Warung Bebas

Wednesday, 12 October 2011

Chemistry: 18 (the End)

How's life? (Epilog part 2 : The End)

L E A H

Perutku  sudah semakin membesar. Membulat. Aku sendiri yakin bahwa  tak bakalan bisa berjalan jauh. Berbalut long coat selutut dan sepatu boot, kuputuskan untuk berjalan menyusuri trotoar kota Hamburg. Musim gugur. Tapi, cuaca sudah tak menentu. Tak baik bagi kandunganku yang telah menginjak bulan kedelapan.

Pagi ini, jalanan lengang. Tak banyak orang melintasi trotoar sepagi ini. Tapi, buatku ini adalah rutinitas pagi hari. Jalan – jalan pagi. Kuarahkan  sepasang kakiku ke arah taman di tengah kota. Setelah membidik sudut taman yang rindang, aku duduk. Mengelus perutku dua kali. Sembari menunggu.

Menunggu dia. Dia yang dulu. Decitan suara rem sepeda. Sosok jangkung mendekatinya.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Dan pelukan rindu sepasang teman lama. Erat.

J A M E S

Aku ada janji temu dengan kawan lama. Terlampau lama tak bertemu dengannya. dan dia masih saja cantik. Memukauku. Beruntunglah Adrian, lelaki, yang menikahinya, dan membuatnya hamil serta berjalan dengan susah payah seperti itu.

Mungkin memang begini takdirnya. Paling tidak aku sempat membuatnya tersenyum bahagia. Meski hanya sekedar menjadi teman.

"Apa kabar, gadis cantik?" Aku mendongak. Tersenyum. "Hey, long time no see."

Kupelak erat Leah. Leah-ku.


~ (oleh @WangiMS)

#30: Epilog (pt 2) #Tamat

Adrian H. Choi tidak memberiku kabar selama tiga bulan terakhir.
Well, di tiga bulan pertama, hubungan kami baik-baik saja. Dia sering mengabariku lewat email dan meneleponku di akhir pekan. Bahkan, satu minggu sebelum aku pulang ke Indonesia, dia sengaja datang ke New York untuk menemaniku.
Tapi, setelah itu...
"AW—Oke! Tenang!" Adrian menahan tanganku yang semakin membabi buta memukuli pundaknya dengan buket bunga. "Nanti buketnya rusak—"
"KAMU LEBIH PEDULI SAMA BUKETNYA?"
"Sst!" Adrian menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Tenang, please?"
Kami memilih tempat yang agak jauh dari taman. Kami berdiri di tepi padang rumput luas yang menyuguhkan pemandangan kota Bandung di bawah dan pegunungan dengan siluet jingga keunguan dari matahari sore. Namun, semilir angin Januari yang menerpa kulitku tetap dingin.
Adrian mendesah, lalu melepaskan jas putihnya, dan memakaikannya pada bahuku yang telanjang. "Kamu mau aku cerita dari mana?"
"Kamu sebenernya kuliah di mana, sih?" Todongku langsung tanpa basa-basi. "Setiap kali ditanya pasti nggak pernah direspon!"
Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan menyodorkannya padaku. Kukira, itu kartu—EH? Kartu Tanda Mahasiswa.
UNIVERSITAS INDONESIA! Jurusan JURNALISTIK. Kepalaku menoleh padanya.
"A-Ad?"
"Salah satu rektor universitas membaca artikel interview aku dengan kamu dan mencari informasi tentangku," paparnya santai. "Pendekatannya memang lama, tapi dengan tawaran beasiswa dan pekerjaan yang menjanjikan, aku nggak bisa nolak. And there's a BIG chance for me to meet you in the same country."
YA AMPUUUN! "Jadi, selama tiga bulan ini sebenarnya kita berada di PULAU YANG SAMA?!" Aku hanya melongo saat Adrian menganggukan kepalanya. Kembali,
aku memukul pundaknya dengan buket bunga. "JAHAAAAT!!! Dan... orang tuaku..."
"Nah, aku sempet ketemu ayah kamu di pertemuan orang tua para penulis. Ingat?" Kepalaku terangguk. Ayah diundang penerbit novelku ke Depok dua bulan yang lalu untuk pertemuan itu. "Waktu tahu ada ayah kamu, aku langsung kenalan dan bilang kalau aku... pacar kamu."
Tanganku terlipat di dada. "Kamu sinting."
"Hei, tapi ayah kamu menyambut dengan baik! Dia melayani interview-ku, makan siang bersama, dan... sebenarnya ayah kamu yang merencanakan pertemuan ini." Seringainya muncul. "You have such a great parents and cute sister."
Aku meringis kesal. "Hah, dan nggak ada yang ngasih tahu aku!"
"I save you the last for the best," katanya dengan tatapan yang dalam yang membekukan. "Aku serius dengan hubungan ini, Dita. Selama kuliah, aku belajar tentang Indonesia. Besar kemungkinan, setelah kuliah, aku akan benar-benar bekerja di sini. Aku juga akan mengajukan permintaan naturalisasi."
Mataku menyipit – apa dia sedang mabuk? "For what sake?"
"For you, what else? Aku sudah lelah menghadapi drama-drama itu lagi di Amerika." Tangannya mengelus rambutku. "Begitu menginjakkan kaki di tempat kelahiran kamu, I suddenly know why you always bring a peace for me."
Kepalaku menggeleng tidak percaya. "Aku nggak tahu harus bilang kamu nekat atau gila."
Adrian terkekeh; telapak tangannya menangkup wajahku. "\*I will do everything for you as long as you keep staying by my side. We're gonna chase our dreams here. Together."
Air mataku meleleh. Di kota ini, Bandung – kota di mana aku dilahirkan, Adrian datang dan mengorbankan semunya untuk mewujudkan keinginanku untuk menghabiskan sisa hidup kami di sini. Apa lagi yang bisa kuharapkan selain hidup bahagia bersamanya?
Kemudian, Adrian mendekapku erat. Sebuah dekapan yang kembali menghantarkan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama aku rindukan. Cukup, Dita, cukup dengan semua drama itu! Adrian memang bukan pangeran berkuda putih. Dia lebih dari itu!
"Jadi, kita harus menyusul secepatnya?" tanya Adrian sambil merapikan rambutku dan melirik buket bunga itu. "Kapan?"
Aku tersenyum dan menepuk manja pundaknya. "Selama ada kamu."
Sayup-sayup, aku mendengar Jared berseru dan mulai menyanyikan sebuah lagu; Endlessly. Adrian tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
"A-Apa?" tanyaku gugup. "Dansa?"
"Have heard He is We's song called All About Us?*" tanyanya dengan alis terangkat. "They said, 'lovers dance when their feelin' in love'. So, shall we? Because, I believe you can."
Aku merengut sebal, namun entah kenapa tanganku malah menyambut tawarannya.
Adrian memeluk pinggangku dan salah satu tangannya yang lain menggenggam tanganku bersama buket bunga. Melihat ini, aku hanya bisa tersenyum geli.
"Anggap ini rehearsal untuk pernikahan kita," bisiknya lembut. "Well, I can't hardly wait to introduce you as Mrs.Choi."
Aku tertawa kecil. "Kita bisa latihan untuk itu juga sekarang."
Adrian ikut tertawa, sebelum memberiku ciuman mesra di kening.
Oke, ini benar-benar sudah berakhir, kan? Karena aku ingin istirahat bersama Adrian sekarang.

And there's no guarantee, that this will be easy
 It's not a miracle you need, believe me
Yeah, I'm not angel, I'm just me
But I will love you endlessly
Wings aren't what you need, you need me...
(Endlessly – The Cab)

***
TAMAT


~ (oleh @erlinberlin13)

Sebuah Pelajaran Yang Berharga #Tamat

Dua bulan Aku menjalin kasih dengan Winda. Sungguh Aku masih belum menyangka karena bisa mendapatkan dan menjalin kasih dengan wanita tercantik di kampusku. Sejauh ini hubunganku dengannya baik-baik saja walaupun ada batu-batu kecil yang menghalangi di perjalanan cintaku dengan Winda. Banyak rintangan yang menerjang hubungan kami berdua. Tapi bagiku, apapun rintangannya yang menerjang hubunganku dengan Winda tetap Aku dengan tenang dan sabar.

Pada suatu saat di bulan ke-3 hubunganku dengan Winda, Aku merasakan hal-hal yang mengganjal di antara Aku dan Winda. Dia tidak membalas messenggerku maupun menjawab telepon dariku. Terus saja Aku melakukan kontak dengan Winda. Saat Aku menemuinya di kampus, dia spontan saja menghindariku. Dibingungkan dengan sikap Winda kepadaku, Aku menelusuri apa yang sebenarnya terjadi dengan Winda dan hubunganku dengan Windanya sendiri. Aku berusaha mencari tahu dengan apa yang terjadi antara kita berdua. Ternyata saat kutelusuri lebih lanjut, dia sudah mempunyai pacar baru. Sungguh saat Aku mengetahui itu hatiku langsung hancur berkeping-keping. Kesal, sedih, dan emosi-emosi yang lain meracuni hati dan pikiranku. Saat itu Aku langsung tidak melakukan kontak lagi dengan Winda dan tidak akan menemuinya lagi saat di kampus karena betapa emosinya diriku saat mengetahui Winda sudah mempunyai kekasih selain Aku. Aku merasa dikhianati olehnya dan berpikir betapa bodohnya Aku menjalin kasih dengan wanita yang sudah mengkhianati hatiku. Sampai suatu saat Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Winda dan memberitahukan kepadanya bahwa hubungan kita berakhir. Tak ada respon darinya. Sungguh Aku kesal dan emosi yang tinggi akan sikap dari Winda itu. Namun Aku pun berpikir lagi dengan sikapku yang terlewat emosi tidak seperti Aku yang biasanya. "Buat apa Aku sesali hubunganku yang denga Winda kalau itu semua sudah terjadi, biarkan itu berlalu dan jadikanlah sebuah pelajaran." Kemudian Aku pun mencoba melupakannya dengan cara apapun.

Empat bulan berlalu saat berhubunganku dengan Winda berakhir. Aku terus mencoba melupakan kenangan-kenangan terindahku saat menjalin hubungan dengan Winda. Awalnya sulit untuk melupakannya, tetapi mau tidak mau Aku harus melakukan itu karena Aku tidak mau terus larut dalam kesedihan akan perjalanan cintaku. Saat itu Aku belum merasakan trauma akan cinta, termasuk saat cintaku dengan Winda yang kandas karena dia telah mengkhianatiku. Aku terus berjuang dengan sebongkah hatiku, mencari cintaku yang sesungguhnya.

Waktu yang panjang dan lama untuk mencari dan terus mencari cintaku. Tujuh bulan Aku berjuang dengan sebongkah hatiku melakukan perjalanan cinta yang panjang untuk mencari seseorang yang mau menerima cintaku apa adanya. Tetapi di sepanjang perjalanan cintaku, tidak ada satupun yang menerima perasaan cintaku kepada mereka. Di sepanjang perjalanan cintaku selama tujuh bulan ini, lima wanita menolak cintaku dengan alasan yang berbeda-beda. Sungguh perjalanan dan pengalaman cinta yang sangat buruk dan menyakitkan untukku. Hatiku yang tak kuasa menahan rasa sakit akan cinta dan menjerit-jerit di dalam jiwaku. Aku pun turut larut dalam kesedihan karena cinta bersama sebongkah hatiku. 

Aku mulai frustasi karena cinta. Cinta membuat hidupku berantakan, tak terkendali, dan hal-hal lain yang merusak pikiran dan jiwaku. Apalah arti perjuangan cintaku selama ini? Yang ada hanyalah membuang-buang waktuku saja. Keputusasaanku mengacaukan pikiranku ini, sampai hingga suatu saat Aku berniat ingin bunuh diri hanya karena cinta terlebih karena belum mendapatkan seorang wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi hatiku berbicara sesuatu tentang pengalaman cintaku selama ini. Mungkin ini jalan terbaik yang diberikan oleh Tuhan kepadaku supaya Aku akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang Aku alami saat berjuang untuk mendapatkan cinta sejati. Buat apa Aku bunuh diri hanya karena cinta? Aku masih mempunyai Tuhan, keluarga yang mencintaiku apa adanya, teman yang setia denganku, dan banyak lagi orang-orang terdekatku yang masih memperhatikan dan peduli terhadapku. Pikiran yang dewasa ini membuatku tersenyum kembali dan membangkitkan semangatku agar tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Sekarang Aku sudah bisa berpikir jernih dan lebih dewasa tentang cinta. Hatiku sudah tujuh kali lebih kuat dari sebelumnya karena Aku sudah mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Aku pun sudah banyak belajar dari pengalaman-pengalamanku yang sebelumnya. Perjalanan cintaku tak berhenti sampai sini, Aku terus berjuang bersama sebongkah hatiku ini dan Aku yakin pada suatu saat nanti, Aku akan mendapatkan cintaku yang sebenarnya :)




~ (oleh @Damas_kecil)

Tuesday, 11 October 2011

Chemistry: 17

How's life? (Epilog part 1)

L E A H

Hidup di luar negeri dengan cara backpacker memang tak semudah yang dibayangkan. Aku rindu semuanya. Surabaya dan semuanya. Sudah waktunya aku settle down. Pekerjaan yang aman yang tetap memungkinkan aku travelling.

F E R D I

Apa kabarnya Leah yah? Semoga dia tetap bahagia. Meski berjauhan dengan Adrian. Aku yakin dia sih tersiksa tanpa blackberry nya. Sepatu Loubutin nya. Make-up Mac yang selalu nempel di tiap senti wajahnya.

Leah.. Leah.

A D R I A N

Aku selalu jatuh hati pada Singapura. Karena Leah. Dia begitu menyukai negara ini. Aku senang memperhatikan celoteh riangnya tentang MRT di negara ini. Betapa bersihnya di sini. Betapa dia menikmati setiap detiknya berjalan di kota ini. Menyusuri Lavender, melewati Kampong Glam, melihat bis-bis cantik melintasi Victoria Street dan ramainya Bugis village.

Leah selalu cerita bahwa dia ingin tinggal disini. Membesarkan anak-anaknya disini. Ahh.. Aku rindu Leah.

Dari terminal 2 Changi airport, aku turun ke arah stasiun MRT. Aku sempat berganti kereta di Tanah Merah. Mengambil East Coast Line MRT menuju Orchard. Orang-orang naik dan turun dari MRT. Kusapukan pandanganku ke arah gerbong lain. Tak begitu banyak orang.

Stasiun Lavender. Banyak orang masuk ke gerbongku. Penuh sesak. Aku berjalan pindah ke arah gerbong lain. Aku tak apa bila harus berdiri.

Lalu, kulihat sosok yang sering kulihat dulu. Aku kenal rambut hitam yang digelung cantik. Aku tahu caranya memegang blackberry. Aku ingat senyum lebarnya. Terbalut seragam kerja berwarna biru dan sepatu berhak tinggi warna hitam. Dia berbeda. Tapi, dia tetap Leah-ku.

Kudekati dia. Lalu, kusapa.

"Halo. Sudah lama menungguku?"


Leah-ku tersenyum. Sesuatu yang aku rindu darinya. Penantian 2 tahunku yang tak sia-sia.


~ (oleh @WangiMS)

Awal Perjalanan Manis Kisah Cintaku


Kisah perjalanan untuk mendekati Winda pun berlanjut lewat messenger. Entah kenapa dia merasa senang jika Aku berada di dekatnya. Saat itu Aku belum merasakan hal yang aneh, yang Aku rasakan hanyalah sebuah pikiran positif bahwa Winda mau menerimaku sebagai kekasihnya. Ya semenjak dia memenangkan perlombaan kontes menulis di kampusku, Aku merasa semakin lebih dekat dengannya begitupun dengan Winda kepadaku (pikirku begitu). Aku sudah melakukan pendekatan ke Winda sejak 2 minggu yang lalu. Banyak hal yang kita bicarakan lewat messengger, kebanyakan Aku memberikannya sebuah syair kepadanya. Dia suka saat Aku memberikan sebuah syair untuknya. Dia mengatakan bahwa Aku adalah pria romantis, otomatis Aku merasa sangat senang dan bahagia. "Jarang-jarang wanita yang secantik Winda memujiku" pikirku sambil tersipu malu. Pendekatanku tidak hanya lewat messenger, komunikasi via telepon menjadi alternatif yang lain untuk melakukan pendekatan ke Winda. Namun di sini Aku tidak meminta nomor telepon lebih dulu kepada Winda, melainkan Windanya sendiri yang memberikan nomor telepon kepadaku. Saat itu Aku merasa tercengang dan bingung. Lalu timbul pertanyaan di kepalaku "Kenapa dia memberikan nomor teleponnya duluan kepadaku, biasanya saat Aku melakukan sebuah pendekatan kepada seorang wanita, Aku yang inisiatif meminta nomor telepon kepada si Wanita tersebut. Apakah Winda benar-benar suka kepadaku?" saat muncul kata-kata 'Winda suka kepadaku' di pikiranku, Aku senang sambil tersipu malu. Kemudian Aku melakukan komunikasi dengan Winda via telepon. Di saat Aku mendengar suaranya pertama kali lewat telepon, suaranya indah dan manis. Begitu lembut lengkap menghiasi wajahnya yang cantik nan anggun. Jujur Aku tidak bisa berkata-kata saat mendengar suaranya Winda. Tercengang, kagum, serta banyak hal lain yang tidak bisa diungkapkan saat mendengar suara Winda lewat telepon. Di saat momen-momen yang indah ini, inisiatifku merangsang otakku untuk menimbulkan suatu pikiran. Lalu Aku pun berpikir untuk mengajaknya jalan-jalan pada suatu hari. Dengan tanggap dan rasa percaya diriku tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Aku mengajak Winda untuk 'Hang Out' pada suatu malam. Dia menerima ajakannku untuk 'Hang Out' pada suatu malam. Kemudian Aku pun menunggu malam itu tiba saat Aku 'Hang Out' bersama seorang bidadari kampusku.

Saat malam itu tiba di mana Aku akan 'Hang Out' bersama Winda, jujur Aku sangat gugup sekali. Tidak segugup saat Aku berjalan dengan Karin. Masalahnya Aku 'Hang Out' bersama seorang wanita tercantik di kampusku. Kemudian Aku pun bertemu dengan Winda dan langsung melanjutkan perjalanan ke taman kecil yang tidak jauh berada dari rumah Winda. Se-sampainya di taman Aku pun membelikan sebuah jagung hangat untuk kami berdua. Senyuman dari wajahnya kepadaku membuat Aku merasa senang dan nyaman berada di dekat Winda. Kemudian Aku dan Winda pun mencari bangku taman untuk duduk karena sudah lelah berjalan. Saat itu Aku buka perbincangan dengan Winda. Aku dan Winda saling menceritakan kisah cintanya satu sama lainnya. Mulai dariku yang begitu awamnya dengan perjalanan-perjalanan cintaku dan kejadian-kejadian yang menimpa diriku saat Aku berjuang bersama sebongkah hatiku. Saat Aku menanyakan bagaimana perjalanan cintanya, dia terdiam dengan ekspresi wajah yang menunjukan kesedihan. Kemudian dia menceritakan bahwa dia baru saja putus dengan pacarnya. Kemudian dia menangis tersedu-sedu di pundakku. Otomatis Aku pun kaget saat dia melakukan itu kepadaku. Jantungku berdegup sangat sangat cepat karena dia melakukan hal itu kepadaku. Lalu Aku mencoba untuk menenangkan Winda. Saat itu dia mengatakan bahwa dia merasa lebih nyaman jika Aku berada didekatnya. Aku berpikir dengan jantung yang berdegup sangat kencang "Apakah ini sinyal dari dia untukku agar menjadikan Winda sebagai kekasihku?" Saat jam menunjukan pukul 22.00 Aku mengajak dan mengantarkan Winda untuk pulang ke rumah. Sungguh malam yang indah dan nyaman bagiku bersama bidadari kampusku.

Setelah melakukan pendekatan selama dua bulan Aku pun secara langsung mengungkapkan perasaanku kepadanya. Saat Aku berada di kampus, Aku menemukan dia sendiri berada di kantin dan dengan sigap Aku langsung menghampirinya. Dengan memakai basa basi sedikit langsung saja Aku mengungkapkan perasaanku kepada Winda. Dia tersenyum kepadaku, semakin Aku penasaran bercampur gugup saat dia memberikan senyuman kepadaku. Pikirku dia akan menerimaku sebagai kekasihnya. Ternyata apa yang Aku pikirkan benar adanya. Dia menerimaku sebagai kekasihnya. Aku pun merasa sangat senang.

Kemudian kisah cintaku dari sini berlanjut...


~ (oleh @Damas_kecil)

Monday, 10 October 2011

#29: Epilog (pt 2)

"Pokoknya, buket bunga mawar ini—" Helen mengacungkannya padaku "—HARUS jatuh ke tangan KAMU!" Nerva, sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit, tertawa lepas.
"Siap-siap juga dengan pertanyaan 'kapan nyusul?'. And hence you don't bring your boyfriend, you'll need to explain his existence!"
"Sebenernya yang nikah siapa, sih?" keluhku. "Kok malah aku yang tertekan?"
Yeah, finally, Helen's wedding party!
Setelah lima tahun yang panjang dan melelahkan, Jared akhirnya berhasil merubah nama belakang Helen menjadi Brokepatth. Helen Brokepatth. Pernikahan antar bangsa memang terdengar keren. Tapi, aku, sebagai sahabat Helen yang membantu selama enam bulan terakhir untuk hari spesialnya, tidak setuju dengan pendapat itu! Aku bisa saja stress, tapi Helen dan Jared sangat serius menggarapnya.
Bagian paling mengharukan adalah ketika mereka berdua akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Helen menoleh pada kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca – sadar dia akan pergi jauh setelah ini. Dia akan tinggal di Bandung satu bulan lagi, dan selama itu pula, Jared akan membantunya untuk mengurus masalah kewarganegaraan.
Salut, miris, sedih, kagum... itu yang kurasakan. I mean, mungkin aku juga akan mengalaminya.
Tapi, hari ini, di resepsi pernikahan yang digelar di rumah Helen, perasaan-perasaan kelam dilarang masuk. Kedua pengantin mengonsep resepsi ini dengan garden party, karena halam belakang rumah Helen cukup luas dan menghadap city view kota Bandung serta pegunungannya yang indah. Dress code: white-thingy. Oke, nggak harus 100 persen putih juga, sih. Oh, dan Mitha yang merancang pakaian untuk pengantin dan para 'panitia' yang terlibat dalam acara.
Salah satunya aku. Ingat gaun yang Mitha kirimkan ke New York? Itu adalah contoh untuk gaun resepsi ini. Jadi, tidak jauh berbeda, hanya motif batik di pitanya yang diperkuat (dan untukku, gaunnya diukur ulang). Agar tidak terkesan sepi, aku juga memakai bando dengan motif batik yang hampir sama dengan pitanya.
"Simply gorgeous," puji Nerva, "tapi, sayang, cowoknya nggak ada." Errr!!!
Di tengah-tengah acara, Helen, yang memakai greek gown dan mahkota dari bunga forget-me-not, melangkah ke tengah taman bersama Jared di belakangnya yang sangat gagah dengan tuksedo putih. Para undangan berkumpul untuk memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Terutama para wanita.
"Siapapun yang menangkap buket ini," katanya dengan lirikan tajam padaku,
"harus menyusulku untuk menikah SECEPATNYA!"
Helen langsung melemparkannya ke tengah kerumunan para wanita yang heboh berlari dengan widgets dan high heels. Beberapa orang ikut berteriak – meramaikan suasana. Namun, entah karena takdir atau ada skenario, buket itu terlempar jauh ke arahku. Tanganku refleks menangkapnya – seolahkeduanya adalah dua kutub magnet yang berlawanan.
Tepuk tangan semakin riuh. Nerva menyeringai puas. Helen juga.
Duh.
"Bisa minta perhatiannya sebentar?"
Aku terkejut mendengar suara itu. Dari pintu yang menhubungkan rumah dan taman, kedua orang tuaku muncul bersama—EH? Kalau bukan karena tinggi badannya yang menjulang dan rambutnya yang kecoklatan...
"Ada yang ingin bertemu dengan putri sulung saya," kata ayah sambil melangkah ke arahku. "Oh, kebetulan sekali Dita yang mendapat buketnya!"
Ssh, I wish my father knew I don't believe in coincidence!
Terdengar beberapa siulan yang membuatku semakin malu. Terlebih lagi saat Adrian menjabat tangan ayah dan menyalami punggung tangan ibu sebelum menghampiriku, my cheeks are already BURNT!!!*
YA TUHAN, SKENARIO APA LAGI INI?!!!
Adrian mengulurkan tangannya padaku. "Bisa kita bicara?"

***


~ (oleh @erlinberlin13)

Sunday, 9 October 2011

#28: Enchanted

So, I've been thinking lately
That I should grow up, maybe start to show up on time
But, let's be real, baby
It's not the way that we work, so why waste the sunshine?
(Starlight – Tonight Alive)

Pesan yang Adrian sampaikan hanya jadwal keberangkatannya di JFK Airport pukul sepuluh lewat 12 menit. Namun, saat aku menelepon, ponselnya malah tidak diaktifkan. Wow, kami ternyata orang-orang yang senang bersikap dramatis!
Cuaca mulai hangat hari ini, jadi kuputuskan untuk memakai blazer, kemeja, dan scarf. Oh, plus beanie ungu pemberian Eris yang Ares berikan kemarin. Oke, ini menumbuhkan saru ide; pergi ke Branhworth Coffee mungkin bukan ide yang buruk sebelum menemui Adrian di bandara.
"Oh, hai," sapaku canggung begitu melihat Ares dan Eris mengobrol di konter.
"Eh, maaf kalau ganggu."
"No, it's surprising instead. Kita baru aja ngobrolin tentang kamu dan Adrian," sanggah Ares; tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau pergi ke bandara?"
"Iya, umh. Bisa pesen hazelnut coffee? Tapi, dikemas ke kap kopi," pintaku yang langsung disambut anggukan Eris. Dia terlihat senang mengetahui aku memakai beanie pemberiannya. Aku lalu teringat sesuatu, kemudian membuka tas untuk mengeluarkan kemeja bersejarahku.
Dahi Ares merengut dan saat Eris menyerahkan kap kopi, aku memberikan kemeja itu padanya. "Ini seharusnya disimpan seseorang yang lebih tepat."
Eris melirik ke samping dan Ares tersenyum padanya. "That's yours."
"Trims, Dita," katanya, lalu mengambil kemeja itu. "Umh, ngomong-ngomong, kopinya nggak usah dibayar."
"Eh?"
"We wish you luck," Ares menambahkan. "Tolong bawa kabar gembira setelah kamu bertemu dengan Adrian."
Aku menatap mereka bergantian. "Pasti, dan... terima kasih."
Karena tidak bisa berlama-lama di sana, aku pamit, dan naik taksi yang melintas di depan kedai. Lima menit pertama, jalanan masih lancar sampai, tanpa kuduga, kami malah terjebak dalam kemacetan luar biasa di New York.
Apa ada kecelakaan? Aku sudah pasrah begitu menatap arloji; menarik perhatian sang supir.
"Ada pertemuan penting?" tanyanya dengan aksen Spanyol yang kental.
"Emh, iya." Aku meringis was-was. "Nggak bisa nembus, ya?"
"Begitulah. Tapi, kalau jalan alternatif, saya tahu."
Supir itu kemudian membawaku dalam sebuah perjalanan seperti yang kulihat di film-film action ­– di mana polisi kota New York mengejar penjahat melewati jalan-jalan rahasia di kota ini. Aku berusaha menjaga kap kopi agar tetap aman dan isinya tidak tumpah. Sampai sepuluh menit kemudian, taksi secara mengejutkan berjenti tepat di depan JFK Airport.
"Sudah sampai," kata si supir santai.
Aku langsung memberinya uang – dengan sedikit bonus atas petualangan tadi. "Muchas gracias..." mataku membaca nama di kartu identitasnya "... Pedro."
Dia tersenyum padaku. "De nada, bella."
Selanjutnya, aku berlari masuk ke bandara dengan tangan kanan memegangi kap kopi dan tangan kiri memegangi ponsel. AH, SIAL! KENAPA AKU HARUS LUPA MENGISI BATERAINYA DULU?!! Baterainya low dan mati dalam waktu yang singkat.
Jadi, aku harus memeriksa di mana Adrian berada dalam waktu kurang dari 15 menit! Belum lagi, bandara ini terlalu ramai dan sibuk, menyulitkan tubuh mungilku untuk melihat setiap terminal keberangkatan.
"ADRIAN CHOIIII!!!!" Aku berteriak dan frustasi memanggil-manggil namanya di tengah kerumunan orang yang lalu lalang. Kenapa dia jadi mempersulit keadaan saat aku akan memberinya jawaban? "ADRIAAAN!!! K—"
Seseorang menyambar tangan kananku. Kepalaku langsung menoleh.
Senyum itu...
"Jangan malu-maluin!" Alisnya terangkat begitu menghirup aroma dari kap kopi yang kubawa. "Hazelnut coffee?"
"Kamu pikir?" sahutku dengan suara bergetar.
Dengan waktu sesingkat ini, aku berusaha untuk mengabaikan basa-basi ala drama Korea atau film romance. Ini realitanya – aku kehilangan semua kata dalam kepalaku begitu menatap Adrian. Seperti dibekukan.
Aku mendesah frustasi. "In the past two days, I retraced my past. Sebuah kejutan bagiku untuk mendapati mereka sudah menemukan pasangan yang tepat. Jujur, rasanya aneh ditinggal sendirian seperti ini. Aku juga sudah terlalu lelah menghadapi drama-drama yang melibatkan banyak perasaan."
Adrian berdiri di hadapanku. "Well, then, have you found the answer?"
Aku bisa saja menangis kesal begitu mendengar penerbangan menuju Ohio akan segera berangkat. Tapi, begitu Adrian meraih dan menggengam tanganku, waktu tiba-tiba melambat. Waktu seolah memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.
"Adrian," ujarku dengan mata memanas, lalu susah payah mengangkat tangan dan menempelkan telapak tanganku di dada kirinya, "is there any place for me?"*
Perlahan, senyumnya mengembang. "It always belongs to you, Dita."
"So, there's no hesitate." Aku membalas senyumnya. "I belong to you."
Detak jantungnya berpacu semakin cepat ketika Adrian menundukan kepalanya dengan salah satu tangannya memeluk pinggangku. Tanganku mencengkram pundaknya dan, dalam satu detik, aku merasakan bibirnya mencium bibirku. Manis dan hangat.
Keriuhan di bandara seolah menghilang – meninggalkanku dan Adrian bersama aroma hazelnut coffee yang menguar di sekitar kami. I fill that empty glass. I rely on his heart.
Tapi, sayangnya, aku tidak bisa membiarkannya terlalu lama. Namun, Adrian mengakhirinya dengan lembut. Telapak tangannya yang besar dan kokoh menangkup wajahku.
"I love you," katanya dengan sorot mata yang hangat – sehangat hazelnut coffee yang kubawa untuknya. "Will always do."
"I love you too," sahutku, "and, please, come back soon."
Adrian tertawa sejenak, kemudian memberiku ciuman di kening sebelum pergi.
Rasanya berat, berat sekali. Tapi, aku tahu perpisahan ini adalah sebuah permulaan yang baru. Dan ketika jemari kami yang bertaut akhirnya saling melepas, kami tahu, ada dua hati yang baru saja bersatu.

I could make you happy, make your dreams come true
No, there's nothing that I wouldn't do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love
(To Make You Feel My Love – Kris Allen)

***

~ (oleh @erlinberlin13)