yang menjadikan kami dekat seperti sekarang. Dia cinta pertamaku, cinta monyet tepatnya.
Berkat dia gue ngerasain gimana rasanya naksir cowok pertama kali, cinta pertama adalah pertama kalinya hati kitaterbuka untuk ditempati seseorang. Pertama kali merasakan hangat di hati. Aku mengelus rambutnya sambil tersenyum.

Jakarta, 12 Juni 2011
--
“Bu, aku mau ke rumah sakit” ucapku kepada Ibu. Tadi aku ada kuliah, jadi baru bisa ke RS sore. Sengaja pulang dulu untuk mandi, ganti baju, karena hari ini aku janji untuk gantian dengan Tena menjaganya, menginap di sana.
“Iya, salam buat Ricardo, nak. Semoga dia cepat sembuh. Kamu nginep atau gimana?” tanya ibu saat aku memakai sepatu di teras.
“Nginep, bu. Tadi sudah janji” jawabku singkat sambil mencium tangannya dan langsung meninggalkan rumah.
Aku membawakan Ricardo sapu tangan biru muda yang dulu dia pernah pakai untuk mengobati lukaku, dan ipodku yang salah satu lagunya adalah lagu The Beatles Here Comes The Sun. Ah, aku juga bawa ‘makanan sehat’ titipan Ibuku untuk dia.
--
Sesampainya di depan kamar Ricardo aku tersenyum dan berjanji pada diri sendiri, jika malam ini akan sedikit lebih manis terhadapnya, agar kami bisa mengenang masa kecil kami dan menghadirkan tawa di wajahnya. Kubuka pintu kamar Ricardo dan....aku terhenti oleh suara perempuan.
“Sayang, ayo makan. Enakkan makanan yang aku beliin? Kamu cepat sembuh ya, aku sedih kalau liat kamu sakit kayak gini” suara manja Alyssa terdengar dari balik pintu. Aku melihat bungusan yang Ibu tadi siapkan untuk makan malam Ricardo.
Aku kembali menutup dengan pelan pintu yang baru saja kubuka sedikit, lalu tersenyum dan menghelakan nafas. Hhhhhh...yaudahlah, dia udah sama orang yang dia sayang. Aku memutuskan untuk kembali lagi ke RS dua jam kemudian saja, dan sekarang aku mau jalan-jalan sendirian ke taman terdekat.
Saat melewati bagian penyakit dalam, aku melihat sosok yang familiar, wanita tinggi, berambut pendek, cantik yang waktu itu tangannya digenggam oleh Radit di restoran bebek bakar. Dulu Radit pernah cerita bahwa tunangannya adalah seorang perawat disebuah RS, ternyata di RS ini.
Tunangan Radit tadinya beragama sama denganku, namun saat memutuskan untuk bertunangan dengan Radit, dia memilih untuk ikut dengan agama Radit. Radit bilang tahun ini mereka akan menikah, dia tidak cerita pastinya kapan, tapi karena keluarga Radit melihat keseriusan tunangannya dengan mengikuti agama Radit, mereka mendesak Radit agar segera menikah setelah skripsinya selesai.
Dia tidak sengaja beradu mata dengan ku dari kejauhan, aku tersenyum dengan pilu, dia tidak menghiraukan, mungkin karena dia tidak mengenalku, tidak tau sedikitpun siapa aku.
Aku lanjut berjalan sendirian hingga sampai taman. Memeriksa hp, seperti biasa, ada ‘kabar’ dari tiga orang lelaki.
-SMS BAYANG-
“Lagi apa, Non?”
Aku tidak menjawab SMSnya.
-3 Miss Called dari radit-
Tidak juga menelpon balik Radit.
-BBM Elang-
“Bagaimana kondisi Ricardo?”
“Dia di rawat di ruang apa?”
“Sepupuku ada yang bekerja di sana, namanya Dini”
“Tadi kami BBM-an katanya dia mau kenalan sama kamu, aku suka cerita tentang kamu ke dia”
-
“Ricardo baik-baik aja, oh ya? Sepupu yang mana? Kok kamu gak pernah cerita..” jawabku
“Ingat tiga bulan lalu, yang aku cerita keluarga besarku lagi geram dengan kelakuan salah satuku yang berniat pindah agama, dan sekarang dia dikucilkan oleh keluarga besar, Cuma aku yang biasa dia jadikan tempat curhat” jawab Elang.
“Ah, iya, aku ingat, oooo..dia perawat toh. Wah boleh, nanti aku coba samperin dia” jawabku.
“Ricardo di rawat di mana? Nanti biar aku saja yang beri tahu dia untuk ke sana, sekalian jenguk dan kenalan dengan Ricardo”
“Di Ruang Awan no.2”
“Sepupuku itu pacarnya ternyata satu kampus sama kamu, tapi jauh diatas kamu, mungkin mahasiswa tingkat akhir, aku lupa namanya siapa, dia pernah cerita”
“Oh ya? Wow, dunia sempit yah. Iya, nanti kabarin aja kalau mau ketemuan sama dia”
“Iya, nanti aku kabarin ke dia. Kamu lagi apa?”
Dan Elanglah yang menemaniku melewati dua jamku membuang waktu di taman, sebelum kembali ke RS.
Aku berjalan kaki kembali ke RS, sesampainya di depan ruangan Ricardo aku mendekatkan telingaku ke pintu, tidak ada suara apapun. Aku membuka pintu dan.... damn! Masih ada Alyssa, dia sedang berciuman dengan Ricardo. Merka panik melihatku, Alyssa sibuk membereskan bajunya yang berantakan, dan Ricardo terlihat salah tingkah saat melihatku.
“Terusin aja, gue balik lagi nanti” ucapku sambil membalikkan badan.
“Nar, Sinar..” Ricardo memanggilku dengan suaranya yang seolah membutuhkanku, aku membalikkan badanku kembali.
“Kalau masuk ruangan itu dibiasakan ketuk pintu” Alyssa berceletuk sambil membereskan rambutnya dengan tatapan sinis ke arahku. Aku tidak memperdulikannya, dan mendekat ke arah Ricardo.
“Lo, hmmm gimana?” tanyaku sedikit canggung.
“Bagi tisu, Nar. Biasanya lo suka bawa tisu kemana-mana. Abis noh. Keringetan gue” jawab Ricardo.
Aku merogo isi tasku, ah..di mana tisu, ini pasti karena aku ganti tas yang lebih besar karena membawa baju, isi tas yang biasa aku pakai tidak semuanya kebawa. Eh, tanganku menggengam sapu tangan biru muda miliknya dulu, apa aku kasih ini saja? Tanyaku dalam hati selagi tanganku masih di dalam tas.
“Mana, Nar.. buru. Kaga bawa?” tanya Ricardo lagi.
“Ini, pake sapu tangan aja, gak bawa tisu” akhirnya dengan spontan aku meberikan sapu tangan biru muda itu ke dia.
Sepertinya Ricardo tidak menyadari sapu tangan itu miliknya, dia langsung mengelap keringatnya saat menerima sapu tangan tersebut. Aku tersenyum, ternyata sia-sia aku bawa benda yang selalu aku jaga sebagai tanda perkenalan kami dulu.
Alyssa menghampiri Ricardo saat selesai merapihkan dandanannya, membantu Ricardo mengelap keringat di wajahnya, sapu tangan itu sekarang dipegang perempuan bermata kucing ini. Alyssa duduk di sebelah Ricardo, di atas tempat tidur dengan gayanya yang sensual. Aku menjauh ke sudut ruangan, mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat hp.
Terdengar suara pintu terbuka lagi aku menengok siapa yang datang, dan hah? Rawut wajahku menunjukkan kaget. Tunangannya Radit, ngapain dia kemari?

Bersambung....

- (oleh @ekaotto)

0 comments em “Saputangan Biru Muda”

Post a Comment