Warung Bebas

Thursday, 15 September 2011

Secret Past: Caught In the Middle #4

IV
CAUGHT IN THE MIDDLE

            Waktu adalah sesuatu yang sangat fleksibel. Bagaimana kita memandangnya, apakah terlalu lama atau terlalu pendek, sangat tergantung dari apa yang kita harapkan. Ironisnya, harapan dan waktu yang sebenarnya selalu berbanding terbalik. Semakin kita mengharapkan sesuatu, justru semakin lama waktu itu berjalan. Begitu pula sebaliknya. Seolah waktu itu hadir untuk sengaja mengejek kita.
            Itulah yang dirasakan oleh Adiana saat ini. Rapat Senat Mahasiswa FKUI kali ini memang sedikit kerterlaluan. Sudah cukup buruk mereka mengadakannya saat weekend, masih ditambah dengan keterlambatan awal mulai rapat hingga nyaris dua jam.
            Sudah tidak terhitung berapa kali Adiana melirik ke jam dinding putih yang tergantung di atas Ketua Senat. Kegelisahan mulai merayap di hatinya. Dia tidak dapat memperkirakan kapan rapat ini akan selesai dan dia sudah membuat orang itu terlalu lama menunggunya.
            Tetapi dia akhirnya dapat menarik napas lega saat Ketua Senat akhirnya mengetokkan palunya tanda bahwa rapat telah berakhir. Adiana terburu-buru, tetapi dia tetap berusaha tampak tenang saat berjalan sambil mengobrol dengan teman-temannya menuruni tangga gedung Senat itu.
            "Eh, Di... Ikut yuk. Gue, Yenny, dan Ima mau pergi nonton di XXI Kelapa Gading. Yah, sekalian belanja." ujar Tari sambil tersenyum senang.
"Sekarang? Emm... Sorry, gue tidak bisa kalau sekarang. Gue sudah ada janji."
"Ohhh, janji sama siapa Di? Ciee... Ciee... Sama siapa, nih?" goda Ima.
"Masih ditanya lagi. Pasti mau jalan sama Adit. Sama siapa lagi, ya kan Di?"
Adiana hanya membalasnya dengan senyuman.
"Jadi... Kalian sudah makin serius? Kapan diresmikannya? Jangan lupa traktirannya buat kita-kita, lho." timpal Yenny semangat.
"Yah, entahlah... Gue juga tidak tahu..." Adiana terdiam sejenak. "Tapi sebenarnya hari ini..."
"Adia." suara seorang laki-laki bernada dingin terdengar tidak jauh dari mereka.
Serentak mereka semua menoleh dan melihat Ariyo berjalan ke arah mereka.
"Mau apa cowok jahat itu kesini?" tanya Tari berbisik, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya.
Laki-laki itu sekarang sudah berdiri di hadapan mereka semua. Dan dia seperti mengacuhkan semua orang di situ selain Adiana.
"Adia, sudah siap?" tanya Ariyo singkat.
"Ah, sudah." Adiana memandang ke arah teman-temannya dengan tatapan bersalah. "Maaf ya, gue pergi duluan. Kalian semua have fun di Kelapa Gading."
"Oh iya... Loe juga... Have fun." jawab Yenny sedikit salah tingkah.
Hanya Yenny yang menjawab Adiana. Ima terbengong-bengong berusaha mempercayai apa yang dilihatnya, sedangkan Tari menatap dingin ke arahnya. Mereka bertiga juga terlalu terkejut untuk membalas lambaian tangan Adiana saat dia beranjak pergi dengan laki-laki itu.


Manusia memang tidak dapat mengetahui apa yang telah direncanakan oleh Tuhan untuk hidupnya. Meskipun manusia juga dikaruniai dengan sikap antisipasi, tetapi itu terbatas hanya kepada hal-hal yang memang diniatkan untuk dijalani. Banyak hal yang hanya dimulai dari sesuatu yang begitu kecil, sehingga hal tersebut dilupakan begitu saja. Tetapi kemudian semuanya justru berakhir oleh sesuatu yang besar. Terkadang sampai sulit dipercayai bahwa ini dapat terjadi.
Sebulan yang lalu, laki-laki itu menolongnya saat hampir terjatuh di lantai. Tiga hari kemudian, pertolongannya berkembang jauh lebih besar saat dia menolongnya dari suatu tindak pelecehan. Dan sekarang Adiana sudah menemukan dirinya berada satu mobil dengan Ariyo menuju ke Grand Indonesia.
Adiana bukanlah tipe gadis yang mudah didekati oleh laki-laki. Bukan karena dia sombong atau terlalu percaya diri, tetapi karena dia memang sulit untuk dapat tertarik dengan laki-laki. Dia memiliki sifat aneh, bahwa dia merasa tidak terlalu nyaman bila terlalu lama dekat dengan seorang laki-laki. Dan dia juga merasa lebih bebas bila tidak terikat oleh siapapun.
Tetapi Ariyo sangat berbeda dengan semua laki-laki yang pernah berusaha mendekati Adiana. Dia tidak pernah berusaha untuk selalu memenuhi keinginannya, tidak pernah memuji-mujinya—justru sebaliknya, tidak pernah sering memberikannya sesuatu—dengan pengecualian mousse cokelat, dan sangat jelas, tidak pernah menunjukkan bahwa dia ingin mendekati Adiana.
Adiana juga baru pertama kali menghadapi seorang laki-laki sedingin ini. Seingat Adiana, dia hanya pernah sekali melihatnya tertawa kecil, saat laki-laki itu mengantarkannya pulang. Raut wajahnya selalu datar tanpa ekspresi dan tatapan matanya sedingin es. Perkataannya juga hanya pendek-pendek dan lebih sering dengan isi sarkastik dan sinis. Dan salah satu resiko berhubungan dengan laki-laki seperti ini adalah sarkasme tersebut seringkali ditujukan pada dirinya.
Tetapi itu semua justru membuat Adiana merasa bahwa ini adalah laki-laki yang paling jujur kepadanya. Dia tidak pernah bersikap berlebihan seperti yang lain. Semua kata-kata dan sikapnya hanya berdasarkan obyektivitas semata. Entah mengapa, itu membuat Adiana merasa nyaman bercerita apapun kepadanya. Tanggapan dan reaksi laki-laki itu seringkali tidak mendukungnya tiap kali saat dia menceritakan suatu masalah, dan memang terkadang itu membuat Adiana merasa kesal, tetapi setelah dia memikirkannya kembali, seringkali kata-katanya justru merupakan solusi terbaik dari apa yang dia alami.
Itulah sebabnya selama sebulan terakhir ini, mereka berdua menjadi lebih dekat dari apa yang bisa dibayangkan oleh imajinasi terliar Adiana sekalipun. Meskipun baru sebulan, tetapi Adiana merasa sudah dekat dengan Ariyo jauh lebih lama dari itu. Dan dia adalah laki-laki tercepat yang diiyakannya saat mengajakanya untuk jalan bersama.
"Sudah ada bayangan ingin membeli apa?"
Adiana tersentak dari lamunannya. "Hmm... Belum tahu sih. Lihat-lihat dulu aja nanti di GI. Kalau ada barang yang bagus ya baru dipilih."
"Melakukan sesuatu tanpa rencana dan menyerahkannya begitu saja." Ariyo berdecak sinis. "It's so you... Selalu bingung untuk memutuskan sesuatu."
Adiana tersenyum kecut, tetapi dia sudah terbiasa. "Well... Untungnya ada loe kan. Tuan-paling-benar-dan-selalu-punya-rencana." balas Adiana tidak kalah sinis.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya sambil mendengus. "Selalu melawan bila diberitahu. Benar-benar cewek keras kepala."
"Yah, mungkin itu justru itu yang membuat loe bersama dengan gue sekarang? Karena kita mirip?"
Beginilah yang mereka alami sehari-hari. Bukan tipe pembicaraan yang diinginkan oleh kebanyakan orang. Tetapi anehnya, Adiana menikmatinya. Dan dia menemukan dirinya menjadi lebih banyak berbicara terbuka—bila tidak bisa dibilang sinis—dari biasanya. Terasa menyenangkan melihat dirinya bisa melakukan hal yang tidak pernah sekalipun dilakukannya. Untuk Ariyo sendiri, dia seringkali bersikap dingin dan sinis kepada Adiana, tetapi toh dia tetap meladeni apapun dari dirinya juga.
"Yah, anyway... Terima kasih karena loe mau menemani gue untuk membeli hadiah ulang tahun buat Mama."
"Well... Mau bagaimana lagi. Gue terpaksa harus setuju kan, sebelum loe merengek lebih jauh lagi..."
"Ryo! Please..." tatapan Adiana lebih bernada memohon daripada kesal.
Ariyo terdiam. Tiba-tiba dia terlihat lebih gugup dari biasanya.
"Sorry... Gue tidak bermaksud mengatakannya... Hanya saja... Well, you know me... Gue cuma..."
Adiana selalu senang bila dia berhasil melihat Ariyo seperti itu.
"Dan satu lagi..." Adiana mendelik. "Gue tidak pernah merengek, ya. Apalagi kalau gue tahu itu tidak akan berguna buat orang seperti loe."
Ariyo menatap gadis itu. Meskipun dia tidak tersenyum, tetapi kali ini raut wajahnya tidak sekaku biasanya.


Beberapa kilometer dari sana. Pelataran Seven Eleven Salemba.
Aditya menenggak minuman sodanya hingga tersisa separuh dan meletakkannya di atas meja setengah membanting dengan keras. Kalengnya sedikit remuk karena tekanan jari-jarinya yang mengeras.
"Gue bisa melihat kalau loe cukup kesal dengan hal ini."
"Cukup kesal? Gue marah!" teriak laki-laki itu.
Beberapa mata memandang ke arahnya dengan penuh rasa ingin tahu. Beberapa memberikan tatapan tidak senang.
Gadis itu mendelik ke Aditya seraya menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Ssstt! Pelan-pelan! Semua orang melihat ke kita."
Laki-laki itu mengabaikannya dan bertanya dengan dingin. "Loe yakin dengan apa yang loe katakan? Loe tidak cuma mempermainkan gue, kan?"
Gadis itu mendengus sinis. "Gue tidak akan capek-capek meminta loe bertemu di sini kalau hanya untuk mempermainkan loe. Gue tidak buta dan tidak bodoh. Jelas-jelas mereka jalan berdua di depan mata gue."
"Yah, mungkin saja itu bukan apa-apa. Mungkin mereka lebih berteman dari yang kita tahu. Bukan zamannya lagi kan laki-laki dan perempuan pergi bersama harus dalam hubungan khusus."
"Katakan itu pada diri loe sendiri dan katakan pada gue kalau loe mempercayainya."
Aditya tidak mengucapkan apapun. Pandangannya beralih dari gadis di depannya ke arah jalan raya. Dia termenung untuk sekian lama.
"Jadi apa yang akan loe lakukan?" tanya gadis itu tidak sabar.
Lama laki-laki itu tidak menjawabnya. Dia menenggak sebagian sodanya kembali.
"Entahlah... Gue tidak tahu..."
Gadis itu memandangnya tidak percaya. "Apa maksud loe dengan tidak tahu? Loe kan cowoknya Ana, pertahankan dia dong. Jadi loe nggak keberatan kalau cewek loe didekati orang lain?"
Aditya menggeleng. "Di situlah letak kesalahan loe. Gue bukan cowok Ana. Kami bahkan belum jadian sama sekali. Antara gue dan dia tidak ada status yang mengikat." laki-laki itu terdiam sejenak. "Jadi gue sebenarnya gue tidak punya hak untuk melarang-larangnya."
Gadis itu memandangnya dengan sikap meremehkan. "Oh, jadi hanya sampai di situ saja keberanian loe? Sampai kapanpun loe tidak akan mendapatkan Ana bila tidak bisa bersikap selayaknya seorang cowok. Atau loe memang terlahir sebagai seorang pengecut?"
Laki-laki itu menatapnya dingin. "Gue bukan pengecut! Gue hanya berpikir secara logis. Gue dan Ana..."
Gadis itu melambaikan tangannya tidak sabar. "Sudah berapa lama sih loe mengenal Ana? Loe kan tahu Ana itu orangnya paling tidak bisa untuk mengambil keputusan. Itu alasannya hubungan loe dan dia stagnan di sini. Dan sekarang ditambah ada "gangguan dari luar". Atau mungkin loe udah menyerah dengan dia?"
"Tentu saja tidak. Gue sama sekali belum menyerah untuk..."
Gadis itu memotongnya. "Dan kalau boleh gue sarankan, siapkan diri loe buat kehilangan Ana."
"Gue tidak akan kehilangan dia hanya karena kejadian ini..."
"Kalau begitu lakukan sesuatu!" kali ini gadis itu yang berteriak dan menarik perhatian orang-orang sekitarnya.
Aditya memandang gadis itu penuh curiga. "Sebenarnya ada apa sampai loe sesemangat ini untuk mengatakan semua ini? Apa tujuan loe sebenarnya?"
Ekspresi gadis itu sedikit berubah. "Gue tidak ada tujuan apa-apa. Gue hanya mencoba membantu loe. Itupun terserah loe menganggapnya sebagai bantuan atau tidak."
Lama tidak ada satupun yang berbicara. Aditya menenggak minuman sodanya hingga habis, kemudian berdiri seraya mengenakan jaket kulit hitamnya yang disampirkan di sandaran kursi.
"Gue butuh berpikir sendirian." Aditya meraih helmnya di atas meja. "Dan gue minta, loe jangan ikut campur dalam urusan ini." ujarnya tajam.
Gadis itu mengangkat kedua tangannya dan menggelengkan kepala. Diawasinya laki-laki tersebut pergi menuju ke motor Ninja hitamnya dan meluncur membelah jalan raya.
Gadis itu mengambil Quickie miliknya yang baru tersentuh sedikit sedari tadi. Sambil menghela napas, dia menyeruput isinya sedikit.
Melelahkan juga mengurusi cowok bodoh ini. Tapi bila berhasil hasilnya akan sepadan. Dan orang itu akan merasakan akibatnya.
Senyuman jahat terkembang di bibirnya.

 


Salah satu dari sikap tipikal seorang gadis yang pergi berbelanja adalah menghabiskan berjam-jam dengan berjalan memutari satu Mal untuk melihat semua barang yang mungkin dipajang di seluruh etalase, dan masih dapat keluar dari Mal tanpa membeli satu barang pun. Lebih buruk lagi apabila gadis tersebut sudah pulang ke rumah, kemudian merasa menyesal dengan keputusannya untuk pulang dengan tangan kosong. Karena itu artinya dia akan kembali di lain hari ke toko yang mungkin sudah dimasukinya ribuan kali, untuk membeli barang yang juga sudah dilihatnya ribuan kali.
Dan tampaknya Adiana juga tidak lepas dari kebiasaan tersebut. Entah sudah berapa banyak toko yang di masuki, beberapa sudah dimasukinya berulang kali, tetapi dia masih juga belum dapat menentukan pilihannya.
Adiana mengambil sebuah tas tangan berwarna cokelat di salah satu gerai milik brand ternama. "Menurut loe bagaimana, Yo? Ibu cocok tidak ya kalau pergi dengan tas ini?"
Ariyo menghela napas. "Ini sudah kedua kalinya loe mengambil tas itu. Dan kedua kalinya juga loe bertanya. Apa menurut loe jawaban gue akan berubah? Tas itu terlalu "ramai" kalau di mata gue, tidak cocok untuk orang tua."
"Hmm... Iya ya?" Adiana meletakkan tas tersebut dan kembali berjalan ke rak-rak putih yang memajang berbagai jenis tas.
Gadis itu melirik ke belakang. Ariyo masih berdiri di belakangnya sambil melihat-lihat ke arah lain. Dia tersenyum geli.
Hampir semua laki-laki sangat tidak suka untuk menemani seorang gadis pergi berbelanja. Menyia-nyiakan waktunya di tempat yang sama sekali tidak menarik untuknya saja sudah cukup buruk, apalagi ditambah dengan kelelahan yang bisa dipastikan mendera dengan sangat membosankan. Dan bukan pengecualian bagi Ariyo. Laki-laki itu bahkan sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikannya seperti laki-laki pada umumnya. Raut wajahnya yang datar dan seringnya dia menghela napas dengan sinis, sudah cukup untuk menggambarkan betapa tersiksanya dia.
Tetapi toh laki-laki itu masih setia mendampingi Adiana. Dia selalu ikut masuk ke toko manapun yang dimasuki gadis itu. Dia bahkan sama sekali tidak duduk dan selalu berada di belakang Adiana karena gadis itu seringkali meminta pendapatnya mengenai suatu barang yang dilihatnya.

Mereka sudah hampir lima jam berada di dalam Grand Indonesia. Sudah semua sudut Plaza tersebut sudah mereka datangi—berulang kali. Orang yang melihat mereka berdua pasti tidak akan mengira bahwa keduanya sebenarnya saling mengenal cukup dekat. Meskipun mereka berjalan bersama, tetapi ada jarak di antara mereka yang secara fisik dapat terlihat. Mereka juga hampir tidak berbicara satu sama lain, kecuali saat Adiana meminta pendapatnya mengenai suatu barang.
Sebelum ini mereka sempat makan siang berdua di Mr. Curry. Mereka berhadap-hadapan, tetapi hampir tidak saling berkomunikasi. Hanya sesekali dengan sepotong-potong. Sama sekali tidak ada aura romantis di sekeliling mereka berdua.
Bagi Adiana ini jelas tidaklah seperti semua kencan yang pernah dilakukannya. Biasanya mereka akan selalu berusaha menarik perhatiannya, melakukan banyak hal agar dia tertawa, dan semua yang dapat membuat mereka dapat tampak seperti seorang gentleman. Dengan Ariyo dia tidak mendapatkan semua itu.
Bukannya dia tidak sama sekali tidak mengharapkannya. Tentu akan lebih menyenangkan bila ada sedikit keramaian di antara mereka, tetapi dia tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan itu dari Ariyo. Entah mengapa, laki-laki ini terasa sangat dekat dengannya, tetapi di saat bersamaan juga terasa menjaga jarak dengannya. Selain itu dia juga merasa bahwa laki-laki itu menjadi lebih terbuka bila mereka tidak berhubungan face-to-face. Ariyo menjadi lebih banyak berbicara bila mereka berhubungan melalui fasilitas blackberry messenger. Kemudian sikapnya langsung berubah bila mereka sudah saling bertemu. Serasa menjadi orang asing yang baru saja dia temui.
Semua itu membuatnya merasa sangat penasaran dengan laki-laki tersebut. Perbuatan dan perkataan laki-laki itu terasa tidak masuk akal baginya. Segala hal yang telah dilakukan olehnya seperti saling mengkontradiksi satu sama lain. Dia merasa Ariyo seperti seseorang yang berusaha dengan keras untuk menyembunyikan sesuatu.
Cowok yang sangat aneh... pikir Adiana.
"Menurut gue yang ini cocok untuk Ibu."
Adiana tersadar dari lamunannya. Ariyo mengangkat sebuah tas tangan berwarna hijau muda di hadapannya.
"Oh... Lihat dulu, Ryo." Adiana mengulurkan tangan untuk mengambil tas itu.
Selama beberapa menit diperiksanya tas tersebut dengan seksama. Keputusannya untuk membawa laki-laki itu berbelanja bersamanya adalah keputusan yang tepat. Sekali lagi, laki-laki itu membuktikan bahwa kata-katanya obyektif dan sangat membantunya dalam memutuskan.
"Iya, menurut gue juga ini bagus. Kenapa tadinya tidak sempat terlihat, ya?"
"Well, mungkin karena loe terlalu banyak menghabiskan waktu melihat barang yang sama berulang-ulang?"
Adiana hanya tertawa kecil mendengar kesinisan Ariyo tersebut. Dia segera mengajak laki-laki tersebut berjalan ke kasir untuk menyelesaikan pembayarannya.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah keluar dari toko tersebut. Barang bawaan Adiana sudah bertambah dengan kantong plastik besar berwarna putih bertuliskan Guess.
"Hufff... Masih ada lagi yang mau loe cari?" tanya Ariyo sambil menoleh ke arah Adiana.
"Hmm... Masih ada lagi sih... Hahaha, bercanda kok bercanda." ujar Adiana sambil tersenyum geli melihat ekspresi wajah Ariyo yang mengerut. "Sudah yuk, kita pulang seka..."
Tiba-tiba lagu First Love dari Utada Hikaru terdengar samar-samar dari dalam tas tangan Adiana. Buru-buru gadis itu mengaduk-aduk tasnya dan tak beberapa lama kemudian mengeluarkan sebuah Blackberry putih. Di layar Blackberry tersebut tertera sebuah nama yang sudah sangat dikenalnya.
"Eh, nggg... Ryo, maaf ya... Gue terima telepon ini dulu ya, sebentar."
Ariyo mengerutkan dahinya. Ada yang berubah dari gadis itu. Suaranya bergetar dan ekspresi wajahnya menyiratkan ketakutan. Dia tidak berkata sepatah katapun dan hanya menganggukkan kepalanya. Pandangan matanya tajam mengawasi gadis itu.
Adiana mengambil tempat di sebelah salah satu toko pakaian. Membalikkan badannya menghadap dinding sambil mendekatkan handphone­­-nya ke telinga. Selama beberapa detik dia terdiam. Seraya menarik napas, dia mengucapkan sapaan pertama ke orang di seberang telepon tersebut.
           
            Bukannya selama ini mereka banyak mengobrol saat berada di dalam mobil, tetapi keheningan yang tercipta kali ini sangatlah berbeda dari sebelumnya. Bahkan seorang Ariyo pun merasakannya. Saat ini yang terdengar di dalam mobil itu hanyalah lagu Goodbye Days dari YUI.
            Dia beberapa kali melirik ke arah gadis itu. Selama hampir empat puluh lima menit terakhir, gadis itu sangat sedikit sekali merubah posisinya. Dia tetap memandang keluar jendela, membuat Ariyo hanya dapat melihat belakang kepalanya. Ariyo seperti merasakan ada aura pemisah di sekeliling gadis itu yang sengaja dibangunnya untuk menjauhkan orang lain dari dirinya.
            Setelah selama sekitar lima belas menit menerima telepon itu, Ariyo dapat melihat ada yang berbeda dari Adiana. Tidak ada air mata yang mengalir dari kedua matanya, tetapi  dia dapat melihat bahwa gadis itu berusaha sangat keras untuk menahan tangisnya. Ekspresi wajahnya seperti baru saja menerima kabar kematian. Meskipun merasa penasaran dengan siapa yang telah meneleponnya dan apa yang dikatakan orang itu, Ariyo tidak mengatakan apapun dan hanya mengiyakan saat gadis itu mengajaknya pulang dengan singkat. Dan begitu berada di dalam mobil, Adiana segera diam seribu bahasa hingga sekarang.
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Gadis itu memasukkan tangannya ke dalam bathtub yang telah penuh terisi air panas dengan busa sabun berwarna putih menutupi seluruh permukaannya. Dia tersenyum saat merasakan suhu airnya sudah sesuai dengan keinginannya. Dia membuka handuk putih yang melilit di tubuhnya dan menggantungkannya di gantungan besi di sebelah bathtub. Perlahan dia memasukkan kakinya ke dalam bathtub dan menikmati setiap detiknya saat kombinasi air panas dan busa sabun menyentuh setiap jengkal kulitnya. Dia bersandar di ujung bathtub dan memejamkan matanya. Alunan lagu Come Away with Me dari Norah Jones terdengar di seluruh sudut kamar mandi tersebut. 
            Ini adalah salah satu hal yang paling disukainya di dunia ini. Dia dapat berendam sebanyak tiga hingga empat kali dalam sehari, kapanpun dia sempat melakukannya. Sensasi kehangatan yang menusuk dari air panas dan sapuan kelembutan dari busa sabun di kulit putihnya selalu dapat menenangkan hatinya, terutama saat dia membutuhkannya. Dan sekarang adalah salah satu dari saat itu.
            Pikirannya masih terasa melayang jauh, saat sebuah bunyi keras membuka matanya dan mengembalikan kesadarannya kembali ke dunia. Matanya mencari-cari sumber bunyi tersebut dan melihat lampu cordless phone putih di atas wastafel menyala. Dia menatap dingin ke arah benda tersebut. Dia paling benci diganggu saat sedang melaksanakan ritualnya ini.
            Saat telepon itu berdering untuk kelima kalinya, akhirnya dia menyerah. Dengan berhati-hati dia melangkah keluar dari bathtub dan menjatuhkan tetes-tetes air ke lantai saat tangannya meraih gagang cordless phone­ miliknya.
"Halo?"
Selama beberapa menit dia membiarkan pihak di seberang telepon untuk bercerita apa saja yang terjadi. Semakin lama cerita orang tersebut, semakin terlihat senang raut wajahnya. Sesekali sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya memberikan komentar.
"Ya, gue mengerti. Tenang saja. Ini bukanlah sesuatu yang buruk. Ini hanya... Mengembalikan semuanya sesuai tempatnya."
Setelah berkata begitu, dia menutup teleponnya.
Dia meletakkan cordless phone tersebut dan melihat bayangan dirinya di cermin di atas wastafel. Seorang gadis cantik balas tersenyum kepadanya. Tetapi bukan senyuman manis yang tergambar di sana.

Mobil Honda Civic itu berhenti di depan pagar hijau sebuah rumah besar bertingkat dua. Jalanan di sekitar mobil itu tampak sepi, tidak ada satupun orang terlihat berada di sana. Di dalam mobil, Ariyo menghela napasnya dan mengalihkan pandangan ke gadis di sampingnya. Ditunggunya gadis tersebut untuk bereaksi, tetapi setelah beberapa lama dia tidak juga melihat gadis itu bergerak, dengan perlahan disentuhnya bahu gadis itu.
Gadis tersebut melonjak karena tekejut dan segera memutarkan kepalanya. Dilihatnya seorang laki-laki menatap tajam kepadanya.
"Sudah sampai di rumah, Adia."
Adiana tidak segera menjawabnya. Tatapan laki-laki tersebut dingin seperti biasa, tetapi ini untuk pertama kalinya dia melihat seberkas kekhawatiran di wajah laki-laki tersebut.
"Ah iya... Terima kasih, Ryo."
Laki-laki itu menjulurkan tubuhnya ke belakang dan kembali dengan kantong putih Guess di tangan kanannya. "Jangan lupa barang belanjaan loe, Di."
Adiana hanya menganggukkan kepala sambil menerima barang tersebut. Kemudian dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar sebelum tersadar akan sesuatu.
"Eh, ngg... Ryo... Loe mau..." Adiana terlihat sulit untuk mengucapkannya. "Emmm... Maksud gue apa..." Adiana terbata-bata mengucapkannya.
"Tidak perlu. Ini sudah malam. Lebih baik gue pulang saja."
Adiana melirik ke jam mobil yang baru menunjukkan pukul delapan malam.
"Ah ya sudah... Kalau begitu... Sekali terima kasih sudah menemani gue hari ini. Hati-hati di jalan, Ryo."
"Selalu. Well... Goodnight."
"Goodnight..." Adiana menutup pintu mobil dan melihat lampu belakang mobil tersebut hilang dari pandangan di tikungan gerbang perumahan yang menuju jalan raya.
Dia sebenarnya merasa sedikit bersalah kepada laki-laki tersebut. Dia tahu bahwa Ariyo pasti mengetahui bahwa tadi merasa sangat sulit untuk mengundangnya masuk ke dalam rumah. Dia bersyukur laki-laki itu tidak mempermasalahkannya lebih lanjut. Dia bukannya sengaja bersikap tidak sopan seperti itu. Dia hanya tidak bisa. Tidak ketika keadaannya seperti ini.
Sambil menatap sedih, Adiana menekan bel rumahnya. Tidak beberapa lama pembantu perempuannya yang hanya berusia beberapa tahun di atasnya datang untuk membukakan gembok gerbangnya. Dia baru setengah memasuki gerbang tersebut, saat terdengar suara motor di dekat rumahnya. Secara refleks, Adiana menoleh ke arah suara tersebut dan melihat sebuah Kawasaki Ninja hitam baru saja berhenti di depan rumahnya.
Adiana merasa napasnya berhenti untuk beberapa saat. Dia memejamkan mata beberapa kali, berharap bahwa ini tidak terjadi. Tetapi kenyataannya di kedua matanya Aditya berjalan semakin mendekatinya dengan raut wajah yang tidak ingin dilihatnya.
"Terkejut aku datang?"
"Ah, nggak... Eh, maksudku... Iya, tentu saja. Kamu tiba-tiba datang kemari tanpa memberi tahu sebelumnya. Aku sama sekali tidak mengira kamu akan datang ke rumah."
" Tidak mengira... Atau tidak mengharapkan?" ujar laki-laki itu dingin.
"Ah... A... Aku... Apa maksud kamu, sih? Tentu saja aku mengharapkan... Maksudku… Ya tentu saja aku senang kalau kamu datang." Adiana mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Aditnya mengalihkan pandangannya ke arah tikungan gerbang perumahan di ujung jalan. "Aku tadi sempat berpapasan dengan dia. Honda Civic warna hitam, kan?" Aditya menoleh ke arah Adiana dengan raut wajah dingin.
            Laki-laki itu telah menjatuhkan bomnya. Kedua kakinya terasa lemas dan tubuhnya bergetar. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan.
            "Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kita masuk dulu saja?"
            Adiana tidak mengatakan apapun saat bergeser untuk memberikan jalan pada Aditya menuntun motornya masuk ke dalam garasi rumahnya. Secara singkat dia menyuruh pembantunya untuk mengunci pintu gerbang di belakangnya. Setelah itu dia sendiri mendekati Aditya tanpa bersuara sedikit pun dan berjalan berdua memasuki rumah.
            Adiana menarik napas panjang.
            Inilah saatnya...

Adiana tidak dapat menahannya lagi. Dia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal bergambar anak kucingnya. Bahunya terlihat naik-turun dengan suara terisak-isak mengiringi setiap gerakannya.
Hari ini seharusnya berjalan dengan menyenangkan. Mencari hadiah ulang tahun ibunya ditemani dengan seorang laki-laki yang telah cukup dekat dengannya selama sebulan terakhir ini. Dan memang semuanya berjalan sesuai harapannya, membuatnya tersenyum lebih sering dari yang dapat dia harapkan dari seorang Ariyo, hingga telepon itu datang.
Begitu dia melihat nama dari siapa yang meneleponnya, dia langsung tahu bahwa dia tidak akan menyukai apa yang akan terjadi.
Laki-laki itu selalu begitu. Selalu berusaha mengintimidasinya dan membuatnya selalu mengikuti apapun yang diinginkannya. Karena dia telah berusaha mendekatinya selama lebih dari enam bulan, dan ini bukan pertama kalinya, laki-laki itu telah cukup mengenalnya luar dalam. Termasuk salah satu sifatnya yang paling tidak bisa untuk menghadapi sebuah konfrontasi. Setiap kali ada permasalahan, dia tidak pernah bisa mengutarakan pendapat maupun perasaannya kepada orang lain. Setiap kali dia berusaha membuka mulutnya serasa ada sesuatu yang menghilangkan suaranya dan pada akhirnya dia akan berakhir dalam diam, mengiyakan semua yang dikatakan lawan bicaranya. Dan laki-laki itu selalu dapat memanfaatkan kebiasaannya tersebut dengan sangat baik.
Kemudian apa yang baru saja terjadi di ruang tamunya malam ini. Sekali lagi dia harus berhadapan dengan laki-laki tersebut dan mendengarkan semua yang dia katakan. Laki-laki tersebut memang tidak menggunakan sedikit pun nada tinggi karena bagaimanapun ini di rumah Adiana, tetapi penekanan yang tajam pada tiap kata-katanya jelas menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.
Meskipun ini bukan pertama kalinya dia bertengkar dan terintimidasi oleh laki-laki tersebut, tetapi kali ini dia merasa berbeda. Kali ini dia benar-benar tidak dapat mengingkari semua yang didengarnya. Biasanya dia tidak dapat mengutarakan pendapatnya karena tidak memiliki cukup keberanian, tetapi kali ini dia tidak dapat mengutarakan pendapatnya karena dia memang tidak memiliki pendapat apapun. Rasa bersalah di dalam dirinya membuatnya tidak dapat berpikir.
Mungkin gue memang salah... Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk menunggu... Dia telah berusaha segalanya demi gue, tetapi gue malah mengecewakan dia. Dan kali ini gue sudah menyembunyikan hal yang seharusnya gue ceritakan kepadanya. Mungkin gue memang bukanlah cewek sebaik yang gue harapkan...
Di akhir malam itu, Adiana benar-benar yakin bahwa dirinya memang telah berdosa.

             


- (oleh @Satrio_MD )

0 comments em “Secret Past: Caught In the Middle #4”

Post a Comment