Warung Bebas

Friday, 16 September 2011

Deo Volente, #5

KESALAHAN terbesar Penginapan Kaganga, pikir Ralawa, adalah gayung jingga berbentuk hati di kamar mandinya. Setiap kali masuk kamar mandi, dia tidak bisa menghindar untuk tidak mengingat perempuan terakhir yang gagal dia nikahi—yang kemudian menghidupkan kembali semua mantan kekasihnya yang juga gagal dia nikahi. Di kamar mandi Hanawa, mantan kekasih terakhirnya itu, ada gayung yang sama dengan di kamar mandi Penginapan Kaganga.

Dengan gagangnya yang pendek, gayung jingga itu punya kemampuan magis untuk menimba peristiwa-peristiwa dari perigi masa silam. Di hadapan gayung itu, tidak ada sumur yang terlalu dalam untuk kenangan. Kenangan seperti permukaan air yang selalu menyentuh bibir sumur, selalu siap ditimba kemudian membasahi pikiran Ralawa. Kenangan selalu punya cara yang misterius untuk memperbaharui diri.

Ralawa berpikir, dia sudah mengamankan seluruh kenangan ke dalam kotak terkunci dan hilang entah di mana. Dia seringkali membayangkan hidup seperti kecelakaan pesawat. Kenangan-kenangan buruk adalah rekaman di kotak hitam yang jatuh ke dasar laut dan tak pernah ditemukan lagi. Rupanya tidak demikian adanya. Ke manapun Ralawa pergi dia selalu dihadang tembok yang bisa mempertebal dan memperkokoh diri. Kenangan adalah tembok yang tumbuh.

Nyancaya pernah menjelaskan kepada Ralawa bahwa Orang Bugis hidup berjalan menuju masa lalu dan memunggungi masa depan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari Orang Bugis, konsep ruang dan waktu terjelaskan lewat pengggunaan kata yang sama tetapi maknanya bertolak belakang.

Kata riolo, misalnya, berarti 'di depan' jika digunakan untuk menjelaskan ruang. Namun kata tersebut berarti 'dulu' atau 'masa lalu' jika digunakan dalam konsep waktu. Begitu pula dengan 'ribunri', ketika merujuk pada konsep waktu, kata itu berarti 'nanti' atau 'masa depan', tetapi ketika menjadi keterangan tempat, kata itu berarti 'di belakang'.

Nyancaya memperoleh penjelasan itu dari Kaganga. Begitulah Kaganga. Jika meminta sesuatu kepada anak-anaknya, dia tidak akan menyampaikan maksudnya secara langsung.

"Jangan terlalu banyak memberi kesempatan tubuhmu tumbuh menjadi sarang kenangan buruk. Orang Bugis itu berhadap-hadapan dengan masa lalunya sepanjang hidup."

Nyancaya tidak paham maksud ayahnya. Kadangkala Nyancaya menganggap ayahnya suka merumit-rumitkan sesuatu. Namun di kala lain, dia menganggap ayahnya guru yang sungguh cerdas, mampu melihat bahwa setiap orang punya akal yang bisa digunakan untuk berpikir. Tidak bijak langsung meminta seorang anak semata menghafal sesuatu.

"Sekolah adalah ladang tempat biji-biji kenangan buruk banyak ditebarkan," kata Kaganga kepada Nyancaya.

Nyancaya tahu  maksud ayahnya ketika mendengar dari balik biliknya Kaganga bicara kepada istrinya.

"Jangan sampai ada seorangpun dari keluarga kita yang makan atau memberi makan dari hasil menjual tanah. Tanah itu tidak untuk diperjualbelikan. Tidak seorangpun manusia di muka bumi ini yang pandai membuat tanah. Tanah itu berbeda dengan meja. Manusia bisa membuat meja, tetapi tanah tidak."

"Tetapi kita akan memberi makan apa tamu-tamu yang datang di pesta pernikahan Nyancaya nanti?"

"Kita harus menyediakan makanan banyak jika kita mengatakan pernikahan sebagai pesta. Pernikahan bukan pesta. Kita beri makan dengan apa yang kita punya. Jangan mengikuti kebiasaan buruk orang lain menjadikan pernikahan anak mereka sebagai pesta untuk mengumumkan berapa jumlah hutang mereka. Kita tidak boleh berhutang sepeserpun karena pernikahan Nyancaya. Menjual tanah berarti berhutang kepada anak-cucu kita dan orang lain. Juga Tuhan. Itu hutang besar yang tidak akan mampu kita bayar bahkan dengan nyawa dan tubuh kita."

Nanrajaca tidak sepenuhnya paham maksud suaminya. Dia tidak paham kenapa orang tidak boleh menjual tanah. Dia tunduk sambil memainkan jari-jarinya. Dari kamarnya, Nyancaya mendengar pembicaraan itu.

"Dadaku dan jari-jarimu itu juga terbuat dari tanah. Kita tidak akan menjual sepotong tubuh kita ini untuk memberi makan tamu-tamu. Sekarang yang lebih penting adalah kamu bujuk Nyancaya agar dia mau menikah dengan Mampatada. Kita harus memberi tahu anak-anak bahwa keluarga adalah sekolah. Menikah itu bukan sekadar mendaftar menjadi siswa sebuah sekolah. Lebih dari itu, menikah adalah membangun sekolah."

*

NYANCAYA menikah dengan Mampatada di usianya yang masih sangat belia. Enambelas tahun. Mampatada empat tahun lebih tua. Pada usia enambelas, seorang gadis sudah cukup matang untuk menikah, menurut Kaganga. Dia menikahi Nanracaja ketika perempuan itu  masih berusia empatbelas tahun. Dua tahun lebih muda dibanding usia Nyancaya ketika dilamar Mampatada. Ralawa tidak pernah membayangkan dirinya menikahi perempuan berusia belasan tahun, seperti nenek atau ibunya ketika menikah. Perempuan-perempuan zaman Ralawa, di usia seperti itu, apalagi mereka yang lahir dan tinggal di kota bahkan belum mampu mengurusi celana dalamnya sendiri.  

Kaganga tidak ingin menolak ketika seorang temannya datang melamar anaknya. Bagi Kaganga, pernikahan adalah anugerah. Seharusnya tidak dipersulit dan ditunda ketika sudah datang. Dia selalu mengenang masa-masa pelariannya. Penyebab utama Kaganga meninggalkan lingkungan istana adalah pernikahan.

Sebelum menikah dengan Nanracaja, Kaganga pernah menikah dengan dua perempuan. Istri pertama Kaganga adalah sepupunya sendiri. Pernikahan mereka harus mengikuti begitu banyak aturan kerajaan. Kaganga tidak suka. Tidak cukup setahun setelah menikah, mereka bercerai.

Pernikahan kedua Kaganga jauh lebih rumit. Istri keduanya juga seorang perempuan dari kalangan istana. Dia menikahi salah seorang putri dari kerajaan tetangga. Lima tahun setelah menikah, istrinya tidak juga hamil. Kaganga mendengar keluarga istrinya menggunjingkannya sebagai pria lemah. Dia amat benci hal tersebut. Dia bersepakat dengan istri keduanya bercerai demi menghindari konflik yang lebih parah antara dua keluarga besar mereka. Pernikahan selalu berarti pernikahan dua keluarga, begitu juga dengan perceraian berarti perceraian dua keluarga. Itulah yang terjadi dengan keluarga Kaganga dan keluarga mantan istrinya.

Kaganga dan Nanracaja saling jatuh cinta. Nanracaja adalah anak budak di keluarga Kaganga. Cinta mereka ditentang seluruh keluarga. Itulah yang menyebabkan Kaganga dan Nanracaja memutuskan pergi meninggalkan kerajaan, sebelum keluarganya bertindak nekat mengusir atau membunuh Nanracaja. Pelarian itu juga berarti bahwa Kaganga dengan sendirinya menanggalkan gelar kebangsawanannya. Oleh keluarganya, Kaganga bahkan sudah dianggap tidak lebih sebagai seorang budak juga.

Seorang dari kalangan istana yang menikahi budak dianggap telah mencemari darah keluarga. Hal itu sebuah aib besar bagi keluarga Kaganga. Pihak keluarga sepakat memutuskan menghapus nama Kaganga dari silsilah.

"Kamu tidak akan pernah menemukan nama Kaganga di silsilah manapun, kecuali di silsilah keluarga kita. Kakekmu itu seperti orang pertama di bumi. Dia memulai sebuah keluarga baru. Dia seperti tidak lahir dari rahim manapun di dunia," kata Nyancaya dalam suratnya kepada Ralawa suatu waktu.

Kaganga menerima hukuman Dipaoppangi Tanah. Dia dianggap hilang tertanam di balik tanah, sudah dikubur. Kaganga telah ditelan bumi. Ralawa pernah berniat mencari asal-usul kakeknya, namun dia tidak menemukan satupun petunjuk untuk itu. Dia barangkali bisa menemukannya jika serius mencarinya, tetapi dia berpikir untuk apa melakukannya. Dia bahkan tidak mampu menemukan di mana ayahnya berada setelah pergi meninggalkan rumah.

Setahun setelah tinggal di Ammessangeng, anak pertama Kaganga lahir, Ngkapaba. Meskipun tidak ada keluarga yang telah dia tinggalkan tahu, dia senang telah membuktikan, minimal kepada dirinya sendiri, bahwa dia bukanlah pria lemah yang tidak mampu membuat istrinya hamil seperti anggapan banyak orang.

Sejak pelariannya dari rumah, Kaganga bersumpah ingin menghapuskan kebangsawanan dari muka bumi—setidaknya membersihkannya dari anak-cucunya. Dia menganggap bahwa salah satu biang ketidakadilan di muka bumi ini adalah gelar-gelar kebangsawanan. 

Kebenciannya kepada kebangsawanan dan ketidaktegaannya menolaklah yang menyebabkan Kaganga langsung menerima lamaran untuk anaknya. Mampatada juga keturunan budak. Ayahnya berhasil membeli dirinya sendiri sehingga Mampatada tidak perlu ikut menjadi budak.

"Bangsa terbaik di dunia ini lahir dari rahim budak."

Begitu selalu kata Kaganga kepada kedua anaknya, Ngkapaba dan Nyancaya.

*
BUTUH waktu setahun setelah menikah, sebelum akhirnya Nyancaya bersedia tidur dengan Mampatada dan menikmati malam pertama mereka. Setiap kali menceritakan kisah pernikahan Nyancaya kepada Ralawa, Nanracaja selalu membandingkannya dengan kisah pernikahan Sawerigading dengan We Cudai dalam epos besar bangsa Bugis, I Lagaligo. Ralawa senang meminta Nanracaja mengulang kisah Sawerigading dan We Cudai agar dia bisa mendengar kembali kisah ibu-bapaknya. Tetapi selalu ada yang tidak diketahui Ralawa perihal ibunya. Selalu.

Nyancaya meninggalkan Kampiri dengan harapan Mampatada mau menceraikannya. Tengah malam, beberapa jam setelah dia menikah dengan Mampatada, dia berjalan kaki sejauh limabelas kilometer ke ibukota kecamatan. Di sana dia menunggu bus yang akan menuju ke Makassar.

Selama setahun, Nyancaya bekerja sebagai pembantu di Makassar, di sebuah keluarga Tionghoa. Dengan tekun dan tidak pernah mengeluh, dia mengerjakan dengan baik semua pekerjaan rumah yang diperintahkan majikannya. Dia bekerja di sebuah keluarga yang baru memiliki seorang bayi. Selain memasak, membersihkan rumah, dan mengurusi anak majikannya, Nyancaya juga sesekali harus menggantikan majikannya menjaga toko.

Majikannya baik hati. Sangat baik hati. Nyancaya sering mendengar cerita-cerita mengenai kekejaman Orang Tionghoa dari teman-temannya sesama pembantu. Tetapi keluarga yang dia tempati bekerja memiliki sifat yang bertolak belakang dengan semua cerita yang pernah dia dengar. Majikannya tidak banyak bicara.

Salah satu hal yang disukai Nyancaya di rumah majikannya adalah perpustakaan kecilnya. Majikannya seorang kutu buku. Dia utamanya senang sekali membaca buku-buku puisi. Separuh koleski perpustakaan keluarga majikannya adalah buku-buku puisi. Nyancaya diperbolehkan meminjam buku-buku dari perpustakaan itu untuk dia baca ketika tidak ada pekerjaan. Nyancaya senang sekali bisa mengisi waktu-waktu rehat kerjanya dengan membaca buku-buku puisi milik majikannya.

Nyancaya hanya tamat Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, sekolah lanjutan pertama. Dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat lebih tinggi karena pernikahan dengan Mampatada. Meskipun begitu, Nyancaya senang sekali membaca buku-buku puisi. Dia tidak paham apa maksud kebanyakan puisi yang dia baca. Dia menyukai ketidakpahamannya sendiri. Dia merasa dibebaskan untuk menciptakan makna sendiri. Dia seperti diberi kemerdekaan menemukan hal-hal yang dia inginkan dari baris-baris puisi.

Istri majikannya juga seorang yang baik hati, meskipun sering tiba-tiba rewel ketika datang bulan. Nyancaya memahami kondisi semacam itu sebab dia juga perempuan. Suasana hatinya kadangkala juga tiba-tiba menjadi tidak karuan ketika menerima tamu bulannya.

Pada bulan keempat dia bekerja di keluarga itu, istri majikannya meninggal. Selama dua minggu dia terkapar di rumah sakit. Dia tidak pernah tahu penyakit apa yang menyebabkan istri majikannya meninggal. Nyancaya hanya tahu bahwa sejak perempuan itu masuk rumah sakit dialah yang sepenuhnya harus merawat anak majikannya.

Pada suatu malam di akhir tahun, beberapa malam sebelum peryaan tahun baru, bulan keduabelas Nyancaya bekerja, majikannya tiba-tiba saja melamar. Dia menginginkan Nyancaya menjadi istrinya. Nyancaya kaget. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya hal semacam itu akan menimpa dirinya. Dia tidak pernah menceritakan kepada majikannya bahwa dia sudah menikah.

Nyancaya tidak pernah menduga majikannya akan jatuh cinta kepadanya. Sesungguhnya, diam-diam Nyancaya menyimpan perasaan yang sama. Dia seringkali membayangkan lelaki yang menikahinya adalah majikannya sehingga dia tidak perlu lari dari rumah. 

Nyancaya tidak ingin menyakiti hati majikannya yang baik hati, yang diam-diam dia puja. Dia juga tidak tega menambah sakit hati ayahnya. Dia menangis di depan majikannya malam itu. Majikannya mengulang permintaannya sekali lagi. Diam tidak mampu menjawab. Entah apa yang mendorong Nyancaya untuk mencondongkan badannya ke depan dan memeluk majikannya. Dia meletakkan dagunya yang basah di bahu kiri majikannya.

"Besok saya mau pulang ke kampung," kata Nyancaya sambil tetap melingkarkan dua lengannya di tubuh majikannya.

"Untuk apa? Meminta izin ayahmu? Bagaimana kalau saya sekalian ikut dan mengatakan niatku kepada ayahmu?" tanya majikannya sambil melonggarkan rengkuhan Nyancaya agar dia bisa memegang kedua pipinya.

Lelaki itu mencium kening Nyancaya beberapa lama. Nyancaya tidak punya kekuatan menolaknya. Dia membiarkan majikannya mencium kening kemudian bibirnya.

"Tidak. Biarlah saya sendiri," kata Nyancaya sambil menghapus airmatanya.

Malam itu Nyancaya tidur di ranjang majikannya. Mereka berpelukan sampai pagi. Dia tidak bisa memejamkan mata karena terus memikirkan Mampatada di sela dengkuran halus majikannya dan anaknya.

"Bisakah kamu menunda kepulanganmu?" tanya majikannya ketika bangun.

Nyancaya diam saja dan bergegas ke kamarnya mengepak barang-barangnya. Nyancaya ke terminal diantar majikannya. Di mobil menuju terminal, Nyancaya tidak pernah bicara sekatapun.

"Maaf…"

Hanya kata itu yang diucapkan Nyancaya ketika tiba di terminal. Nyancaya mencium tangan majikannya sesaat sebelum berpisah. Itulah hari terakhir dia bertemu dengan majikannya. Bersama semua gajinya selama bekerja dan oleh-oleh dari majikannya, Nyancaya pulang kampung.

Ketika tiba di Kampiri, dia mendapati Mampatada, suaminya, sedang berbincang dengan Kaganga di beranda. Kedua lelaki itu tidak pernah bertanya kenapa Nyancaya akhirnya mau pulang. Tidak seorangpun tahu, kecuali dirinya, kenapa dia akhirnya memutuskan pulang dan menerima dirinya sebagai istri Mampatada, lelaki yang sabar menunggunya di rumah. Tidak ada yang tahu perasaan seperti apa yang dia bawa pulang dari Makassar.

(bersambung)


~ (oleh @hurufkecil)

0 comments em “Deo Volente, #5”

Post a Comment