Warung Bebas

Saturday 17 September 2011

Sedia Payung Sebelum Hujan #4




"Sedia payung sebelum hujan: melakukan antisipasi terhadap sesuatu sebelum sesuatu tersebut menjadi masalah."


Sedari kecil, aku memang tidak pernah menyukai hujan, terutama hujan besar dengan rangkaian petir didalamnya, sekalipun itu hanyalah gerimis. Entah apa penyebabnya, aku sendiri pun tidak menemukannya. Aku tidak suka becek, tanah menjadi lembek, udara dingin karena hujan. Seringkali aku mengumpat pada hujan, jika agenda acara yang telah kususun rapi terpaksa hancur berantakan atau ditunda gegara ulahnya. Hujan tidak suka melihatku bahagia, begitu prasangkaku. Jadi, jangan heran, jika musim penghujan datang, aku adalah orang yang paling berduka cita karenanya. Ini sudah 12 hari sejak Tahun Baru, namun masih saja hujan turun setiap hari dan hampir disetiap waktu.
            Adalah lelaki bernama Ananda Lelaki Hujan alias Ojan sebagai orang pertama yang memprovokasiku untuk menyukai hujan. Pria ini bertubuh agak gempal dengan tinggi 175cm, kulit sawo matang, dan memiliki sedikit jambang di wajahnya. Garis mukanya begitu tegas. Ia tidak begitu tampan, namun bisa dibilang good looking. Berbanding terbalik denganku, Ojan sangat menyukai hujan. Ia pernah bercerita padaku, waktu kecilnya kerapkali hujan-hujanan setiap kali hujan datang, dan kerapkali pula dimarahi ibunya gara-gara itu. Namun, Ojan tidak pernah jera. Ia malah semakin menyukai dan bahkan tergila-gila dengan hujan. Keluarganya hampir menganggap ia "sakit jiwa" karena setiap kali hujan turun, pada saat itu, Ojan akan berlari keluar, tertawa-tawa, kemudian melompat dan menari-nari seperti orang kerasukan. Ojan sempat dibawa ke psikiater, psikiater bilang Ojan tidak mengidap penyakit jiwa apapun, ia dinyatakan benar-benar sehat. Semenjak itu, keluarganya pasrah, lama-lama malah terbiasa dengan kelakuan Ojan yang 'ajaib' itu.

13 Januari 2009
Ini kali ketiga, Ojan mengajakku ke kedai ini. Sebuah kedai kopi kecil yang letaknya di sebuah gang di Jalan Alkateri (ABC). Kedai kopi ini sudah ada sejak puluhan tahun lamanya. Struktur bangunannya masih kuno, begitupun dengan peralatan yang ada di kedai ini. Ini tempat favorit Ojan, selain tenang, racikan kopinya pun begitu enak. Ya, kuakui racikan kopinya luar biasa enak, bahkan kopi di kafe ternama pun tak mampu menyaingi kelezatan kopi ini. Entah mantra atau jampi apa yang peramunya pakai.
Kami duduk berhadapan. Secangkir kopi. Beberapa makanan ringan seperti pisang goreng dan ketan bakar. Seperti biasa, menemani kami berbincang hingga lupa waktu. Langit begitu mendung, hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Namun, ada kehangatan yang menyelimutiku, entah darimana asalnya. Lalu, mulai gerimis..
"Gerimis, Ri" ujarnya pelan. Tidak seperti teman-temanku yang biasanya memanggilku dengan "Yara" atau "Tia", Ojan memanggilku "Tari". Begitu kutanya alasannya memanggilku "Tari", ia hanya menjawab dengan singkat: "Aku anti-mainstream orangnya", satu cubitan melayang di lengannya setelah kudengar jawabannya yang nyeleneh itu.
"Kadang aku suka ngebayangin loh, kalau aja kamu masih se-excited itu dengan hujan seperti yang pernah kamu ceritain, terus misalnya pas lagi bareng aku, hujan turun dan kamu lari-lari sambil nari-nari hujan-hujanan di jalan. Sumpah, aku bakalan pura-pura nggak kenal sama kamu!" candaku.
Ojan tertawa. "Aku masih tergila-gila sama hujan. hanya saja sekarang cara menyampaikannya aja yang berbeda dan lebih waras. Hahaha. Entah ada magnet apa antara aku dengan fenomena alam yang satu ini. Mungkin karena namaku ada unsur "hujan"nya kali ya?"
"Iya, sampe-sampe bikin ibu kamu nyesel ngasih nama kamu Hujan! hahahaha!" ledekku .
"Siapa suruh? Hehe. Salah satu kejadian yang bisa bikin ibu nerima kelakuanku yang ajaib itu ya gara-gara dia ingat kalau selagi melahirkanku, eh tiba-tiba di musim kemarau ada hujan turun, mungkin aku dan fenomena alam yang satu ini sudah terinterkoneksi sedari lahir. Hahhaha."
            "Aku nggak pernah suka kalau hujan turun.." ujarku sinis.
            "Jangan gitu dong, kalau kamu nggak suka hujan, berarti kamu juga nggak suka sama aku. Namaku kan hujan juga.. Seperti yang pernah aku bilang sama kamu, sebelum kenal aku kamu boleh nggak suka sama hujan, tapi setelah kenal sama aku, kamu harus jadi suka hujan! gimanapun caranya aku bakalan bikin kamu suka sama hujan!"
            "Hahaha. Gila! Kamu dan aliran sesatmu hujanisme itu harus berusaha keras, aku ini orangnya keras kepala loh!" ujarku meremehkan.
            "Hujan lama kelamaan akan melapukkan batu menjadi tanah, begitu juga dengan kamu, Tari" ujarnya pelan. "Ini pertemuan kita yang ketiga, di tempat yang sama dengan cuaca yang sama pula. Sedikitnya aku akan membuat kamu terbiasa dan nyaman dengan cuaca seperti ini, sampai bisa nantinya menikmati sendiri."
            Ojan benar. Kehadirannya memang sedikit membantu aku untuk agak menyukai hujan. Entah mengapa ada rasa aman dan nyaman saat aku dan dia bersama menikmati hujan. Walaupun terkadang waktu menikmati hujan hanya kami habiskan dalam diam. Tapi, kami tahu, kami saling berbicara dalam rasa-yang-entah-apa-itu-namanya.
            "Ini bawa ya, kemana-mana.." ujar Ojan sambil menyerahkan payung lipat berwarna biru muda. "Kalau aku nggak ada, hujan sedang turun dan kamu sedang berteduh, pakai ini ya untuk melanjutkan perjalanan. Anggap aja sebagai pengganti aku, buat nemenin kamu, menghadapi hujan" lanjutnya lagi.
            "Wohoo, makasi yah, Jan. Kita baru kenal tapi kamu udah baik banget sama aku, ngasih aku payung segala!" ujarku sambil menerima payung darinya dan memasukkan payung itu ke dalam tasku.
            "Kita udah kenal lama, Tari. Hujan ada karena panas mentari membuat suhu bumi naik dan mengirimkan uap-uap air berkumpul menjadi satu di awan, hingga kemudian turunlah hujan." ujarnya menatapku dengan dalam.
            "Ini sih judulnya sedia payung sebelum hujan dalam arti sebenarnya. Bukan peribahasa!" Candaku.
            "Haha, iya bisa jadi. Diartikan dari peribahasa juga boleh, kamu harus berhati-hati dalam mengambil sikap dan keputusan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. OK!"
            "Ciyee, bijak bener sik! Gini nih, kalau lagi hujan, mendadak bijak. Yah, baguslah daripada lari-lari keluar!" ledekku.
            "Sial!hahahaaha.." tawa Ojan begitu lepas. Gigi kelincinya terlihat begitu jelas dan menjadikan mimic mukanya lucu sekali. Aku menikmati pemandangan yang ada di hadapanku ini.
            "Lagian ngotot banget sih pengen bikin aku suka sama hujan! Sampe ngasih payung segala.. di rumah juga payung banyak!" Ujarku.
            "Di rumah payung banyak, tapi yang dari aku kan Cuma satu. Lagipula, siapa tahu abis suka sama hujan kamu juga jadi bisa suka sama aku, hahahaha" ujarnya sambil tertawa.
            Satu cubitan keras melayang di lengannya yang berisi dan agak kekar. Ojan meringis kesakitan.


31 Agustus 2011
           
Tiara Mentari (01:43)
            Your sun? you mean, your little sister? Well, in fact you're the one who called me "sun"
            SEND.

            Ya, kuputuskan untuk membalas lagi pesannya. Entah apa yang akan terjadi pada menit-menit berikutnya. Yang jelas akan kupastikan, segala pertanyaanku tentangnya akan terjawab sekarang agar segala penasaran bisa segera hilang.

5 menit kemudian..
            Masih belum ada balasan. Mungkin saja dia ketiduran atau memang tidak ingin membahasnya. Ada rasa sesal karena telah memenuhi egoku untuk membalas pesannya tersebut dan mulai memancingnya ke arah pembicaraan yang aku inginkan. Kuputuskan untuk tidur saja dan melupakan semuanya.

BIPP! BIPP!
            Sudah setengah mengantuk  mataku terpejam. Namun mendadak, kantukku hilang begitu mendengar bunyi pesan masuk tepat setelah aku memutuskan untuk melupakan semua dan pergi tidur.

Ternyata memang dari dia.
            Raining Man (01:48)
            Not a little sis, I guess. But that's why I hope you always being my only one sun. because you're the girl who gave me sweet and lovely memories, you always have a place in my heart..

            Tertegun aku membaca balasan pesannya. Setidaknya aku sedikit tahu bahwa aku ternyata memiliki arti di dalam kehidupannya. Bahkan hingga saat ini. Lalu, mengapa pada saat itu ia memutuskan untuk pergi? Meninggalkanku sendiri. Dia memberiku payung untuk berlindung ketika hujan turun. Namun, hatiku tidak dapat kupayungi dari seorang Ananda Lelaki Hujan. Hatiku terlanjur ke"hujan"an. Basah kuyup.



~ (oleh @naminadini)

0 comments em “Sedia Payung Sebelum Hujan #4”

Post a Comment