Warung Bebas

Sunday, 18 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta; Takdir - part 2

Tanpa mempedulikan badannya yang menggigil, dan kulit di ujung jarinya yang mulai keriput, Fadil berusaha mengatasi rasa takutnya dengan cara terus menekan dada Adil. Dia tak mempedulikan hawa dingin yang merasuknya lagi.

"Demi segala dewa di Bumi, Surga dan Neraka… Masak iya harus CPR dari mulut ke mulut? Iew!"

Fadil mempertimbangkan opsi yang dia punya. Adil bisa mati kalau dia tak segera membuang gengsinya dan memberinya napas buatan dari mulut ke mulut. Dengan kesal, Fadil meninju dada Adil berkali-kali sebelum membungkuk, siap memberikan napas buatan. Dua senti dari wajah Adil, Fadil bisa melihat pori-pori di wajah pucat Adil. Memantapkan niat, Fadil menarik napas panjang. Tangan kanannya yang menekan kedua pipi Adil agak bergetar, lalu...

Semburan air danau membasahi wajah Fadil, membuatnya kaget dan tersentak ke belakang. Adil terbatuk hebat sambil memuntahkan air danau yang dia telan saat tenggelam tadi. Fadil sangat lega. Dia mengusap wajahnya yang basah terkena semburan air danau sambil tertawa dan memaki di saat yang sama. Adil terus terbatuk-batuk sambil memuntahkan air danau selama beberapa saat. Perlahan, wajahnya yang pucat tak berdarah kembali menunjukkan warna kehidupan.

"Dingin…" Dari semua kosakata yang ada di dunia, si bego nekat yang baru saja tenggelam memilih kata "dingin" sebagai kata pertamanya setelah diselamatkan dari maut dan siuman dari pingsannya. Plus semburan air ke wajah. Sangat brilian, rutuk Fadil dalam hati.

"Yaiyalah, dingin! Kalo mau panas seharusnya lo mendarat di cerobong asap! Barengan sama Sinterklas!"

Adil nyengir terpaksa. Badannya menggigil hebat. Fadil menyambar jaket dan shawlnya, lalu memakaikannya ke badan Adil. Sorot mata Adil memancarkan rasa terima kasih. Tapi Fadil masih sangat jengkel. Adil memang punya kebiasaan jelek: mencelakakan dirinya sendiri, atas nama adrenalin dan keimpulsifan yang bodoh. Berkali-kali juga Fadil terlibat dalam situasi sulit dan harus melibatkan dirinya untuk menyelamatkan Adil dari kesulitan.


Bahkan Fadil pernah berurusan dengan polisi karena membela Adil yang ketahuan ngebut dengan kecepatan 200km/jam. Waktu dikejar polisi, Adil bukannya berhenti tapi malah menginjak gas lebih dalam lagi. Akibatnya, terjadi scene pengejaran di jalan tol yang berlangsung hampir setengah jam. Semuanya atas nama kesenangan sesaat. Setelah tertangkap, dengan entengnya Adil menelepon Fadil untuk meminta bantuan.

"Adrenaline rush itu sangat menyenangkan, Dil. Lo harus coba sekali-kali. Tapi jangan pake mobil gue. Lo pake Fiat lama aja, yang kecepatannya 50 km per jam. Gue gak mau lo kena serangan jantung kalo ngebut di atas seratus kilo per jam."

Fadil tak mau beradu urat leher dengan Adil saat itu. Tapi dia mengancam, ini kali terakhir dia membantu Adil keluar dari kesulitan yang Adil timbulkan sendiri. Sekali lagi kena kasus, silakan urus sendiri. Bukannya merasa tersudut dan menyesal, Adil malah tertawa. Seakan-akan dia tau, Fadil nggak mungkin berdiam diri kalau dia sedang terlibat kesulitan. Dan Adil benar. Ancaman Fadil adalah ancaman kosong. Setelah kasus ngebut dan kejar-kejaran di jalan tol, entah berapa kali Fadil sudah menolong Adil. Semuanya selalu diakhiri dengan omelan. Seperti biasa, Adil cuma tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu menghujaninya dengan hadiah.

"Mau ngejelasin kenapa lo milih mendarat di danau? Atas nama adrenalin, atau elo emang bego?"

"Sabar, Kakek Fadil. Saya masih kedinginan. Ngomelnya di rumah aja, ya?"

Fadil mendengus. Entah kapan Adil akan mulai belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dengan sedikit kasar, dia membantu Adil berdiri dan membawanya ke mobil. Sesi merenung dan menikmati alam sore ini harus diakhiri lebih cepat.

Untunglah mobil Fadil berpemanas udara. Walau begitu, keduanya masih menggigil hebat. Adil mengulurkan kedua tangannya ke arah heater. Bibirnya masih agak biru.

"Gue harus belajar mengendalikan parasut lagi… Mendarat di danau yang hampir beku itu gak enak banget. Untung ada elo. Thanks ya!"

"Yap. Itu kabar yang sangat menyenangkan, Dil. Belajar mengendalikan parasut secara baik dan benar. Tolong ingetin gue supaya nggak deket-deket elo kalo lo merencanakan untuk bunuh diri dengan cara ekstrim kayak tadi." Tukas Fadil kasar.

Adil tertawa. "Dan lo harus belajar let loose. Tadi beneran kecelakaan. Gue gak seidiot itu kok milih terjun ke tengah danau. Thanks for saving my life."

"Padahal gue mengharapkan sore yang tenang, tanpa harus ada adegan penyelamatan heboh kayak di film action. Rupanya gue cuma bermimpi dan mengharap yang gak mungkin." Fadil masih ngomel. Sesekali dia menggigil. Adil masih menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk memperoleh kehangatan.

"Bukannya hari ini ada meeting, Dil? Kenapa malah main parasut?"

"Meetingnya ditunda. Gue mau ketemu calon bini…"

Fadil mengernyitkan keningnya. Heran.

"Calon bini? Lo mau ketemu calon bini di mana? Di langit Melbourne? Itu alasan elo terjun payung? Siapa calon bini lo? Burung elang?"

"Sebagai asisten pribadi gue, bukannya semua jadwal gue lo yang urus, wahai Tuan Fadil Adeyi yang terhormat?"

"Masalahnya Anda sering membatalkan jadwal pertemuan pada detik-detik terakhir, Tuan Adil yang tidak terhormat. Gimana caranya gue bisa mengsinkronkan kegiatan lo dan semua meeting elo kalo hobi lo adalah mengacaukan segalanya? Bapak sering ngomel tau, gak."

Adil bersandar dan memeluk kedua lututnya. Masih sedikit gemetar. Tapi dia sudah bisa cengar cengir.

"Katakanlah gue gak mau hidup gue berjalan stagnan dan begitu-begitu aja. Gak seperti hidup lo…"

"I like my life very well, thank you. Lo belum jawab pertanyaan gue. Siapa calon istri lo?"

Mobil Fadil meluncur mulus, menerbangkan dedaunan coklat dan jingga. Barisan pepohonan di kanan kiri mereka tampak berjalan mundur seiring laju mobil. Adil menyunggingkan senyum. Matanya menerawang keluar jendela, menyaksikan pohon dan jalanan yang menghilang dengan cepat. Heater di dalam mobil membuat suhu badannya berangsur kembali normal. Dia tak lagi menggigil. Memikirkan wanitanya, membuat hati Adil tambah hangat. Saking hangatnya, dia merasa tak butuh heater mobil untuk menghangatkan badan. Kembali, Adil tersenyum. Cinta itu hangat, sekaligus indah. Dari ujung matanya, Adil tau Fadil masih menunggu jawaban. Wajahnya tertekuk. Nampaknya masih tak rela menolong Adil dari maut di tengah danau. Adil kembali tersenyum saat dia melihat bayangan wanita yang dia cintai di pelupuk matanya, lalu terproyeksikan di kaca mobil. 

"Dia wanita tercantik di dunia."

Fadil merasa heran. Sebenarnya, dia sudah merasa heran sejak Adil menyebutkan kata-kata "calon bini." Berarti luka lama yang Adil derita sudah sembuh?  "Wah, gue nggak pernah sangka akan mendengarkan elo memuji perempuan lagi, Dil. Setelah…"

"Jangan bahas itu!"

Suara Adil terdengar tajam. Fadil segera paham dan tak meneruskan kalimatnya tadi.

"Jadi, siapa wanita yang berhasil menarik perhatian lo?"

"Tunggu undangan pernikahan gue dan dia aja, ya."

"Hei! Kayaknya gue berhak tau siapa wanita ini setelah gue berulang kali menyelamatkan nyawa elo, deh!" Rasa penasaran dan rasa heran berlomba menggulung Fadil. 

Adil hanya tertawa, tapi tetap tak bersedia menjawab. Fadil masih tak mau menyerah. Rasa penasarannya kini  membuncah sudah.

"Okay. Kalo lo gak mau kasih tau, gue akan tanya sama Bapak, atau Ibu, atau Amara. Mereka pasti tau. Kalaupun nggak tau, lo yang akan kasih tau mereka."

"Gue belum pernah ketemu orangnya, kok. Serius. Baru liat fotonya aja. Tapi gue langsung ngerasa, she's the one."

Fadil terdiam sesaat. Ada yang gak beres dengan Adil. Apa air danau yang dingin tadi sudah membuat otaknya bekerja terbalik? Sejak kapan Adil bisa jatuh cinta dengan wanita yang belum pernah dia temui? Beberapa tahun terakhir, Fadil sudah berusaha mengenalkan Adil dengan beberapa perempuan yang highly qualified. Semuanya gagal dengan sukses. Sekarang Adil bilang dia jatuh cinta pada selembar foto? Gak mungkin.

"Sedikit saran. Sebelum lo memutuskan untuk mengikuti saraf impulsif elo, mendingan lo selidiki dulu, siapa perempuan ini. Apa latar belakangnya. Jangan sembarangan. Kalau dia memang jodoh lo, bagus. Tapi kalau dia cuma pengin harta lo…"

"Hahaha! Lama-lama lo makin mirip nyokap gue, tau gak! Tenang aja. Cewek ini bukan tipe pemangsa uang kok."

"Lo tau dari mana? Ketemu aja belum."

"Karena naluri gue bilang gitu."

"Naluri lo juga bilang ke elo untuk mendarat di tengah danau."

"Hei, itu bukan naluri. Itu kecelakaan!"

"Itu dia maksud gue. Lo gak bisa selalu mengandalkan naluri. Gunakan otak lo juga."

"Cinta tak butuh logika, Dil. Dan cinta tak pernah memilih."

"Pilihan itu selalu ada."

"Silakan ngomong gitu kalo lo suatu saat jatuh cinta sama cewek. Eh, lo masih doyan sama cewek, kan?"

Adil tergelak atas leluconnya sendiri. Tawanya tiba-tiba terhenti dan dia mengaduh kesakitan saat bahunya ditonjok Fadil.

"Harusnya gue yang tanya, apakah seorang Adil masih straight?"

Mereka tertawa bareng. Mobil berbelok, memasuki pekarangan rumah yang luas. Adil tak menunggu sampai mobil benar-benar berhenti. Dia segera meloncat keluar, dan berlari masuk ke dalam rumah. Fadil masih ngedumel. Dan penasaran. Dia tak membuang waktu untuk memasukkan mobil ke dalam garasi. Adil harus menjawab rasa kepenasarannya, sekarang juga!

Pintu kamar Adil terbuka, dan Fadil masuk dengan tampang jengkel. Di atas kasur, Adil sudah berbaring. Fadil mengernyitkan keningnya.
"Lo bukan cuma manusia paling impulsif yang pernah ada, tapi juga yang paling jorok, Dil. Mandi! Ganti baju!!"

Sebelah alis Adil terangkat.

"Sebelum ngomongin orang, lo harus liat keadaan lo dulu, wahai Tuan Tukang Perintah! Baju lo sendiri aja masih basah gitu mau ngomongin orang. Itu namanya dobel standar. Ngurusin dan nyuruh-nyuruh orang, tapi nggak melihat keadaan diri sendiri."

"Gue nagih janji. Penasaran. Setengah mati! Mana foto cewek idaman lo?!"

"Haha! Sorry, tapi gue akan simpan rahasia kecil ini, sampai waktu yang tepat."

Fadil tambah jengkel. Dia menarik satu kursi dan duduk di samping tempat tidur.
"Gue jadi nyesel nyelamatin elo dari danau tadi…"

"Lo selalu menyesal waktu menyelamatkan gue saat gue kecelakaan di Perth, ditilang polisi ribuan kali, hampir mati kehabisan darah waktu jatuh dari panjat tebing, daftarnya bisa sampai besok. Dil, gue kasih satu kalimat sakti ya? Penyesalan nggak pernah berguna. Penyesalan nggak akan membuat lo kaya. Okay?"

"Okay. Whatever your ass suits you, lah! Satu hal kecil yang ganggu gue: Gue kok gak percaya kalau cewek yang lo omongin dari tadi adalah tokoh nyata, Dil. Lo yakin kalau lo nggak sedang berhalusinasi, kan?"

Adil ngakak. Dia bangun dari tempat tidur, membuka bajunya yang basah, melepas celana dengan cuek seakan-akan Fadil tak ada di situ. Fadil langsung protes.

"Hei! Sepanjang ingatan gue, gue nggak masuk kamar ini untuk ngeliat pertunjukan striptease. Apalagi striptease yang dilakukan cowok. Sorry, man. Gue gak berminat liat lo pamer body!"

"Ya terserah lo. Gue kan nggak suruh lo masuk kamar ini. Ow, reverse psychology lo nggak akan mempan. Tapi gue bisa bilang begini: cewek yang gue ceritain emang beneran ada. Tenang aja, wahai Tuan Fadil Yang Hobinya Kepo dan Rese, gue punya feeling lo akan ketemu cewek ini lebih cepat dari yang lo duga. Sekarang keluar dari kamar ini. Kecuali lo punya hobi baru. Liat cowok telanjang. Hahaha!"

Fadil keluar dari kamar itu sambil ngedumel karena belum puas sama jawaban Adil. Pintu terbanting keras, Adil menghela napas. Lalu mengambil kimono, memakainya, dan menekan tombol proyektor yang terletak di samping mejanya. Satu gambar terpampang di langit-langit kamarnya. Gambar yang sudah membuatnya tidur dengan nyenyak selama seminggu terakhir. Adil menatap foto Dara yang sedang tersenyum manis dengan wajah penuh damba. Kemudian tangannya meraih remote dan menekan tombol play. Intro lagu yang mewakili perasaannya dengan pas segera mengalun. Adil masuk ke kamar mandi sambil menyenandungkan lagu I Knew I loved You nya Savage Garden. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat dia bersenandung mengikuti suara indah Darren Hayes.

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason. Only the sense of completion
And in your eyes, I see the missing pieces I'm searching for
I think I've found my way home
I know that it might sound more than a little crazy but I believe...

I knew I loved you before I met you, I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life…

A thousand angels dance around you
I am complete now that I've found you

I knew I loved you before I met you…..
………………………………………………………………………………………………………………..




~ (oleh @aMrazing)

0 comments em “Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta; Takdir - part 2”

Post a Comment