Bagian Keempat: Sebuah Paket Cinta
“Dingin?”
Pertanyaan Otto memecahkan lamunan singkatku. Ya mobil mewah itu sangat dingin, atau hanya aku saja yang terlalu udik untuk menikmati kenikmatan duduk di mobil yang sepertinya masih baru itu.
Otto memutar sebuah tombol di dashbord mobilnya, tapi udara yang keluar dari lubang ac mobil itu malah semakin dingin. Tanpa sadar, tubuhku bergidik mengigil karena hembusan angin itu. Otto telihat kebingungan dan menekan tombol lainnya dan udara dalam mobil itu kembali normal. Otto tersenyum bingung dan berkali-kali mengucapkan maaf. Seperti ada aliran listrik, tiba-tiba badanku menghangat menatap senyumannya.
“Maaf ya. Aku belum terbiasa menggunakan mobil ini.” Ucapnya malu.
Aku mengangguk-angguk, berusaha memalingkan wajahku yang mungkin telah bersemu merah ditatap oleh Otto ke jendela. Aku tidak tahu itu sedang berada di mana. Jalanan yang dilalui tampak asing bagiku. Aku mulai berpikir ulang, tindakan ini salah. Aku seharusnya tidak menurut ketika diajak Otto masuk mobil ini. Aku tidak mengenal pria ini, di perempatan berikutnya aku harus turun.
Belum sempat kuutarakan keinginanku, Otto membelokkan mobil dan masuk ke halaman sebuah rumah mewah. Rumahnya kan? Otto memarkirkan mobil itu tepat di depan beberapa mobil mewah yang terpajang di garasi rumah itu.
“Ini rumahmu?” tanyaku serak, antara sesek nafas dan kaget.
Otto menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah pemilik mobil ini. Yuks kita turun.”
Lagi-lagi aku terbius dan turun dari mobil mengikuti langkah Otto. Pria kurus itu menjajari langkahku dan menuntunku menuju sebuah rumah kecil di belakang garasi rumah itu.
“Itu rumahmu?” tanyaku lagi.
Otto tersenyum dan menggeleng pelan. “Bukan. Ini adalah rumah yang harus kukirimkan paket. Paket cinta.”
“Paket Cinta?”
Otto mengangguk. “Paket itu adalah dirimu.”
***
Salah satu dongeng yang pernah diceritakan oleh mendiang ibuku adalah tentang seorang bidadari yang tinggal di hutan. Bukan tentang bidadarinya Jaka Tarub yang akhirnya meninggalkan anak-anaknya dan kembali ke khayangan, tapi tentang bidadari yang dikhianati oleh pacarnya, sang Angin.
Bidadari malang itu terbujuk rayu sang Angin akan indahnya bumi sehingga ia nekad melanggar aturan langit dan turun ke Bumi. Bidadari itu menghiraukan semua nasihat keluarga dan teman-temannya agar tidak turun ke bumi. Pengorbanan bidadari itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Ketika ia sudah menginjakkan kakinya di bumi, ia baru menyadari bahwa Angin membohonginya. Malu akan kesalahannya itu, sang bidadari itu akhirnya memutuskan tetap tinggal di bumi. Setiap malam bidadari itu akan menangis di tengah hutan, menangisi keputusan meninggalkan langit.
Entah apa hubungan antara bidadari dalam cerita ibuku dengan kehidupan masa lalu ibuku. Tapi yang terjadi dihadapanku sungguh membuatku shock. Ketika Otto membuka pintu rumah dibelakang garasi itu, ada seorang pria setengah baya yang sedang menunggu kami.
“April, ini Pak Andris.” Ucap Otto memperkenalkan pria itu.
Pria setengah baya itu langsung menghampiriku dan bergerak ingin memelukku. Aku langsung refleks mundur menjauh, kaget.
“Maaf.” Ucapnya pria itu sedih. “Saya begitu bahagia dapat menemukanmu, hingga ingin sekali memelukmu.”
Aku menatap Otto dan pria itu bergantian meminta penjelasan. Otto tersenyum simpul memandangku.
“April, Pak Andris ini adalah ayah kandungmu.”
“A-a-ayah kandung?”
***
- (oleh @tantehijau - http://zadika.wordpress.com)
Thursday, 15 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)