Ketika rindu mengharap temu, ketika ada temu, malah menjadikannya bom waktu. Lalu aku kembali tersiksa, berharap andai saja tak ada temu...
Ku pandangi cermin, memantulkan wajah serupa aku. Lalu melirik seorang wanita bergaun putih di sebelahku, sama sepertiku, berkaca pada cermin besar. Ia berputar-putar sembari senyum terus merekah di bibirnya, lalu berjalan-jalan...ujung gaunnya panjang mengikuti langkahnya seperti buntut.
Aku kembali bercermin. Harus ku lukis bahagia agar ada senyum di wajahku? Atau ku curi saja ronda kasmaran pada senyum bahagia perempuan tadi...
"Cantik...".
Wajah Langit kini ikut memantul di sebelah bayanganku dalam cermin. Memaksa bibir melukiskan senyum itu...serasa berat. Rasanya urat-urat menegang.
"Kenapa? Apa tidak menyukai gaunnya?"
"Kenapa? Apa tidak menyukai gaunnya?"
Aku menggeleng, "tidak papa, hanya..sedikit gugup."
Langit...berada di dekatmu, kini serasa sesak. Mencoba membaui aromanya dalam kepulan aromamu. Yang menyakitkan lagi, merindumu kini serasa dosa...Karna ketika keras aku mencoba menyebutnya kekasih, lidahku menjadi kelu, karena aku hanya tahu cara merindumu…Karna ketika ia membisikkan rasa di sudut telingaku, aku tengah membayang kecupmu. ketika jemarinya menjelajah lekuk kulitku, aku membayang
rasa sentuh ragamu…
rasa sentuh ragamu…
Bumi...Bumi...manakala dalam membayang, ku bayangkan tengah mencumbumu di padang ilalang…kala resah membuncah dalam degup. Mencumbumu kala itu, dimana raga menjadi liar dan peluh sembari mengaduh. Jantungmu, berada tepat di atas jantungku, sama berdegup...
Mencumbumu ibarat meresapi aroma tembakau di tubuhmu, lalu merabanya dengan menjajalnya melalui bibirmu...candu... menikmati resah melalui desah ketika jarimu menjelajah, di antara alang-alang, ketika sudut mata bertemu muka…
Bumi, mungkinkah kita tengah membaui rindu melalui sebilah temu…tanpa aksara, hanya rasa….di sela napas menderu di balik selambu…hanya ada kamu dan rasaku, di antara rindu yang serasa dosa, kita bertemu…
"Pelangi...".
"Ah!
Iya!" Aku tersentak. Mendapati wajah Langit yang nampak bersungut. Ia tahu pikiranku sedang melayang-layang, tapi untungnya ia tidak tahu melayang ke mana.
Baiklah!
Tidak seharusnya aku begini. Beberapa bulan lagi merupakan hari besar kami.
Sudah ditetapkan, dan seperti yang sudah ku bilang, kali ini tidak ada kata mundur. Langit pria yang baik, baik untukku, dan keluargaku yang sudah kadung jatuh cinta padanya.
Iya!" Aku tersentak. Mendapati wajah Langit yang nampak bersungut. Ia tahu pikiranku sedang melayang-layang, tapi untungnya ia tidak tahu melayang ke mana.
Baiklah!
Tidak seharusnya aku begini. Beberapa bulan lagi merupakan hari besar kami.
Sudah ditetapkan, dan seperti yang sudah ku bilang, kali ini tidak ada kata mundur. Langit pria yang baik, baik untukku, dan keluargaku yang sudah kadung jatuh cinta padanya.
Rekam Imaji...kubaca dalam hati judul yang tertera pada cover buku yang tergeletak di atas meja. Ini adalah buku pertamaku, tumpukan tulisan pertama yang berani ku tunjukkan pada banyak orang. Di dalamnya, setumpuk rindu dalam berbaris aksara berjejalan. Di dalam sinilah tumpukan rinduku pada Bumi tumpah-meruah. Di mana aku membuat ruang imaji berisikan tiap rekam memoriku bersamanya, nyata dan...selebihnya, sebuah kebersamaan fiktif yang kubuat demi memuaskan satu persen rinduku.
Kamu tahu Bumi? Memang tak sekalipun namamu tertulis di sana. Tapi tiap aksara ku lukiskan dengan tinta yang berakar pada namamu. Tiap huruf a, b, c, d, dan seterusnya tertoreh ketika dalam bayangku hanya ada kamu, ketika tiap petikan gitar yang melantunkan nada do, re, mi hanya menjamah sudut matamu. Berderet
sajak yang mnejejal ketika ku hanya bisa menemukan aromamu dalam tiap kepulan tembakau di sekitarku. Kamu...semua adalah kamu...Rekam Imaji itu, rindu...rindu yang berakar pada namamu...
sajak yang mnejejal ketika ku hanya bisa menemukan aromamu dalam tiap kepulan tembakau di sekitarku. Kamu...semua adalah kamu...Rekam Imaji itu, rindu...rindu yang berakar pada namamu...
Tuhan...ketika kau ciptakan temu di antara Bumi dan Langit, aku enggan mempertanyakan mengapa?
Bukan kepada-Mu segala tanya harus ku jabarkan. Tapi padamu Bumi... Kubuka lembar demi lembar isi Rekam Imaji. Aku menulisnya...tapi belum pernah sekalipun aku membaca tiap hurufnya, belum pernah sekalipun aku membaca rinduku yang tertuang di dalamnya.
Bukan kepada-Mu segala tanya harus ku jabarkan. Tapi padamu Bumi... Kubuka lembar demi lembar isi Rekam Imaji. Aku menulisnya...tapi belum pernah sekalipun aku membaca tiap hurufnya, belum pernah sekalipun aku membaca rinduku yang tertuang di dalamnya.
Kamu..adalah yang ku takutkan hadirnya berubah menjadi rindu...
Apa aku masih takut sedang kehadiran Bumi sudah benar-benar menjadi rindu?
Telepon genggamku kembali berbuyi. Entah sudah yang keberapa kali, dan selalu saja ku dapati nama Bumi di sana di antara nama Langit. Langit pasti mengira aku sudah terlelap, karena ketika panggilan keduanya tidak ku jawab, ia berhenti. Sedang Bumi...tak hentinya berdengung.
Ku baca satu persatu pesan dari Bumi.
"Pelangi, ku mohon...aku ingin bicara!"
"Sampai kapan kamu akan menghindariku?!"
"Aku tidak akan berbicara sepatah katapun mengenai kita pada Langit...demi Tuhan! Tapi tolong sekali saja temui aku...".
"Aku rindu..."
"Sampai kapan kamu akan menghindariku?!"
"Aku tidak akan berbicara sepatah katapun mengenai kita pada Langit...demi Tuhan! Tapi tolong sekali saja temui aku...".
"Aku rindu..."
Bumi...sekarang kamu mau mengadu rindumu denganku? Tentunya kamu sudah tahu siapa yang paling
unggul bukan?
unggul bukan?
Kamu bersalah Bumi...bersalah karna membuatku menikmati tiap sentuhmu. Bersalah karena kini rasaku padamu semakin tertanam membentuk akar-akar yang berusaha mendobrak sudut berisi rindu yang telah ku masukkan kembali dalam kotak pandora. Dan aku...aku adalah yang paling bersalah karna membiarkan tidak hanya raga, tapi juga hati dan rasa menikmati tiap sentuhmu, kecupmu...Bumi..Bumi...aku ingin disentuh sekali lagi! Bagaimana ini?!
**
Liar adalah kamu yang ku cumbu dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
**
Liar adalah kamu yang ku cumbu dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
Tak perlu menakuti malam yang kemudian akan menjadi pagi, siang lalu sore, dan nantinya akan kembali malam. Kita sudah punya satu tempat untuk mengadu, memiliki rasa untuk diadu dengan rindu, memilin
bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu berpeluh…
bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu berpeluh…
Sayang…liar adalah kamu yang membuatku rindu dijamah, dikecup, diusap, dijelajah…
Liar adalah kamu ketika menjelajah tubuhku tanpa merayu terlebih dahulu, ketika degup jantungku seperti mengaduh, ketika semalam tanpa memejam, Sayang,…liar adalah ketika pagi nanti masih ada kamu, kita dan selambu biru…
Sayangnya Pelangi...pagi itu, ketika mataku terbuka masih dalam lautan ilalang, tak ada kamu di sampingku. Yang aku tahu, rindumu seperti virus yang mulai menjelajah di tiap sudut dalam tubuhku. Menyentuhmu senja kemarin, menatapmu dalam malam yang berbaring membelakangimu, menyusuri lekuk tubuhmu yang tanpa perlawanan.
Menikmatinya seolah tak ada dosa...menikmatinya, sampai aku lupa, perempuan mana yang telah beraninya ku sentuh dengan luapan rasa ingin...
Pelangi..kamu seperti senyawa rasa yang hadirnya bagai kutukan waktu yang berbalik menyiksaku dengan rindu. Tapi biar bagaimanapun, rinduku ini tak akan menang bila diadu dengan rindumu yang dulu kubiarkan saja. Bodohnya aku membiarkanmu bermain dengan layang-layang yang kubuat sendiri. Bukan salah Langit ketika kemudian ia menjadi begitu teduh, dan akhirnya meminta angin menerbangkan layang sampai di depan rumahnya.
Sayangnya Pelangi...pagi itu, ketika mataku terbuka masih dalam lautan ilalang, tak ada kamu di sampingku. Yang aku tahu, rindumu seperti virus yang mulai menjelajah di tiap sudut dalam tubuhku. Menyentuhmu senja kemarin, menatapmu dalam malam yang berbaring membelakangimu, menyusuri lekuk tubuhmu yang tanpa perlawanan.
Menikmatinya seolah tak ada dosa...menikmatinya, sampai aku lupa, perempuan mana yang telah beraninya ku sentuh dengan luapan rasa ingin...
Pelangi..kamu seperti senyawa rasa yang hadirnya bagai kutukan waktu yang berbalik menyiksaku dengan rindu. Tapi biar bagaimanapun, rinduku ini tak akan menang bila diadu dengan rindumu yang dulu kubiarkan saja. Bodohnya aku membiarkanmu bermain dengan layang-layang yang kubuat sendiri. Bukan salah Langit ketika kemudian ia menjadi begitu teduh, dan akhirnya meminta angin menerbangkan layang sampai di depan rumahnya.
"Selamat petang...ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita tua menyambutku ramah. Ku pandang sekeliling isi tokonya, sebelum akhirnya menatap wanita itu yang masih dengan senyumnya. Wanita tua yang cantik, ketika tersenyum matanya ikut menyipit, seolah ikut tersenyum, dan keriput-keriput di wajahnya seperti ingin
melukiskan banyak hal yang telah dilaluinya.
"Saya..mau melihat-lihat dulu."
"Oh, silahkan...".
Semakin masuk ke dalam ruangan, rasanya seperti ada yang menuntun langkahku. Hingga akhirnya aku sampai pada satu sudut dimana terdapat banyak jam tua dipajang di atas rak-rak kayu yang sepertinya tak kalah tua, tapi tetap kokoh berdiri.
Mungkin karena toko itu sepi, ku lihat hanya ada aku sebagai pengunjungnya, suara detik jam jadi terdengar lebih keras mengikuti degup jantungku. Tanpa sadar langkahku terhenti di depan sebuah kotak persegi empat yang tergantung di dinding. Di dalamnya terdapat sebuah jam pasir, terlebih bukan pasir biasa, pasir berwarna-warni yang seperti memainkan halusinasiku, membuatnya terlihat seperti pelangi.
"Ah...jam itu...". Wanita tua tadi berjalan perlahan menghampiriku.
"Apa ada yang istimewa dari jam ini?"
"Ah...semua benda yang ada di sini spesial." Kini ia tepat berada di sampingku, ikut memandang jam pasir tersebut. "Kamu mengingatkan saya kepada seorang perempuan muda yang beberapa waktu lalu suka datang ke tempat ini."
Ku tatap wanita itu, menandakan aku tertarik dengan ucapannya. "Sepertimu...dia berjalan memutar lorong, mencari-cari sesuatu tapi sepertinya dia tidak tahu apa yang dicarinya. Apa kamu tahu apa yang kamu cari?"
Aku terdiam. Kembali menatap pasir yang kali ini aku yakin warnanya memang sewarna pelangi!
"Sebelum akhirnya dia berhenti di depan jam ini. Memandanginya hingga bermenit-menit."
"Mungkin karna warna pasir di dalamnya menarik...seperti warna pelangi."
Wanita itu tersenyum penuh arti. "Benarkah sewarna pelangi?" Dia sedikit berjinjit agar bisa lebih mendekatkan diri, memandangi jam dengan seksama. "Oh...apa mungkin mata tuaku salah lihat? Karna aku hanya bisa melihat warna pasir yang mulai memudar?"
Ku pandang lagi dengan seksama pasir di dalam tabung jam. Sungguh! Sewarna pelangi!
"Oh...mata tuaku...". Wanita itu kemudian berbalik, pelan langkahnya meninggalkanku.
"Emm...tunggu...".
Ia berbalik, "ya?"
"Apakah perempuan muda yang anda ceritakan kini sudah menemukan apa yang ia cari?"
"Entahlah...dia hanya mengatakan, ..emmm...bertanya lebih tepatnya, entahlah...seperti ini, sebenarnya apa warna bumi? Hijaukah seperti hamparan daun yang berjejal pada akar pohon di hutan? Birukah seperti laut atau langit pagi yang tanpa mendung? Hijau sedikit kuningkah seperti hamparan padang ilalang?"
Wanita itu menatapku. Sepertinya ia tahu aku tengah merekam tiap kata-katanya, menyimpannya di dalam kepala kemudian menyusunnya satu persatu hingga aku teringat akan sesuatu, seseorang tepatnya.
"Apa kamu tahu warna bumi?" Tanyanya sebelum ia kembali berjalan pelan. Tapi kemudian terhenti lagi, mengacungkan jarinya seolah ingat akan sesuatu.
"Berhati-hatilah terhadap rindu. Karna ketika kamu tidak lagi mendapati rindu dalam dirinya, diam-diam rindu tengah berbalik padamu...hingga tanpa kamu sadari, rindu telah membuat lubang...Seberapa sakit? Tanyakan padanya yang lama menikmati siksaan rindu."
"Berhati-hatilah terhadap rindu. Karna ketika kamu tidak lagi mendapati rindu dalam dirinya, diam-diam rindu tengah berbalik padamu...hingga tanpa kamu sadari, rindu telah membuat lubang...Seberapa sakit? Tanyakan padanya yang lama menikmati siksaan rindu."
Kemudian ia menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil berjalan, aku masih bisa mendengar ia berkata, "itupun kalau masih ada yang tersisa...oh...perempuan muda yang malang...apa dia berhasil selamat dari siksaan rindu?"
- (oleh @NadiaAgustina)