Sebulan setelahnya...
Aku dan Jazzy telah semakin dekat. Kurasa mau tidak mau, siapa pun yang terlalu sering bersama akan akrab dengan seiring waktu berjalan. Walau dalam kasusku saat ini memang agak dipaksakan.
Sekarang, sesekali dia memanggil namaku secara utuh, Sera. Dan kalian tidak perlu bertanya lagi padaku seperti apa rasanya. Tentu saja ba-ha-gi-A.
Tapi hari ini aku merasakan ada yang aneh dengan Jazzy. Sikapnya tidak seperti biasa. Dia bahkan tak pernah menatap langsung ke mataku ketika mengucapkan sesuatu. Aku sempat menanyakan kenapa tapi dia haya bilang, 'kurang enak badan, enggak usah lebay'. Dan aku pun mulai berhenti mengusiknya. Aku bahkan mencoba menjaga jarak dengan menambah 10 cm jarak kami berdiri. Oke, memang tidak banyak berpengaruh, tapi mengertilah, itu sudah usaha paling maksimal yang bisa aku usahakan. Mana bisa aku jauh-jauh darinya.
Hari ini adalah jadualnya latihan futsal, tapi betapa tidak beruntungnya aku tidak bisa menemaninya seperti biasa. Aku harus langsung pulang ke rumah hari ini.
"Maaf ya." aku membuka percakapan di dalam mobil.
"Kenapa?" Tanyanya, dan see.. dia bahkan tidak melihat ke arahku.
"Aku nggak bisa nemenin kamu latihan futsal hari ini. Aku pacar yang nggak baik ya." Jelasku.
"Oh.. nggak lah, justru kamu baik banget hari ini. Lebih sering lebih baik." Pernyataan yang menjatuhkan. Dan aku sudah terbiasa menelannya.
"Oke, bisa dipertimbangkan saran tidak masuk akal kamu barusan. Tapi kamu tenang aja, sebagai gantinya minggu besok aku mau main berkunjung ke rumah kamu." Aku mencoba bicara santai sembari membuka kaca, karena ada nyamuk yang sejak tadi berkeliaran di dalam mobil.
"What?! Jangan macam-macam ah." Jazzy panik. Dan aku menikmati reaksinya.
"Kamu kan tau, aku susah banget bohong. Kalau aku nunggu kamu yang ngajak mah, kita keburu nikah nanti. Jadi kuputuskan untuk mengambil inisiatif."
"Tapi kan.."
"Stop stop! Hari ini aku turun di sini saja. Aku masih ada urusan lain." Sengaja kupatahkan kalimatnya. Aku sedang malas berdebat. Jazzy pun menginjak pedal remnya. Bersegara aku membuka pintu mobil dan turun.
"Happy Friday!" Teriakku ketika mobil Jazzy pergi melaju.
***
Hari minggu yang kujanjikan...
"Ting tong!" Kupencet tombol pagar rumah Jazzy tapi tak ada reaksi. Aku mencoba melihat ke dalam melalui sela pagar rumahnya yang tinggi. Sepi, itu yang kurasakan. Sepertinya tidak ada seorang pun yang berjaga di rumahnya. Bahkan tak seorang satpam pun. Aneh sekali. Aku hanya melihat beberapa ekor anak anjing yang tak mau diam di kandangnya.
"Ting tong!" Aku mencobanya kembali. Tapi lagi-lagi tak ada jawaban, kemudian
"Kemana perginya semua orang. Rumah sebesar ini masa nggak ada yang jaga." Keluhku pada udara. Perasaanku sudah tidak nyaman sedari tadi. Karena kulihat langit terlihat begitu murung. Mendung mulai melebar ke banyak sisinya. Kucoba menelepon ponsel Jazzy tapi tidak aktif.
Dan tepat seperti firasatku, tidak sampai 15 menit setelahnya hujan pun turun. Bodohnya, aku pun tidak membawa payung biruku tadi dan aku pun ke sini naik taxi. Tak ada tempat berteduh, bahkan pintu gerbang kompleks ini jauhnya bukan main. Alhasil tidak sampai 5 menit setelahnya aku berhasil basah kuyup dengan sempurna. Aku memegang erat bungkusan yang kubawa untuknya, mencoba melindunginya agar tak basah tapi gagal.
Setengah jam setelahnya...
Sebuah mobil yang kukenal datang mendekat. Hari hampir gelap, kalian pun bisa membayangkan rupaku sekarang. Keadaanku sudah pantas disebut menyedihkan. Itu memang mobil Jazzy yang berhenti tepat di hadapanku dengan lampunya yang tersorot tajam. Jazzy turun dan aku pun bangkit dari posisi jongkokku. Dia datang dengan sebuah payung tanpa warna.
"Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?" Tanyanya tanpa dosa.
"Pak!" Aku mendaratkan tamparanku di pipinya.
"Apa pun alasannya kamu ngga boleh memperlakukan perempuan kayak gini. Apa lagi perempuan bodoh sepertiku." Aku menangis. Aku marah. Aku benci padanya saat itu. Jazzy hanya diam. Laki-laki baik sepertinya pasti akan merenungkan dengan baik kejadian itu.
"Sera.."
"Aku tau kamu sengaja. Minta maaf sekarang!" Bentakku.
"Maaf." Ucapnya lemah. Dia pasti kaget dengan sikapku karena aku memang hampir tidak pernah marah padanya, jangankan marah, berkata dengan nada tinggi pun tidak pernah, seberapa pun terlalu sikapnya. Apa lagi menangis seperti ini. Karena dia penting untukku maka ini jadi rumit. Perasaanku jadi kacau. Aku benci ditelantarkan. Perasaan seperti ini membunuhku.
"Aku tau kamu sengaja pergi menghindari aku. Aku juga gak ngerti kenapa di rumah kamu sampai bisa nggak ada siapa-siapa. Tapi apa kamu tau sebesar apa pengorbanan aku untuk sampai di sini. Jadi jangan seenaknya." Aku menatap kantong yang telah basah kugenggam erat sedari tadi.
"Selamat ulang tahun. Kalo nggak karena hari ini kamu ulang tahun, aku nggak akan pernah maafin kamu." Kuserahkan bungkusan itu padanya. Entah seperti apa sekarang bentuk kado yang sengaja kubawa untuknya. Gadis jujur yang malang, yang sekuat tenaga mencoba membahagiakan cintanya. Aku benci hari ini.
"Terserah mau kamu apain. Aku pulang dulu. Gak usah maksa mau nganter pulang, aku lagi nggak mau semobil sama kamu." Jazzy hanya berdiri mematung dan aku tau dia tidak sedang ingin mencari masalah denganku detik ini.
***
~ oleh @falafu)