Warung Bebas

Thursday, 15 September 2011

Deo Volente, #4

ANTHONIA Arisa Muller van de Loosdrecht. Itu nama lengkap nenek Alida, anak bungsu Anton dan Ida van de Loosdrecht. Dia lahir enam bulan setelah ayahnya meninggal. Untuk mengenang ayahnya, dia diberi nama seperti nama ayahnya. Tetapi dia perempuan, maka dia bernama Anthonia. Alida, nama ini sesungguhnya juga diambil dari nama istri Anton, lebih suka memanggil neneknya dengan Arisa. Dari Arisa, Alida banyak mendengar cerita perihal Anton dan Ida selama tinggal di Toraja.

Sebulan menjelang Arisa meninggal, Alida berjanji ingin menulis sebuah novel tentang kisah cinta Anton dan Ida. “Hidup itu sangat singkat jika kamu bandingkan dengan kematian, apalagi jika kamu bandingkan dengan cinta,” kata Arisa selalu kepadanya. Kalimat itulah yang membuat Arisa membongkar lemari tempat penyimpanan surat-surat tua di rumah neneknya, juga arsip-arsip perpustakaan di Leiden. Kalimat itu pula yang membuat Alida berangkat ke Toraja beberapa kali. Dia ingin menulis novel tentang Anton dan Ida, sepasang suami-istri yang selalu dia dengar jadi perbincangan di rumahnya sejak dia masih bayi.

Kisah Anton dan Ida berawal pada suatu siang pertengahan tahun 1913. Hari itu Ida diajak seorang temannya menghadiri kuliah yang akan dibawakan seorang lulusan baru Sekolah Misi di Rotterdam. Ida dan temannya duduk di bangku barisan pertama. Dia terpikat kepada pemuda yang jadi pembicara di kuliah itu. Pandai sekali berpidato. Pemuda itu menceritakan kepada semua orang yang berada di ruangan itu tentang sebuah Misi baru di Toraja, sebuah daerah di Sulawesi.

Ida jatuh cinta. Dia, entah kenapa, begitu yakin telah bertemu jodohnya hari itu.

Melalui bantuan temannya, Ida berkenalan dengan Anton. Setelah melewati masa pacaran yang singkat, mereka menikah 7 Agustus 1913. Ida berusia 22 tahun ketika itu. Mereka berangkat ke Hindia Belanda 5 September. Waktu yang tidak cukup sebulan itu digunakan Ida untuk kursus di sebuah rumah sakit besar di Rotterdam, yang khusus membina misionaris perempuan.

Dengan modal pengetahuan tentang persalinan dan sedikit tentang penyakit-penyakit daerah tropis, Ida mengikuti suaminya menjadi misionaris pertama ke Toraja.

*

MASA ketika Anton dan Alida berada di Toraja adalah masa ketika pergolakan antara kompeni Belanda dan kerajaan di Hindia Belanda, termasuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Meskipun singkat, hanya beberapa tahun sebab Anton meninggal tahun 1917, kisah-kisah mereka di ladang misi, bagi Alida, bisa menjadi cerita yang luar biasa.

Selain melalui surat-surat yang rutin dikirim Anton kepada Gereformeerde Zendingsbond, yang dimuat di Alle den Volcke, Arisa mencari tahu lebih detil kisah mereka dari Arisa—juga melalui arsip-arsip tua di perpustakaan KITLV. Perpustakaan ini menyimpan begitu banyak hal tentang Indonesia. Di sanalah, di perpustakaan itu, suatu hari di bulan September 2007 Alida bertemu pertama kali dengan seorang lelaki yang kemudian menjadi suaminya.

Alida tidak pernah menyangka sebelumnya, dan perangai cinta memang susah ditebak, dia dan lelaki itu kemudian menemukan banyak kejutan sejak hari itu. Dua orang  dari dua tempat yang terpisah begitu jauh bisa dipertemukan melalui sebuah kisah di majalah tua Alle den Volcke.

Di Toraja, di gereja pertama yang dibangun sejak kedatangan Anton dan Ida di sana, mereka menikah—setelah sebelumnya mereka menikah juga di masjid pertama yang dibangun oleh kakek suaminya.
- Hide quoted text -

*

SEHARI setelah bertemu dengan Ralawa, Alida datang lebih awal di perpustakaan KITLV. Dia membaca Alle den Volcke, Volume 8, 1914, yang sehari sebelumnya dibaca Ralawa. Di edisi itu, Anton menulis banyak hal tentang kondisi masyarakat Toraja ketika dia dan istrinya berada di sana.

Ijinkan saya memberitahukan kepada paa pembaca tentang sejarah terakhir orang-orang Toraja di ladang misi kami. Peristiwa-peristiwa ini, yang terjadi pada tahun-tahun lalu di Sulawesi bagian tengah, sangat penting perannya untuk memahami tahap perkembangan ladang kerja kami dengan baik.

Ada banyak kerajaan dan suku kecil, beberapa di antaranya dipimpin oleh seorang raja, sedangkan yang lainnya tidak. Para penguasa ini sebagian besar adalah tuan tanah atau pangeran-pangeran lainnya. Singkatnya, para penguasa ini terdiri dari campuran berbagai kerajaan dan suku. Pemerintah kita telah mengadakan kesepakatan dengan para kepala suku ini, di sini disebut parengé, terutama yang berkaitan dengan perdagangan. Misalnya, dengan Raja Bone, Luwu, dan Sidenreng. Selama bertahun-tahun kesepakatan-kesepakatan ini dilaksanakan biasa-biasa saja. Kenyataannya kami tidak memiliki kekuasaan apapun di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan tengah yang luasa dan penduduknya melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Kondisi seperti ini banyak menimbulkan kerugian dalam perdagangan. Karena itu pemerintah berusaha secara damai membujuk para raja untuk menaati kesepakatan-kesepakatan mereka. Namun keadaan tidak berubah dan keadaan tidak aman terus meningkat. Pajak yang semakin tinggi membuat para parengé semakin banyak menghambat perdagangan. Sementara itu pendapatan dari pajak tidak digunakan untuk kepentingan daerah, tetapi untuk kepentingan sendiri. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Lagi pula arah kebijakan –kebijakan pemerintah di Batavia juga telah berubah. Sistem lama yang berdasarkan prisnsip tanpa campur tangan telah diganti menjadi daerag kekuasaan pemerintah Kepulauan Hindia Belanda.

Di Sulawesi belum ada juga motivasi-motivasi lain yang memacu pemerintah untuk bertindak. Berdasarkan undang-undang, perbudakan telah dihapuskan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda dan rsolusi ini telah diterapkan dalam kesepakatan-kesepkatan dengan para parengé. Namun perbudakan masih terjadi di berbagai tempat, sementara pemerintah tutup mata.

Praktik perdagangan budak ini begitu ditoleransi tenpa ada yang mencela karena pejabat pemerintah kita mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat menenangkan. Mereka mengatakan bahwa kondisi perbudakan di Sulawesi Selatan dan di wilayah lainnya tidak begitu buruk, karena pada budak itu dianggap sebagai anggota keluarga dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu saja.

Alida terus membaca surat Anton yang banyak berkisah tentang perbudakan di Toraja yang pelaku utamanya adalah orang Bugis. Di surat itu juga, Anton banyak bercerita tentang kepercayaan animisme masyarakat Toraja. Di tenggelam, sambil sesekali menggelengkan kepala, membaca surat tersebut. Dia tidak sadar Ralawa sudah berdiri di dekatnya beberapa menit.

“Maaf, apakah anda masih akan lama membaca majalah itu?”

Alida tiba-tiba kaget dan menoleh ke sumber suara itu. Ralawa mengulangi pertanyaannya.

“Akan selesai beberapa kurang dari sepuluh menit lagi. Anda keberatan menunggu?”

“Tidak. Silakan lanjut membacanya. Saya duduk menunggu di sini.”

Ralawa menarik kursi di sebelah kanan Alida. Mereka bertukar posisi. Sehari sebelumnya Alida duduk di kursi itu.

“Oh, iya, nama saya Ralawa,” kata lelaki mengulurkan tangan sesaat setelah duduk.

Alida balas menyebutkan namanya sambil tersenyum. Setelah itu Alida kembali sibuk membaca surat Anton dan Ralawa melemparkan pandangannya ke luar jendela—sambil sesekali melirik Alida.


Sekarang apa yang terjadi ketika pemerintah colonial kita memasuki masyarakat yang menganut paham animisme ini? Pada dasarnya animisme diserang, persis di bagian-bagian terdalam dan terpenting dari keberadaan paham keyakinan ini. Pemerintah kolonial bertindak keras dan dalam banyak kasus tidak mau berurusan dengan harapan-harapan para leluhur mereka.

Meskipun penduduknya masih merupakan penganut animisme, tugas pemerintah seharusnya adalah memberikan pendidikan melalui kerja sama dengan misi Pekabaran Injil ini, tanpa harus mengikuti dan menyerah pada prinsip-prinsip yang dipegang oleh masing-masing pihak. Karena itu, pemerintah yang bijaksana tidak akan keberatan dengan pekerjaan Pekabaran Injil di antara penganut animisme, dan sebaliknya justru senang atas kehadirannya. Para misionaris seperti saya hanya akan menggunakan senjata rohani, cara kekerasan tidak akan dilakukannya.

Jadi, teman-teman, saya telah menjelaskan tentang keadaan orang-orang Toraja yang animis di Sulawesi. Kami hanya bisa membahas sebagian kecil saja dari masalah yang ada dan tidak mungkin menguraikannya secara lengkap.

Selama saya tinggal di Rantepao, sebuah tempat di Toraja, saya telah memperhatikan beberapa perbedaan kecil antara orang-orang Toraja di sini dan mereka yang berada di Poso dan beberapa tempat lain di Hindia Belanda. Namun pada dasarnya, mereka sama saja dan pebedaannya hanya kecil saja. Setelah tinggal lebih lama di antara masyarakat Toraja, saya mungkin mampu menjelaskan perbedaannya. D.V.

Ketika membaca D.V., Alida membisikkan kata ‘Deo Volente’ sambil melirik Ralawa yang sedang menikmati burung-burung dara di luar jendela.

Jika tulisan-tulisan saya ini membangkitkan perhatian klian terhadap orang-orang Toraja dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang masyarakat yang menarik ini, tujuan saya menulis surat ini telah saya capai.

Salam hangat dan doa saya,

A.A. van de Loodsdrecht

(bersambung)


- (oleh @hurufkecil - http://hurufkecil.wordpress.com)

0 comments em “Deo Volente, #4”

Post a Comment