"Itupun kalau masih ada yang tersisa... Oh... Perempuan muda yang malang... Apa dia berhasil selamat dari
siksaan rindu?"
Ku pandangi dinding kamar. Tapi sepertinya bukan lagi dinding, melainkan sekumpulan wajah Pelangi yang kubekukan. Menikmati wajah Pelangi sembari menghisap berbatang rokok ditemani secangkir kopi, bersandar pada ujung tempat tidur, merasakan dinginnya lantai. Cih! Bukankah cuaca di Jogja seharusnya panas? Kenapa lantai ini seolah ingin bersikap dingin dan acuh padaku?
Aku terkekeh sendiri, kemudian memandangi cover novel yang ditulis Pelangi, Rekam Imaji...
"Rindu itu layaknya candu...Bagaimana menurutmu Bumi?"
Tanya itu, seolah ikut menyentakku bersamaan dengan nyali yang ia pertanyakan,
"Aku lelah mencumbu imaji...aku lelah menanti waktu dan temu bersahabat...aku lelah dengan segala rayumu yang sebatas kata, aku lelah merindu hanya sebatas aksara...tidakkah sedikitnya kau rasa iba? Tidakkah nyalimu sedikit terusik?!"
Andai saja kau tanya rasa Pelangi...maka tak perlu kau ragukan mengenai rasa yang sudah ku tanam sejak kala itu, pertama kalinya mata kita saling beradu.
"Cantik?"
"Iya."
"Jadilah perempuan dengan 1000 topeng kalau ingin begitu."
"Hemm...apa harus menjadi cantik yang begitu itu?"
Seketika lampu-lampu membidik ke arahmu. Entah apa, seolah tangan dan jemariku tergerak tanpa komando. Seenaknya memencet tombol kamera yang mengarah tepat ke wajahmu. Aku tak berkedip. Tapi lalu...itu adalah kali pertama aku menatapmu lama. Mataku dan matamu beradu, tapi kita sama-sama bisu.
Saat itu, ya..ku rasa saat itulah aku mulai menanam rasa.
Tapi sayangnya aku lupa memupuk nyali...
"Dan aku...di mana aku bisa menemukanmu?"
"Kalau kamu benar mencariku, kamu pasti akan menemukanku...".
Melihatmu pergi, melihat punggungmu semakin menjauh, aku berpikir mungkin itulah akhirnya. Temu yang tidak disengaja setalah lama aku mencoba mencari tahu hanya melalui lajur waktu. Mengintip keberadaanmu yang semakin bisu. Bodohnya aku...
"Kadang aku berharap, Februari tak pernah ada dalam kamusku."
Februari itu.. Bulan yang masih ku ingat karna mempertemukan aku dan kamu. Kamu bisa dengan cepat menarik perhatianku. Membuatku tergoda untuk terus mengganggumu, setidaknya agar perhatianmu selalu tertuju kepadaku.
Mendengarmu berkata begitu rasanya...kamu tengah membuangku...
"Kamu nyata Bumi...tapi kebersamaan kita hanya imaji...".
Aku bukan pilihan... Nyatanya kini berujung pada sesal, aku ingin menjadi pilihanmu Pelangi... Bukan hanya sebatas imaji yang kau ciptakan dalam sudut ruang. Aku ingin menjadi nyata yang bukan hanya sebatas aksara.
Telepon genggamku berbunyi, tertera nama Langit di layar.
Sahabatku sejak SMA. Apa yang ku katakan pada Pelangi ketika kami bertemu, benar adanya. Langit dan Bumi...kami memiliki banyak persamaan. Bedanya, kalau aku cenderung 'brengsek', Langit adalah sosok yang agak kaku. Langit banyak mengalah untukku, ia membiarkanku menyukai para gadis yang juga ia sukai.
Ketika aku disibukkan dengan si ini dan si itu, Langit sibuk membangun karir impiannya sebagai fotografer fashion. Karirnya berjalan mulus, sedangkan aku harus berulang kali jatuh bangun mencari apa yang ku mau. Sampai akhirnya sekitar dua tahun lalu, tak lama setelah pertemuanku dengan Pelangi, ku tinggalkan karirku yang mulai mapan. Menjelajah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu negara ke negara lainnya.
"Pulanglah...kita bekerja bersama, sampai kapan lo mau jadi tukang foto keliling? Lo tetap butuh rumah." Langit sering kali membujukku untuk segera kembali.
Telepon genggamku berbunyi lagi, masih nama Langit.
"Hallo."
"Ke mana aja lo?! Gwe belum liat hasil kerja lo man! Kita diburu waktu, pernikahan gwe sama Pelangi udah beberapa bulan lagi!" Langit langsung nyerocos dengan nada panik dan kesal.
"Sorry...gwe ada masalah sedikit."
"Cih! Apalagi? Perempuan lagi?"
Aku tersenyum kesal. Memang masalah perempuan, tapi seandainya Langit tahu siapa perempuan itu. Kemudian aku rasa bersalah. Bagaimana kalau ku katakan semuanya pada Langit? Tidak semuanya juga, tidak mungkin aku mengatakan tentang aku dan Pelangi, apa saja yang kami lakukan. Maksudku tentang hubunganku dan Pelangi. Tentang perempuan yang dua tahun lalu pernah ku ceritakan padanya.
"Bumi! Lo tuh di mana?! Gwe samperin!"
"Ah...gwe masih di Jogja."
"Oke, besok gwe ke Jogja."
"Sama Pelangi?"
"Nop. Ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan, dan lagipula dia mau stay di Jakarta untuk mempersiapkan pernikahan. Perfectionist."
"Oh..oke."
Pernikahan...jadi dalam beberapa bulan lagi aku akan berada di dalam pernikahan sahabat dan perempuan yang aku cintai. Haha...menyedihkan!
Sekarang saja sudah cukup menyedihkan melihat keduanya bermesraan di depanku.
Ku lihat lagi layar telepon genggam. Tidak, tidak ada yang menghubungiku lagi. Aku menunggu nama Pelangi tertera di dalamnya, berhari-hari...
Liar adalah kamu yang ku cumbu dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
Tak perlu menakuti malam yang kemudian akan menjadi pagi, siang lalu sore, dan nantinya akan kembali malam. Kita sudah punya satu tempat untuk mengadu, memiliki rasa untuk diadu dengan rindu, memilin bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu berpeluh…
Sayang…liar adalah kamu yang membuatku rindu dijamah, dikecup, diusap, dijelajah…
Liar adalah kamu ketika menjelajah tubuhku tanpa merayu terlebih dahulu, ketika degup jantungku seperti mengaduh, ketika semalam tanpa memejam, Sayang,…liar adalah ketika pagi nanti masih ada kamu, kita dan selambu biru…
Andai saja malam itu aku terus terjaga hingga pagi, aku bisa terus mendekapmu, hingga kau tak harus pergi lagi. Kita bisa pergi ke mana saja Pelangi..berdua...
"itupun kalau masih ada yang tersisa...oh...perempuan muda yang malang...apa dia berhasil selamat dari
siksaan rindu?"
Kata-kata wanita tua di toko barang antik terngiang lagi di kepalaku. Apa masih tersisa Pelangi?
~ (oleh @NadiaAgustina)
Saturday, 17 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)