Warung Bebas

Wednesday, 12 October 2011

Chemistry: 18 (the End)

How's life? (Epilog part 2 : The End)

L E A H

Perutku  sudah semakin membesar. Membulat. Aku sendiri yakin bahwa  tak bakalan bisa berjalan jauh. Berbalut long coat selutut dan sepatu boot, kuputuskan untuk berjalan menyusuri trotoar kota Hamburg. Musim gugur. Tapi, cuaca sudah tak menentu. Tak baik bagi kandunganku yang telah menginjak bulan kedelapan.

Pagi ini, jalanan lengang. Tak banyak orang melintasi trotoar sepagi ini. Tapi, buatku ini adalah rutinitas pagi hari. Jalan – jalan pagi. Kuarahkan  sepasang kakiku ke arah taman di tengah kota. Setelah membidik sudut taman yang rindang, aku duduk. Mengelus perutku dua kali. Sembari menunggu.

Menunggu dia. Dia yang dulu. Decitan suara rem sepeda. Sosok jangkung mendekatinya.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Dan pelukan rindu sepasang teman lama. Erat.

J A M E S

Aku ada janji temu dengan kawan lama. Terlampau lama tak bertemu dengannya. dan dia masih saja cantik. Memukauku. Beruntunglah Adrian, lelaki, yang menikahinya, dan membuatnya hamil serta berjalan dengan susah payah seperti itu.

Mungkin memang begini takdirnya. Paling tidak aku sempat membuatnya tersenyum bahagia. Meski hanya sekedar menjadi teman.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Kupelak erat Leah. Leah-ku.


~ (oleh @WangiMS)

#30: Epilog (pt 2) #Tamat

Adrian H. Choi tidak memberiku kabar selama tiga bulan terakhir.
Well, di tiga bulan pertama, hubungan kami baik-baik saja. Dia sering mengabariku lewat email dan meneleponku di akhir pekan. Bahkan, satu minggu sebelum aku pulang ke Indonesia, dia sengaja datang ke New York untuk menemaniku.
Tapi, setelah itu...
"AW—Oke! Tenang!" Adrian menahan tanganku yang semakin membabi buta memukuli pundaknya dengan buket bunga. "Nanti buketnya rusak—"
"KAMU LEBIH PEDULI SAMA BUKETNYA?"
"Sst!" Adrian menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Tenang, please?"
Kami memilih tempat yang agak jauh dari taman. Kami berdiri di tepi padang rumput luas yang menyuguhkan pemandangan kota Bandung di bawah dan pegunungan dengan siluet jingga keunguan dari matahari sore. Namun, semilir angin Januari yang menerpa kulitku tetap dingin.
Adrian mendesah, lalu melepaskan jas putihnya, dan memakaikannya pada bahuku yang telanjang. "Kamu mau aku cerita dari mana?"
"Kamu sebenernya kuliah di mana, sih?" Todongku langsung tanpa basa-basi. "Setiap kali ditanya pasti nggak pernah direspon!"
Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan menyodorkannya padaku. Kukira, itu kartu—EH? Kartu Tanda Mahasiswa.
UNIVERSITAS INDONESIA! Jurusan JURNALISTIK. Kepalaku menoleh padanya.
"A-Ad?"
"Salah satu rektor universitas membaca artikel interview aku dengan kamu dan mencari informasi tentangku," paparnya santai. "Pendekatannya memang lama, tapi dengan tawaran beasiswa dan pekerjaan yang menjanjikan, aku nggak bisa nolak. And there's a BIG chance for me to meet you in the same country."
YA AMPUUUN! "Jadi, selama tiga bulan ini sebenarnya kita berada di PULAU YANG SAMA?!" Aku hanya melongo saat Adrian menganggukan kepalanya. Kembali,
aku memukul pundaknya dengan buket bunga. "JAHAAAAT!!! Dan... orang tuaku..."
"Nah, aku sempet ketemu ayah kamu di pertemuan orang tua para penulis. Ingat?" Kepalaku terangguk. Ayah diundang penerbit novelku ke Depok dua bulan yang lalu untuk pertemuan itu. "Waktu tahu ada ayah kamu, aku langsung kenalan dan bilang kalau aku... pacar kamu."
Tanganku terlipat di dada. "Kamu sinting."
"Hei, tapi ayah kamu menyambut dengan baik! Dia melayani interview-ku, makan siang bersama, dan... sebenarnya ayah kamu yang merencanakan pertemuan ini." Seringainya muncul. "You have such a great parents and cute sister."
Aku meringis kesal. "Hah, dan nggak ada yang ngasih tahu aku!"
"I save you the last for the best," katanya dengan tatapan yang dalam yang membekukan. "Aku serius dengan hubungan ini, Dita. Selama kuliah, aku belajar tentang Indonesia. Besar kemungkinan, setelah kuliah, aku akan benar-benar bekerja di sini. Aku juga akan mengajukan permintaan naturalisasi."
Mataku menyipit – apa dia sedang mabuk? "For what sake?"
"For you, what else? Aku sudah lelah menghadapi drama-drama itu lagi di Amerika." Tangannya mengelus rambutku. "Begitu menginjakkan kaki di tempat kelahiran kamu, I suddenly know why you always bring a peace for me."
Kepalaku menggeleng tidak percaya. "Aku nggak tahu harus bilang kamu nekat atau gila."
Adrian terkekeh; telapak tangannya menangkup wajahku. "\*I will do everything for you as long as you keep staying by my side. We're gonna chase our dreams here. Together."
Air mataku meleleh. Di kota ini, Bandung – kota di mana aku dilahirkan, Adrian datang dan mengorbankan semunya untuk mewujudkan keinginanku untuk menghabiskan sisa hidup kami di sini. Apa lagi yang bisa kuharapkan selain hidup bahagia bersamanya?
Kemudian, Adrian mendekapku erat. Sebuah dekapan yang kembali menghantarkan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama aku rindukan. Cukup, Dita, cukup dengan semua drama itu! Adrian memang bukan pangeran berkuda putih. Dia lebih dari itu!
"Jadi, kita harus menyusul secepatnya?" tanya Adrian sambil merapikan rambutku dan melirik buket bunga itu. "Kapan?"
Aku tersenyum dan menepuk manja pundaknya. "Selama ada kamu."
Sayup-sayup, aku mendengar Jared berseru dan mulai menyanyikan sebuah lagu; Endlessly. Adrian tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
"A-Apa?" tanyaku gugup. "Dansa?"
"Have heard He is We's song called All About Us?*" tanyanya dengan alis terangkat. "They said, 'lovers dance when their feelin' in love'. So, shall we? Because, I believe you can."
Aku merengut sebal, namun entah kenapa tanganku malah menyambut tawarannya.
Adrian memeluk pinggangku dan salah satu tangannya yang lain menggenggam tanganku bersama buket bunga. Melihat ini, aku hanya bisa tersenyum geli.
"Anggap ini rehearsal untuk pernikahan kita," bisiknya lembut. "Well, I can't hardly wait to introduce you as Mrs.Choi."
Aku tertawa kecil. "Kita bisa latihan untuk itu juga sekarang."
Adrian ikut tertawa, sebelum memberiku ciuman mesra di kening.
Oke, ini benar-benar sudah berakhir, kan? Karena aku ingin istirahat bersama Adrian sekarang.

And there's no guarantee, that this will be easy
 It's not a miracle you need, believe me
Yeah, I'm not angel, I'm just me
But I will love you endlessly
Wings aren't what you need, you need me...
(Endlessly – The Cab)

***
TAMAT


~ (oleh @erlinberlin13)

Sebuah Pelajaran Yang Berharga #Tamat

Dua bulan Aku menjalin kasih dengan Winda. Sungguh Aku masih belum menyangka karena bisa mendapatkan dan menjalin kasih dengan wanita tercantik di kampusku. Sejauh ini hubunganku dengannya baik-baik saja walaupun ada batu-batu kecil yang menghalangi di perjalanan cintaku dengan Winda. Banyak rintangan yang menerjang hubungan kami berdua. Tapi bagiku, apapun rintangannya yang menerjang hubunganku dengan Winda tetap Aku dengan tenang dan sabar.

Pada suatu saat di bulan ke-3 hubunganku dengan Winda, Aku merasakan hal-hal yang mengganjal di antara Aku dan Winda. Dia tidak membalas messenggerku maupun menjawab telepon dariku. Terus saja Aku melakukan kontak dengan Winda. Saat Aku menemuinya di kampus, dia spontan saja menghindariku. Dibingungkan dengan sikap Winda kepadaku, Aku menelusuri apa yang sebenarnya terjadi dengan Winda dan hubunganku dengan Windanya sendiri. Aku berusaha mencari tahu dengan apa yang terjadi antara kita berdua. Ternyata saat kutelusuri lebih lanjut, dia sudah mempunyai pacar baru. Sungguh saat Aku mengetahui itu hatiku langsung hancur berkeping-keping. Kesal, sedih, dan emosi-emosi yang lain meracuni hati dan pikiranku. Saat itu Aku langsung tidak melakukan kontak lagi dengan Winda dan tidak akan menemuinya lagi saat di kampus karena betapa emosinya diriku saat mengetahui Winda sudah mempunyai kekasih selain Aku. Aku merasa dikhianati olehnya dan berpikir betapa bodohnya Aku menjalin kasih dengan wanita yang sudah mengkhianati hatiku. Sampai suatu saat Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Winda dan memberitahukan kepadanya bahwa hubungan kita berakhir. Tak ada respon darinya. Sungguh Aku kesal dan emosi yang tinggi akan sikap dari Winda itu. Namun Aku pun berpikir lagi dengan sikapku yang terlewat emosi tidak seperti Aku yang biasanya. "Buat apa Aku sesali hubunganku yang denga Winda kalau itu semua sudah terjadi, biarkan itu berlalu dan jadikanlah sebuah pelajaran." Kemudian Aku pun mencoba melupakannya dengan cara apapun.

Empat bulan berlalu saat berhubunganku dengan Winda berakhir. Aku terus mencoba melupakan kenangan-kenangan terindahku saat menjalin hubungan dengan Winda. Awalnya sulit untuk melupakannya, tetapi mau tidak mau Aku harus melakukan itu karena Aku tidak mau terus larut dalam kesedihan akan perjalanan cintaku. Saat itu Aku belum merasakan trauma akan cinta, termasuk saat cintaku dengan Winda yang kandas karena dia telah mengkhianatiku. Aku terus berjuang dengan sebongkah hatiku, mencari cintaku yang sesungguhnya.

Waktu yang panjang dan lama untuk mencari dan terus mencari cintaku. Tujuh bulan Aku berjuang dengan sebongkah hatiku melakukan perjalanan cinta yang panjang untuk mencari seseorang yang mau menerima cintaku apa adanya. Tetapi di sepanjang perjalanan cintaku, tidak ada satupun yang menerima perasaan cintaku kepada mereka. Di sepanjang perjalanan cintaku selama tujuh bulan ini, lima wanita menolak cintaku dengan alasan yang berbeda-beda. Sungguh perjalanan dan pengalaman cinta yang sangat buruk dan menyakitkan untukku. Hatiku yang tak kuasa menahan rasa sakit akan cinta dan menjerit-jerit di dalam jiwaku. Aku pun turut larut dalam kesedihan karena cinta bersama sebongkah hatiku. 

Aku mulai frustasi karena cinta. Cinta membuat hidupku berantakan, tak terkendali, dan hal-hal lain yang merusak pikiran dan jiwaku. Apalah arti perjuangan cintaku selama ini? Yang ada hanyalah membuang-buang waktuku saja. Keputusasaanku mengacaukan pikiranku ini, sampai hingga suatu saat Aku berniat ingin bunuh diri hanya karena cinta terlebih karena belum mendapatkan seorang wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi hatiku berbicara sesuatu tentang pengalaman cintaku selama ini. Mungkin ini jalan terbaik yang diberikan oleh Tuhan kepadaku supaya Aku akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang Aku alami saat berjuang untuk mendapatkan cinta sejati. Buat apa Aku bunuh diri hanya karena cinta? Aku masih mempunyai Tuhan, keluarga yang mencintaiku apa adanya, teman yang setia denganku, dan banyak lagi orang-orang terdekatku yang masih memperhatikan dan peduli terhadapku. Pikiran yang dewasa ini membuatku tersenyum kembali dan membangkitkan semangatku agar tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Sekarang Aku sudah bisa berpikir jernih dan lebih dewasa tentang cinta. Hatiku sudah tujuh kali lebih kuat dari sebelumnya karena Aku sudah mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Aku pun sudah banyak belajar dari pengalaman-pengalamanku yang sebelumnya. Perjalanan cintaku tak berhenti sampai sini, Aku terus berjuang bersama sebongkah hatiku ini dan Aku yakin pada suatu saat nanti, Aku akan mendapatkan cintaku yang sebenarnya :)




~ (oleh @Damas_kecil)

Tuesday, 11 October 2011

Chemistry: 17

How's life? (Epilog part 1)

L E A H

Hidup di luar negeri dengan cara backpacker memang tak semudah yang dibayangkan. Aku rindu semuanya. Surabaya dan semuanya. Sudah waktunya aku settle down. Pekerjaan yang aman yang tetap memungkinkan aku travelling.

F E R D I

Apa kabarnya Leah yah? Semoga dia tetap bahagia. Meski berjauhan dengan Adrian. Aku yakin dia sih tersiksa tanpa blackberry nya. Sepatu Loubutin nya. Make-up Mac yang selalu nempel di tiap senti wajahnya.

Leah.. Leah.

A D R I A N

Aku selalu jatuh hati pada Singapura. Karena Leah. Dia begitu menyukai negara ini. Aku senang memperhatikan celoteh riangnya tentang MRT di negara ini. Betapa bersihnya di sini. Betapa dia menikmati setiap detiknya berjalan di kota ini. Menyusuri Lavender, melewati Kampong Glam, melihat bis-bis cantik melintasi Victoria Street dan ramainya Bugis village.

Leah selalu cerita bahwa dia ingin tinggal disini. Membesarkan anak-anaknya disini. Ahh.. Aku rindu Leah.

Dari terminal 2 Changi airport, aku turun ke arah stasiun MRT. Aku sempat berganti kereta di Tanah Merah. Mengambil East Coast Line MRT menuju Orchard. Orang-orang naik dan turun dari MRT. Kusapukan pandanganku ke arah gerbong lain. Tak begitu banyak orang.

Stasiun Lavender. Banyak orang masuk ke gerbongku. Penuh sesak. Aku berjalan pindah ke arah gerbong lain. Aku tak apa bila harus berdiri.

Lalu, kulihat sosok yang sering kulihat dulu. Aku kenal rambut hitam yang digelung cantik. Aku tahu caranya memegang blackberry. Aku ingat senyum lebarnya. Terbalut seragam kerja berwarna biru dan sepatu berhak tinggi warna hitam. Dia berbeda. Tapi, dia tetap Leah-ku.

Kudekati dia. Lalu, kusapa.

"Halo. Sudah lama menungguku?"


Leah-ku tersenyum. Sesuatu yang aku rindu darinya. Penantian 2 tahunku yang tak sia-sia.


~ (oleh @WangiMS)

Awal Perjalanan Manis Kisah Cintaku


Kisah perjalanan untuk mendekati Winda pun berlanjut lewat messenger. Entah kenapa dia merasa senang jika Aku berada di dekatnya. Saat itu Aku belum merasakan hal yang aneh, yang Aku rasakan hanyalah sebuah pikiran positif bahwa Winda mau menerimaku sebagai kekasihnya. Ya semenjak dia memenangkan perlombaan kontes menulis di kampusku, Aku merasa semakin lebih dekat dengannya begitupun dengan Winda kepadaku (pikirku begitu). Aku sudah melakukan pendekatan ke Winda sejak 2 minggu yang lalu. Banyak hal yang kita bicarakan lewat messengger, kebanyakan Aku memberikannya sebuah syair kepadanya. Dia suka saat Aku memberikan sebuah syair untuknya. Dia mengatakan bahwa Aku adalah pria romantis, otomatis Aku merasa sangat senang dan bahagia. "Jarang-jarang wanita yang secantik Winda memujiku" pikirku sambil tersipu malu. Pendekatanku tidak hanya lewat messenger, komunikasi via telepon menjadi alternatif yang lain untuk melakukan pendekatan ke Winda. Namun di sini Aku tidak meminta nomor telepon lebih dulu kepada Winda, melainkan Windanya sendiri yang memberikan nomor telepon kepadaku. Saat itu Aku merasa tercengang dan bingung. Lalu timbul pertanyaan di kepalaku "Kenapa dia memberikan nomor teleponnya duluan kepadaku, biasanya saat Aku melakukan sebuah pendekatan kepada seorang wanita, Aku yang inisiatif meminta nomor telepon kepada si Wanita tersebut. Apakah Winda benar-benar suka kepadaku?" saat muncul kata-kata 'Winda suka kepadaku' di pikiranku, Aku senang sambil tersipu malu. Kemudian Aku melakukan komunikasi dengan Winda via telepon. Di saat Aku mendengar suaranya pertama kali lewat telepon, suaranya indah dan manis. Begitu lembut lengkap menghiasi wajahnya yang cantik nan anggun. Jujur Aku tidak bisa berkata-kata saat mendengar suaranya Winda. Tercengang, kagum, serta banyak hal lain yang tidak bisa diungkapkan saat mendengar suara Winda lewat telepon. Di saat momen-momen yang indah ini, inisiatifku merangsang otakku untuk menimbulkan suatu pikiran. Lalu Aku pun berpikir untuk mengajaknya jalan-jalan pada suatu hari. Dengan tanggap dan rasa percaya diriku tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Aku mengajak Winda untuk 'Hang Out' pada suatu malam. Dia menerima ajakannku untuk 'Hang Out' pada suatu malam. Kemudian Aku pun menunggu malam itu tiba saat Aku 'Hang Out' bersama seorang bidadari kampusku.

Saat malam itu tiba di mana Aku akan 'Hang Out' bersama Winda, jujur Aku sangat gugup sekali. Tidak segugup saat Aku berjalan dengan Karin. Masalahnya Aku 'Hang Out' bersama seorang wanita tercantik di kampusku. Kemudian Aku pun bertemu dengan Winda dan langsung melanjutkan perjalanan ke taman kecil yang tidak jauh berada dari rumah Winda. Se-sampainya di taman Aku pun membelikan sebuah jagung hangat untuk kami berdua. Senyuman dari wajahnya kepadaku membuat Aku merasa senang dan nyaman berada di dekat Winda. Kemudian Aku dan Winda pun mencari bangku taman untuk duduk karena sudah lelah berjalan. Saat itu Aku buka perbincangan dengan Winda. Aku dan Winda saling menceritakan kisah cintanya satu sama lainnya. Mulai dariku yang begitu awamnya dengan perjalanan-perjalanan cintaku dan kejadian-kejadian yang menimpa diriku saat Aku berjuang bersama sebongkah hatiku. Saat Aku menanyakan bagaimana perjalanan cintanya, dia terdiam dengan ekspresi wajah yang menunjukan kesedihan. Kemudian dia menceritakan bahwa dia baru saja putus dengan pacarnya. Kemudian dia menangis tersedu-sedu di pundakku. Otomatis Aku pun kaget saat dia melakukan itu kepadaku. Jantungku berdegup sangat sangat cepat karena dia melakukan hal itu kepadaku. Lalu Aku mencoba untuk menenangkan Winda. Saat itu dia mengatakan bahwa dia merasa lebih nyaman jika Aku berada didekatnya. Aku berpikir dengan jantung yang berdegup sangat kencang "Apakah ini sinyal dari dia untukku agar menjadikan Winda sebagai kekasihku?" Saat jam menunjukan pukul 22.00 Aku mengajak dan mengantarkan Winda untuk pulang ke rumah. Sungguh malam yang indah dan nyaman bagiku bersama bidadari kampusku.

Setelah melakukan pendekatan selama dua bulan Aku pun secara langsung mengungkapkan perasaanku kepadanya. Saat Aku berada di kampus, Aku menemukan dia sendiri berada di kantin dan dengan sigap Aku langsung menghampirinya. Dengan memakai basa basi sedikit langsung saja Aku mengungkapkan perasaanku kepada Winda. Dia tersenyum kepadaku, semakin Aku penasaran bercampur gugup saat dia memberikan senyuman kepadaku. Pikirku dia akan menerimaku sebagai kekasihnya. Ternyata apa yang Aku pikirkan benar adanya. Dia menerimaku sebagai kekasihnya. Aku pun merasa sangat senang.

Kemudian kisah cintaku dari sini berlanjut...


~ (oleh @Damas_kecil)

Monday, 10 October 2011

#29: Epilog (pt 2)

"Pokoknya, buket bunga mawar ini—" Helen mengacungkannya padaku "—HARUS jatuh ke tangan KAMU!" Nerva, sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit, tertawa lepas.
"Siap-siap juga dengan pertanyaan 'kapan nyusul?'. And hence you don't bring your boyfriend, you'll need to explain his existence!"
"Sebenernya yang nikah siapa, sih?" keluhku. "Kok malah aku yang tertekan?"
Yeah, finally, Helen's wedding party!
Setelah lima tahun yang panjang dan melelahkan, Jared akhirnya berhasil merubah nama belakang Helen menjadi Brokepatth. Helen Brokepatth. Pernikahan antar bangsa memang terdengar keren. Tapi, aku, sebagai sahabat Helen yang membantu selama enam bulan terakhir untuk hari spesialnya, tidak setuju dengan pendapat itu! Aku bisa saja stress, tapi Helen dan Jared sangat serius menggarapnya.
Bagian paling mengharukan adalah ketika mereka berdua akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Helen menoleh pada kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca – sadar dia akan pergi jauh setelah ini. Dia akan tinggal di Bandung satu bulan lagi, dan selama itu pula, Jared akan membantunya untuk mengurus masalah kewarganegaraan.
Salut, miris, sedih, kagum... itu yang kurasakan. I mean, mungkin aku juga akan mengalaminya.
Tapi, hari ini, di resepsi pernikahan yang digelar di rumah Helen, perasaan-perasaan kelam dilarang masuk. Kedua pengantin mengonsep resepsi ini dengan garden party, karena halam belakang rumah Helen cukup luas dan menghadap city view kota Bandung serta pegunungannya yang indah. Dress code: white-thingy. Oke, nggak harus 100 persen putih juga, sih. Oh, dan Mitha yang merancang pakaian untuk pengantin dan para 'panitia' yang terlibat dalam acara.
Salah satunya aku. Ingat gaun yang Mitha kirimkan ke New York? Itu adalah contoh untuk gaun resepsi ini. Jadi, tidak jauh berbeda, hanya motif batik di pitanya yang diperkuat (dan untukku, gaunnya diukur ulang). Agar tidak terkesan sepi, aku juga memakai bando dengan motif batik yang hampir sama dengan pitanya.
"Simply gorgeous," puji Nerva, "tapi, sayang, cowoknya nggak ada." Errr!!!
Di tengah-tengah acara, Helen, yang memakai greek gown dan mahkota dari bunga forget-me-not, melangkah ke tengah taman bersama Jared di belakangnya yang sangat gagah dengan tuksedo putih. Para undangan berkumpul untuk memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Terutama para wanita.
"Siapapun yang menangkap buket ini," katanya dengan lirikan tajam padaku,
"harus menyusulku untuk menikah SECEPATNYA!"
Helen langsung melemparkannya ke tengah kerumunan para wanita yang heboh berlari dengan widgets dan high heels. Beberapa orang ikut berteriak – meramaikan suasana. Namun, entah karena takdir atau ada skenario, buket itu terlempar jauh ke arahku. Tanganku refleks menangkapnya – seolahkeduanya adalah dua kutub magnet yang berlawanan.
Tepuk tangan semakin riuh. Nerva menyeringai puas. Helen juga.
Duh.
"Bisa minta perhatiannya sebentar?"
Aku terkejut mendengar suara itu. Dari pintu yang menhubungkan rumah dan taman, kedua orang tuaku muncul bersama—EH? Kalau bukan karena tinggi badannya yang menjulang dan rambutnya yang kecoklatan...
"Ada yang ingin bertemu dengan putri sulung saya," kata ayah sambil melangkah ke arahku. "Oh, kebetulan sekali Dita yang mendapat buketnya!"
Ssh, I wish my father knew I don't believe in coincidence!
Terdengar beberapa siulan yang membuatku semakin malu. Terlebih lagi saat Adrian menjabat tangan ayah dan menyalami punggung tangan ibu sebelum menghampiriku, my cheeks are already BURNT!!!*
YA TUHAN, SKENARIO APA LAGI INI?!!!
Adrian mengulurkan tangannya padaku. "Bisa kita bicara?"

***


~ (oleh @erlinberlin13)

Sunday, 9 October 2011

#28: Enchanted

So, I've been thinking lately
That I should grow up, maybe start to show up on time
But, let's be real, baby
It's not the way that we work, so why waste the sunshine?
(Starlight – Tonight Alive)

Pesan yang Adrian sampaikan hanya jadwal keberangkatannya di JFK Airport pukul sepuluh lewat 12 menit. Namun, saat aku menelepon, ponselnya malah tidak diaktifkan. Wow, kami ternyata orang-orang yang senang bersikap dramatis!
Cuaca mulai hangat hari ini, jadi kuputuskan untuk memakai blazer, kemeja, dan scarf. Oh, plus beanie ungu pemberian Eris yang Ares berikan kemarin. Oke, ini menumbuhkan saru ide; pergi ke Branhworth Coffee mungkin bukan ide yang buruk sebelum menemui Adrian di bandara.
"Oh, hai," sapaku canggung begitu melihat Ares dan Eris mengobrol di konter.
"Eh, maaf kalau ganggu."
"No, it's surprising instead. Kita baru aja ngobrolin tentang kamu dan Adrian," sanggah Ares; tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau pergi ke bandara?"
"Iya, umh. Bisa pesen hazelnut coffee? Tapi, dikemas ke kap kopi," pintaku yang langsung disambut anggukan Eris. Dia terlihat senang mengetahui aku memakai beanie pemberiannya. Aku lalu teringat sesuatu, kemudian membuka tas untuk mengeluarkan kemeja bersejarahku.
Dahi Ares merengut dan saat Eris menyerahkan kap kopi, aku memberikan kemeja itu padanya. "Ini seharusnya disimpan seseorang yang lebih tepat."
Eris melirik ke samping dan Ares tersenyum padanya. "That's yours."
"Trims, Dita," katanya, lalu mengambil kemeja itu. "Umh, ngomong-ngomong, kopinya nggak usah dibayar."
"Eh?"
"We wish you luck," Ares menambahkan. "Tolong bawa kabar gembira setelah kamu bertemu dengan Adrian."
Aku menatap mereka bergantian. "Pasti, dan... terima kasih."
Karena tidak bisa berlama-lama di sana, aku pamit, dan naik taksi yang melintas di depan kedai. Lima menit pertama, jalanan masih lancar sampai, tanpa kuduga, kami malah terjebak dalam kemacetan luar biasa di New York.
Apa ada kecelakaan? Aku sudah pasrah begitu menatap arloji; menarik perhatian sang supir.
"Ada pertemuan penting?" tanyanya dengan aksen Spanyol yang kental.
"Emh, iya." Aku meringis was-was. "Nggak bisa nembus, ya?"
"Begitulah. Tapi, kalau jalan alternatif, saya tahu."
Supir itu kemudian membawaku dalam sebuah perjalanan seperti yang kulihat di film-film action ­– di mana polisi kota New York mengejar penjahat melewati jalan-jalan rahasia di kota ini. Aku berusaha menjaga kap kopi agar tetap aman dan isinya tidak tumpah. Sampai sepuluh menit kemudian, taksi secara mengejutkan berjenti tepat di depan JFK Airport.
"Sudah sampai," kata si supir santai.
Aku langsung memberinya uang – dengan sedikit bonus atas petualangan tadi. "Muchas gracias..." mataku membaca nama di kartu identitasnya "... Pedro."
Dia tersenyum padaku. "De nada, bella."
Selanjutnya, aku berlari masuk ke bandara dengan tangan kanan memegangi kap kopi dan tangan kiri memegangi ponsel. AH, SIAL! KENAPA AKU HARUS LUPA MENGISI BATERAINYA DULU?!! Baterainya low dan mati dalam waktu yang singkat.
Jadi, aku harus memeriksa di mana Adrian berada dalam waktu kurang dari 15 menit! Belum lagi, bandara ini terlalu ramai dan sibuk, menyulitkan tubuh mungilku untuk melihat setiap terminal keberangkatan.
"ADRIAN CHOIIII!!!!" Aku berteriak dan frustasi memanggil-manggil namanya di tengah kerumunan orang yang lalu lalang. Kenapa dia jadi mempersulit keadaan saat aku akan memberinya jawaban? "ADRIAAAN!!! K—"
Seseorang menyambar tangan kananku. Kepalaku langsung menoleh.
Senyum itu...
"Jangan malu-maluin!" Alisnya terangkat begitu menghirup aroma dari kap kopi yang kubawa. "Hazelnut coffee?"
"Kamu pikir?" sahutku dengan suara bergetar.
Dengan waktu sesingkat ini, aku berusaha untuk mengabaikan basa-basi ala drama Korea atau film romance. Ini realitanya – aku kehilangan semua kata dalam kepalaku begitu menatap Adrian. Seperti dibekukan.
Aku mendesah frustasi. "In the past two days, I retraced my past. Sebuah kejutan bagiku untuk mendapati mereka sudah menemukan pasangan yang tepat. Jujur, rasanya aneh ditinggal sendirian seperti ini. Aku juga sudah terlalu lelah menghadapi drama-drama yang melibatkan banyak perasaan."
Adrian berdiri di hadapanku. "Well, then, have you found the answer?"
Aku bisa saja menangis kesal begitu mendengar penerbangan menuju Ohio akan segera berangkat. Tapi, begitu Adrian meraih dan menggengam tanganku, waktu tiba-tiba melambat. Waktu seolah memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.
"Adrian," ujarku dengan mata memanas, lalu susah payah mengangkat tangan dan menempelkan telapak tanganku di dada kirinya, "is there any place for me?"*
Perlahan, senyumnya mengembang. "It always belongs to you, Dita."
"So, there's no hesitate." Aku membalas senyumnya. "I belong to you."
Detak jantungnya berpacu semakin cepat ketika Adrian menundukan kepalanya dengan salah satu tangannya memeluk pinggangku. Tanganku mencengkram pundaknya dan, dalam satu detik, aku merasakan bibirnya mencium bibirku. Manis dan hangat.
Keriuhan di bandara seolah menghilang – meninggalkanku dan Adrian bersama aroma hazelnut coffee yang menguar di sekitar kami. I fill that empty glass. I rely on his heart.
Tapi, sayangnya, aku tidak bisa membiarkannya terlalu lama. Namun, Adrian mengakhirinya dengan lembut. Telapak tangannya yang besar dan kokoh menangkup wajahku.
"I love you," katanya dengan sorot mata yang hangat – sehangat hazelnut coffee yang kubawa untuknya. "Will always do."
"I love you too," sahutku, "and, please, come back soon."
Adrian tertawa sejenak, kemudian memberiku ciuman di kening sebelum pergi.
Rasanya berat, berat sekali. Tapi, aku tahu perpisahan ini adalah sebuah permulaan yang baru. Dan ketika jemari kami yang bertaut akhirnya saling melepas, kami tahu, ada dua hati yang baru saja bersatu.

I could make you happy, make your dreams come true
No, there's nothing that I wouldn't do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love
(To Make You Feel My Love – Kris Allen)

***

~ (oleh @erlinberlin13)

Aku Dirimu Dirinya : Cinta Takkan Salah (Tamat)

Sudah hampir dua minggu ini aku tidak berkomunikasi dengan Galang secara sehat. Maksudnya? Sejak malam itu kita menjauh, komunikasi tidak sehat mulai terjadi dengan beradu status di media sosial. Awalnya aku mengikuti situasi perang dingin ini tetapi akal sehatku mengatakan sudahlah lebih baik aku mengalah, biarlah Galang melakukan apa yang dia mau. Mungkin ini salah satu cara dia mengobati kekecewaannya terhadap aku.
Seminggu kemudian aku mendengar dari temanku yang juga mengenal Galang, dia bilang kalau Galang baru saja jadian di cewek yang pernah dia ceritakan kepadaku. Aku bahagia mendengarnya, sampai suatu hari temanku mengatakan bahwa Galang bercerita kepadanya bahwa dia jadian dengan cewe itu karena aku yang memintanya. Mau kamu apa sih Galang? Aku mulai lelah menghadapimu.
***
Sebuah miscall muncul di handphone aku dari nomor yang tidak aku kenal, tak lama kemudian nomor tersebut kembali menghubungi.
"Tasya…."
"Mmmmm, Galang ya? Kamu pake nomor siapa?"
"Iya Sya, aku pake nomor mama aku. Handphone aku di Siska"  Siska adalah cewek yang waktu itu Galang ceritakan kepada aku bahwa dia sedang dekat dengannya.
"Eh iya, katanya udah jadian ya sama Siska. Selamat ya Galang, aku ikut seneng"  dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar senang tetapi Galang berpikir lain.
"Kamu beneran seneng?" Galang memastikan perasaan aku.
"Iya aku seneng… Eh iya, handphone kamu beneran sama Siska? Kenapa begitu?
Aku ajukan pertanyaan itu karena sejujurnya aku merasa heran. Yang aku tahu, Galang tidak bisa lepas dari handphonenya dan dia tidak suka jika handphonenya diperiksa orang lian bahkan oleh pasangannya. Pernyataan Galang tentang keberadaan handphone sekarang ada di Siska membuat aku benar-benar heran.
"Iya, Sya. Siska bawa pulang handphone aku. Itu makanya aku ngga ngehubungin kamu. Siska cemburu banget sama kamu"
"Cemburu?? Kamu cerita apa ke dia sampe dia begitu?"  aku mulai tidak merasa nyaman dengan keadaan ini.
"Aku cerita semuanya Sya.." Galang terdiam, lalu menyambung kalimatnya dengan kalimat yang sebenarnya aku sudah mendengarnya "aku jadian sama Siska karena kamu".
Aku coba memahami Galang, namun aku juga tidak mau Galang seperti itu ke Siska "Galang,kamu ngga boleh gitu. Kalau pun kamu jadi sama Siska itu bukan karena aku tapi karena kamu cinta sama dia. Jaga dia ya, jangan suka ilang-ilangan karena ngga semua cewe sekuat aku ngadepin kamu yang suka ilang-ilangan" Aku mencoba menitipkan pesan kepada Galang.
Obrolan ini mengalir walaupun sesekali Galang meminta aku menanyakan tentang Siska. Aku alihkan pembicaraan mengenai persiapan pertunangan aku karena saat ini aku sudah menganggap Galang adalah sahabat aku. Ternyata Galang belum bisa menerima itu, saat aku menyebut-nyebut nama Randi, Galang menjadi marah dan minta aku untuk tidak menyebut-nyebutnya lagi.
" Ngga bisa gitulah lang, Randi itu calon suami aku. Masa aku ngga boleh sebut-sebut nama dia." Aku yang tidak terima Galang seperti itu.
"Cukup ya Sya, kamu pasti paham gimana perasaan aku ke kamu dan aku ngga suka kamu nyebut-nyebut nama dia" kalimat terakhir Galang sebelum mematikan telponnya dan mulai saat itu aku tidak bisa menghubungi dia dan dia tidak menghubungi aku lagi. Bahkan dia menghapusku dari bbm nya.
***
Aku tidak pernah mengerti apa yang terjadi antara aku dengan Galang. Kita memulai semuanya dari pertemanan, menjalin cinta, putus, menghilang sampai muncul kembali dan mencoba menjalin cinta namun gagal. Bahkan saat aku sedang bersiap mempersiapkan hari bahagia aku, Galang mendadak muncul, membuka kisah lama, mengungkit hal-hal yang aku pikir sudah selesai.
Saat aku ingin menyelesaikan hal-hal yang tertunda itu keadaan malah membuat kami menjadi dekat. Aku tawarkan pertemanan kepada Galang, namun dia tolak. Masih ada penantian yang dia tawarkan untuk aku, masih ada janji-janji manis yang coba dia tawarkan. Sampai akhirnya apa yang harus aku selesaikan dan tegaskan kepada Galang belum terucapkan.
Waktu terus berjalan, kali ini benar-benar sudah tidak ada komunikasi antara aku dan Galang dan tak ada lagi perang-perang status di media sosial lagi. Aku fokus kepada persiapan pertunangan aku tanpa ada gangguan lagi.
Seminggu lagi adalah hari pertunangan aku dengan Randi. Segala persiapan sudah dipastikan siap. Namun di dalam diriku sepertinya masih ada yang masih ngambang dan harus aku selesaikan.
Aku sangat mencintai Randi, itu jelas dan aku sudah siap untuk menjadi pendamping hidupnya. Lalu Galang, dia salah satu masa lalu aku yang masih terus membayangi aku. Ada yang berbeda dengan Galang tampaknya. Melihat dan menyadari perjalanan yang ada, aku percaya kalau aku dan Galang hanya cocok saat menjadi teman bukan pasangan. Galang harus tahu itu juga agar dikedepannya aku dan Galang bisa benar-benar tenang menjalani hidup dengan pasangan masing-masing tanpa ada rasa terganggu.
Aku juga ingin meluruskan hal yang terjadi 4 tahun lalu mengenai proses berakhirnya hubungan aku dengan Galang. Malam ini sudah aku bulatkan tekad untuk mengirimkan pesan pendek ke ponselnya karena aku tidak tahu harus menghubunginya kemana. Isi pesan pendek itu
"Galang, aku ngga tahu bagaimana menghubungi kamu. Semoga pesan ini kamu terima dan bisa kamu baca. Galang, hari ini merupakan H-7 menuju pertunangan aku, aku ingin semuanya jelas. Kalau 4 tahun yang lalu kamu berpikir aku yang berpaling itu hak kamu tapi saat itu keadaannya kamu menghilang dan aku harus move on. Tetapi kalau kamu tetap bilang itu salah aku, aku minta maaf. Aku mau kita anggap urusan itu selesai. Kita mulai dari pertemanan dan kita bisa berteman lagi selama kita bisa sama-sama menghormati pasangan kita masing-masing. Aku yakin kamu mengerti ya Galang, salam untuk Siska"

Pesan itu dikirim, aku tidak pernah berharap pesan itu dibalas. Aku hanya ingin semuanya menjadi jelas dan aku bisa dengan tenang memulai hidup aku yang baru tanpa harus ada Galang yang muncul ditengah hubungan aku lagi.
Tengah malam Galang menelpon aku, "aku udah terima pesan kamu. Okey Sya kalau kamu mau semuanya selesai. Aku yang harusnya minta maaf dan aku salut sama kamu karena kamu bisa tegas mengambil keputusan. Selamat bahagia ya Tasya. Aku akan selalu sayang kamu sampai kapan pun"
Aku yang sudah dengan tekad bulat berjanji demi cintaku kepada Randi, aku tidak akan tergoda lagi oleh Galang, inilah jawaban aku "iya Galang, ini ujung dari perjalanan panjang kita. Terima kasih Galang untuk perjalanan panjang ini dan doa untuk kebahagiaanku, kamu juga bahagia ya dengan pasanganmu. Galang, yang mesti kamu ingat…Cinta takkan salah." dan berakhirlah telpon tersebut.
------------------------------ TAMAT-----------------------

Aku dirimu dirinya
Tak akan pernah mengerti
Tentang suratan
Aku dirimu dirinya
Tak resah bila sadari
Cinta takkan salah
(Aku Dirimu Dirinya – Kahitna)



~ (oleh @nongdamay)

Saturday, 8 October 2011

#27: Broken Glass (pt 2)

"Ini mungkin terdengar berlebihan, but, there's a possibility he's your Mr.Right, Dita," Ares melanjutkan. "Dua tahun menunggu, kamu berpikir perasaannya akan terkikis. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya – tumbuh semakin besar dan kuat. Apalagi begitu melihat kesakitan kamu saat itu, aku yakin hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah melindungi kamu. And he offers you something: happiness."
Jeda sejenak; Ares beranjak dari kursinya untuk membuat segelas susu cokelat yang baru. setelah pemaparan panjangnya tadi, pikiran dan hatiku terbuka. Tapi, juga ada sesuatu yang ganjil terasa. Bukan, ini bukan hanya tentang Adrian. Ini tentang psikolog yang baru bicara tadi dan kembali dengan menyodorkan segelas susu cokelat padaku.
"Ar..." kepalaku tercondong ke arahnya "... kamu... kenapa bisa sepeka itu? I mean, you've changed. You suddenly care to someone else's feeling."
Dia sempat bergeming, sebelum kemudian tertawa sambil menggaruk kepalanya.
Salah tingkah. "Well, have I? Kalau kamu pikir begitu, well, aku berhasil. I mean, someone has just unlocked my heart."
"Someone?" Mataku memicing semakin curiga. "Eris?"
"Ah!" Ares tergelak semakin keras dan aku sempat melihat pipinya bersemu. Dia memalingkan wajah ke samping, terbatuk-batuk kecil, sebelum kembali menatapku. "Kurang lebih."
"KALIAN KENCAN, KAN?!" todongku tanpa basa-basi. Dia hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang berarti ya. "Arghh!!! Kalian jahat! My boys from past are dating and leaving me alooooooone!!!*"
"Woo, tunggu, tunggu," potong Ares cepat. "Kita, maksudku aku dan ex massive crush kamu itu, justru berharap dengan ini bisa membuat kamu lebih mudah untuk maju dan mendapatkan seseoarang yang lebih pantas. Tapi, ya,ternyata kamu melangkah selam—AW!"
Aku menyentil lengannya. "Kenapa kamu yakin Yudika berpikir seperti itu? Karena dia pacaran sama Momo, huh?"
"Hei, meski aku dan dia nggak punya hubungan yang baik, tapi kita memutuskan hal yang terbaik untuk kamu. Dia termotivasi dariku untuk merespon orang yang lebih peduli dengannya, sementara aku melepas kamu karena tidak bisa mencintai kamu sepenuhnya." Ares mengambil jeda dan menatapku lebih serius.
"Tapi, kita punya satu tujuan: to see you happy with the right person."
Kepalaku tertunduk. Semua yang terjadi di antara kami berputar dan aku seolah-olah menjadi porosnya. I met them, I feel for them, then I separated. Tapi, mereka malah belajar dari perjuanganku dan akhirnya  menemukan seseorang yang tepat.
"Seharusnya, ini jauh lebih mudah untuk kamu, Dita. tapi, ya, aku tahu hati seorang wanita itu mudah pecah seperti gelas," paparnya. "Dan kamu tidak bisa menggunakan gelas yang sudah retak, nanti airnya merembes. Kamu butuh gelas baru untuk menampung air itu. You need a new heart for your love."
Mata kami beradu dan Ares memberiku satu tatapan akhir yang semakin membuatku yakin dengan keputusanku.
"Uh, ini kotak apa?" Ares beranjak dari kursi dapur dan mengambil sebuah kotak yang terletak di atas TV. Aku hanya bisa menelan ludah saat dia membukanya. "Wow, wait, ini foto-foto kamu, ya? Hadiah ulang tahun?"
"Umh, menurut kamu?" Aku memalingkan wajah saat dia menaruh kotak itu di atas meja dan membongkarnya. Ares terkekeh dan senyuman gelinya mengembang.
"Apanya yang lucu?"
Kepalanya mengangguk beberapa kali. "Adrian, huh?! Seriously, Dita, don't let this guy go away from your life."
"Who—" Bola mataku berputar. "Terserah."
"Iya, iya, aku maklum kamu terlalu gengsi untuk mengakuinya," goda Ares sambil menata kembali foto-foto itu ke dalam kotak. "But, I can see you will come to him. Filling his empty heart."
"Kamu..."
Kami saling bertatapan, sebelum tertawa lepas. Mengawali hubungan kami yang baru sebagai teman. Iya, akhirnya aku memanggil Ares sebagai seorang teman.

***

~ (oleherlinberlin13)

Chemistry: 16

You should marry him part 3


L E A H


Ibu tidak setuju dengan hubunganku. Hubungan kasih antara aku dan Adrian. Bukan tidak setuju. Belum setuju.
"Aku akan ikut kemanapun kamu pergi." Begitu kataku pada Adrian pagi itu.
"Will you do that?"
Aku mengangguk. Aku yakin.
"Aku gak terburu-buru. Kita pasti bisa melewati ini semua. Dan mendapatkan restu ibumu."
Senyum. Dan genggaman tanganmu. Aku akan merindukannya. Akan sangat merindukannya.


A D R I A N


Leah pergi. Bukan untuk meninggalkanku. Dia ingin mengejar mimpinya. Melanjutkan kuliah. Travelling.
"Cuma setahun atau dua tahun ini kok, sayang. Boleh kan?" Begitu pintanya padaku. Aku tak bisa menolak. Akan kuikuti kemauannya selama dia bahagia.
"Iya. Pergilah." Aku menguatkan pelukanku. "Aku takkan melarangmu. Nikmati waktumu. Beri aku waktu untuk menjemputmu. Waktu untuk ibumu dan restu dari beliau." Kurasakan baju di bagian bahuku basah. Leah-ku menangis. Aku memeluknya semakin erat.


"Lakukan satu hal untukku. Mau?"
"Apa itu?"
"Tetaplah disitu. Jangan jauh-jauh dariku." Leah-ku meminta sesuatu yang mustahil.
"Aku takkan kemana-mana. Kamu tahu dimana mencari aku. Di hatimu." Kukecup keningnya. Dia suka sekali. Lalu, punggungnya menjauh. Tapi aku tahu takkan pernah lama. Dia takkan pernah jauh dariku. Dia akan selalu untukku.


"Tunggu aku disitu, Leah. Genggam hatiku erat-erat." Kutitipkan pesan lewat angin yang bertiup lewat.




~ (oleh @WangiMS)

Thursday, 6 October 2011

#25: Untouched

I feel so untouched
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)


Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Kisah Yang Salah

"Tasya, sebenernya aku lagi deket sama cewek nih"  akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Galang setelah aku terus menanyakan tentang keadaan dia saat ini. Malam ini, Galang kembali menelpon aku lagi untuk kesekian kalinya.
"Wah, bagus dong…terus,gimana ceritanya?" spontan aku merespon pernyataan Galang tentang kedekatannya.
"Ya gitu deh Sya, baru banget ngedeketinnya. Nanti aku bbm-in ke kamu deh fotonya" lanjut Galang.
"Iya..iya…pasti cantik deh. Semoga segera jadi ya" aku senang mendengar berita ini.
"Kok kamu malah seneng sih?" nada suara Galang berubah.
Aku yang tidak menyadari perubahan nada suara Galang, tetap menjawab dengan nada senang "iya dong senang, kan akunya mau nikah terus kamunya bentar lagi mau punya cewek. Jadi nanti kita akan bahagia sama-sama deh."
"Tasya….bahagia aku itu ya sama kamu…." Satu kalimat Galang yang membuat keadaan menjadi hening.
"Galang, kamu kok gitu sih? Kamu kan tahu aku punya Randy dan kami sebentar lagi akan menikah" akhirnya aku membuka suara memecah keheningan ini.
"Seandainya 4 tahun yang lalu kamu bisa lebih sabar nunggu aku, pasti jalan ceritanya ngga kayak gini." Jawaban Galang cukup mengejutkan aku.
Galang kembali mengungkit apa yang aku kira sudah selesai. Galang menyalahkan diriku yang tidak sabar menunggu dirinya yang hilang untuk kembali lagi dan membuka hatiku untuk Randy. Kejadian 4 tahun yang lalu itu ternyata masih dipermasalahkan oleh dia.
Berarti masih ada hal yang belum terselesaikan antara aku dan Galang kalau begini keadaannya. Ini harus diselesaikan sebelum hari pernikahan aku tiba. Aku mengkomunikasikan hal ini kepada Randy. Randy sepakat dengan diriku bahwa aku harus menyelesaikan dan meluruskan keadaan ini. Atas izin Randy aku menemui Galang.
***
Jumat sore di sebuah mall daerah Senayan. Aku yang memilih tempat, aku memilih di sebuah sudut café yang suasanannya kondusif untuk berbicara serius.
"Tasya…." Satu kata yang keluar dari mulut Galang saat bertemu dengan aku. Kemudian Galang menuju diriku yang sudah lebih dulu sampai. Aku berdiri, mengulurkan tanganku. Galang menyambut uluran tanganku dan… mengecup keningku.
"Galang….!!!!" Aku terkejut dengan kecupan itu tapi entah mengapa hatiku merasa ada sesuatu, tampaknya suatu kerinduan.
"Eh iya maaf Tasya…maaf ya..aku lupa. Soalnya biasanya kan kalau ketemu kamu aku kecup kening"
Seharusnya aku marah terhadap apa yang Galang lakukan tapi seperti ada yang menahan aku untuk tidak marah.
Akhirnya aku dan Galang larut dalam obrolan, obrolan yang berbahaya yaitu mengenang kembali apa yang dulu pernah kita berdua lalui. Hal yang sudah aku siapkan untuk aku bicarakan pun menguap begitu saja, aku tidak jadi menyelesaikan hal yang harus aku selesaikan.
Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam di café ini dan aku pulang tanpa membawa hasil. Hasil untuk meluruskan hal yang dipermasalahkan oleh Galang. Malamnya kami melanjutkan obrolan di telpon , dan malam-malam selanjutnya pun kita lewati dengan ngobrol di telpon.
***
Hari demi hari, aku dan Galang semakin dekat. Aku sadar bahwa hari pertunangan aku semakin dekat, sahabat-sahabat aku juga sudah mengingatkan agar aku tidak melakukan hal bodoh. Tapi yang ada aku terus berhubungan dengan Galang.
Kedekatan yang membuat kita merasa saling memiliki satu sama lain, kedekatan yang menurut aku sudah tidak wajar namun aku menikmati keadaan ini. Walaupun aku tahu semua yang aku lakukan ini salah. Sampai disuatu obrolan yang mengubah keadaan.
"Kalau aku yang ngelamar kamu duluan gimana Sya" satu kalimat lagi dari Galang yang sangat mengejutkan aku.
"Galang…aneh-aneh deh. Eh, gimana sama cewe yang kamu deketin? Kok ngga ada kabar lagi?" aku coba mengalihkan pembicaraan.
"Udah deh, ngga usaha bahas itu ya Sya, Kayaknya itu cewe ngga mau sama aku." Galang enggan membahas tentang hal tersebut, dia lebih senang membahas dia dan aku.
"Udahlah Galang, ngga usah gitu… akunya udah mau tunangan loh"
"Tapi kan belum nikah…." Galang terus berusaha menggoyangkan keyakinan aku kepada Randy.
Aku yang selama ini terbawa oleh keadaan, aku yang mencoba membuka kesempatan kepada Galang untuk berteman lagi dengan aku tidak bisa terima kalimat Galang tadi, apalagi saat dia mengucapkan "aku bakal terus nunggu kamu ya Sya".
Aku marah karena Galang sudah tidak menghargai aku dan hubungan aku dengan Randy. Aku ngga suka Galang ngomong seperti itu. "Kalau kamu masih belum bisa terima keadaan ini dan belum bisa ngehargain aku dan Randy, kita ngga usah temenan aja ya." Itu kalimat terakhir aku kepada Galang.
Mulai malam itu perlahan aku dan Galang mulai menjauh, dimulai saat aku mengganti foto bbm aku berdua dengan Randy, Galang ikut mengganti dengan foto berdua cewe yang waktu itu enggan dia bahas. Tidak ada lagi bbm atau telpon di malam hari.
Semua berakhir, kedekatan aku dan Galang beberapa waktu kemaren merupakan kisah yang salah. Agak sedikit menyakitkan saat kita dekat berusaha untuk menjadi teman namun ada kesalahan dalam prosesnya dan sekarang harus kembali menjauh. Saat semuanya selesai harusnya aku senang, tenang dan bahagia karena tidak ada lagi krikil penghambat persiapan pernikahan aku. Tapi…ah sudahlah, ini kisah yang salah yang harus diakhir.
To be continue
akhirnya kita ada
di akhir yang menyakitkan
kusadar kita telah melangkah
terlalu dalam...
(Kisah Yang Salah – Glenn Fredly)




~ (oleh @nongdamay)