Warung Bebas

Friday, 16 September 2011

Mendesain Mimpi

Minggu lalu Aryo memintaku mencarikan seorang arsitek untuk mendesain calon rumahnya. Maklumlah, pengantin baru itu ingin membangun sebuah istana mungil untuk keluarga barunya. Haiyah! "Kamu punya kan temen arsitek? Sekalian sama desainer interiornya ya? Trus minta harga diskon dong! Kan tanahnya gede nih! Oke kan, Say?" tanya Aryo cengengesan.
"Say! Say! Sayur? Et dah! Udah minta tolong, ngelunjak pula!" aku menampik colekan Aryo yang membuatku risih. "Dan itu coba ya jangan kecentilan lagi! Kasian bini!"
"Hehehehe, makin galak aja deh kamu! Ya udah, pokoknya aku tunggu tiga hari ini deh infonya ya? Yuk ah, aku capcus dulu ke kantor. Udah kubayar ya semuanya. Dah!" Aryo meninggalkanku sendiri di cafe favoritnya ini.

Aku mendengus kesal. Ini artinya aku harus berhubungan lagi dengan Dimas, arsitek gokil yang perfeksionis dan rada oportunis. Terakhir kutahu dia sedang berada di Uden, Belanda. Menyepi, begitu katanya di Facebook. Tapi aku tetapi menyapanya di dinding yang isinya Perang Mafia semua itu.

"Dimas, kamu di mana? Aku ada klien untukmu. Jangan bilang masih di negara kompeni itu ya!"

Tak sampai lima menit sudah ada jawaban. Aha, dia sedang online! "Aku ada di Serawak. Lusa udah di Jakarta. Apa kabar?"
"Minta nomer hape dan pin BB deh sekalian. Inbox ya!"
"Oke!"

**
Aku menunggu Dimas di Senayan City. sudah pukul 16.15. Agak gugup. Norak ya? Ehm, sebenarnya Dimas adalah mantan pacarku waktu SMA. Putus. Terus nyambung lagi saat kuliah di UGM. Jdeeerrr... Eh, Aldo gak tahu lho ya? Jangan bilang-bilang! Sssttt...

Dari kejauhan, kulihat seorang pria berjalan mendekat ke arahku. Ya Tuhan, tolong dong! Kok ganteng sih? Duh! AKu panik. Aku salah tingkah. Aku mendadak sesak nafas. Sumpah, konyol dan norak! Itu Dimas! Memakai jaket kulit Calvin Klein dan jeans Levi's membuat semua orang melihat kepadanya. Rasanya ingin menjerit. Dan belum selesai keterkejutanku... "Tania!" Dimas sudah memelukku dan mencium keningku. Kebiasaan lamanya. Ah, Aldo tak ada di sini...
"Hai, Dim," balasku gugup.
"Lama nunggu ya? Sorry deh, tadi beli alat gambar dulu. Nah, gimana? Kliennya minta apa dariku?"
"Dim, kamu gak nafas dulu? Minum dulu kek?" protesku agak kesal.
"Ahahaha, maaf! Kebiasaan jelek nih! Oke, yuk? Kamu masih suka kopi, kan?" Dimas menggandengku dengan cuek. Seketika menjadi pusat perhatian. Doh!

Dimas selalu mengambil meja di pojok. Alasannya, "Biar bisa ngegambar dengan tenang, Non. Di sini angle-nya bagus untuk di-sket. Oke, jadi calon klienku itu punya tanah seluas 553 meter persegi? Mau bikin dua lantai dengan lima kamar? Wow, itu keluarga baru?" Dimas langsung mencorat coret kertas.

Tetiba, tanpa kusadari, kuraih tangan Dimas dan mengambil pensilnya. "Dimas, stop it for awhile."
Dimas tampak kaget dan kemudian tersenyum. "Ya, Tania?"
"I miss you, Dim. I mean it," suara pelanku nyaris tenggelam di tengah lagu I'm Yours dari Jason Mraz.
"I know it. Me too, Tania. Sudah berapa lama ya kita gak ketemu?" Dimas menggeser iPhone-nya dan menggenggam kedua tanganku.
"Hm, lima tahun?" aku balik bertanya.
"Lebih deh kayaknya," Dimas mencoba meralat.
"Dan selama itu, kamu di Uden?"
"Aku hanya tiga tahun di sana. Selebihnya ikut pameran arsitektur dan desain interior keliling dunia. Cari inspirasi."
"Kupikir kuliah lagi. Aku benar-benar kehilangan kabarmu. Kalau tidak kutahu dari Hendro di Facebook, tak akan kutemui kamu lagi di sini."
"Ah kamu ini terlalu lebay, Tania. Tidak bertemu di Facebook pun, aku pasti bisa mencarimu kok."
"Tapi tak kaulakukan itu?"

Dimas mengubah posisi duduknya. Ia menghela nafas dan menyisir rambut dengan jemari tangannya yang panjang dan kokoh. Mata cokelat mudanya membuatku meleleh. Hati kecilku menjerit. Haduh, Aldo! Cepatlah kamu pulang dari Seoul!

"Nah, Tania. Aku memang sengaja tak melakukannya. Karena aku ingin menguji hatiku, sebenarnya. Ya... Jujur saja... Aku... Masih mencintaimu," Dimas berkata dan membuat duniaku seolah berhenti seketika.
Aku menelan ludah. "Kupikir kamu sudah..."
"Menikah?" Dimas tertawa kecil. "Nyaris. Tahun lalu. Dengan gadis Belanda. Sayangnya ketika kuajak pulang ke Jakarta, dia menolak dengan tegas. Ia tak mau keluar dari Den Haag sama sekali. Ya gak mungkin dong? Kan aku kerjanya keliling dunia. Ehm, hobi, sebenarnya. Ah sudahlah. Desain mimpiku gagal total. Gak dapet cewek bule dan gak juga dapetin kamu. Iya kan? Kulihat di album Facebook kamu mesra sekali dengan Aldo. Ganteng," Dimas tersenyum tipis. Aku membuang pandanganku ke arah live music yang sedang tampil.

Aku semakin salah tingkah. "Ah, sudahlah. Kita lanjutkan saja urusan rumah Aryo. Dia minta ada ruang kerja di lantai dua dan ruang untuk home theater juga. Dia minta dalam sebulan ini jadi tuh gambar. Gimana?"

"Oke. Nanti kita lanjut lagi deh. Sekarang udah Maghrib. Mau makan malam di mana? Ke Kemang yuk?" Dimas membereskan semua peralatan gambarnya dan segera menghabiskan kopinya. Aku? Sibuk menata hatiku yang berantakan.

Aldo, kalau kamu gak segera pulang, bisa gawat nih!

--------

Special: Aria, my dearest architect.


~ (oleh @andiana)

0 comments em “Mendesain Mimpi”

Post a Comment