Warung Bebas
Showing posts with label Retrace. Show all posts
Showing posts with label Retrace. Show all posts

Wednesday, 12 October 2011

#30: Epilog (pt 2) #Tamat

Adrian H. Choi tidak memberiku kabar selama tiga bulan terakhir.
Well, di tiga bulan pertama, hubungan kami baik-baik saja. Dia sering mengabariku lewat email dan meneleponku di akhir pekan. Bahkan, satu minggu sebelum aku pulang ke Indonesia, dia sengaja datang ke New York untuk menemaniku.
Tapi, setelah itu...
"AW—Oke! Tenang!" Adrian menahan tanganku yang semakin membabi buta memukuli pundaknya dengan buket bunga. "Nanti buketnya rusak—"
"KAMU LEBIH PEDULI SAMA BUKETNYA?"
"Sst!" Adrian menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Tenang, please?"
Kami memilih tempat yang agak jauh dari taman. Kami berdiri di tepi padang rumput luas yang menyuguhkan pemandangan kota Bandung di bawah dan pegunungan dengan siluet jingga keunguan dari matahari sore. Namun, semilir angin Januari yang menerpa kulitku tetap dingin.
Adrian mendesah, lalu melepaskan jas putihnya, dan memakaikannya pada bahuku yang telanjang. "Kamu mau aku cerita dari mana?"
"Kamu sebenernya kuliah di mana, sih?" Todongku langsung tanpa basa-basi. "Setiap kali ditanya pasti nggak pernah direspon!"
Dia tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan menyodorkannya padaku. Kukira, itu kartu—EH? Kartu Tanda Mahasiswa.
UNIVERSITAS INDONESIA! Jurusan JURNALISTIK. Kepalaku menoleh padanya.
"A-Ad?"
"Salah satu rektor universitas membaca artikel interview aku dengan kamu dan mencari informasi tentangku," paparnya santai. "Pendekatannya memang lama, tapi dengan tawaran beasiswa dan pekerjaan yang menjanjikan, aku nggak bisa nolak. And there's a BIG chance for me to meet you in the same country."
YA AMPUUUN! "Jadi, selama tiga bulan ini sebenarnya kita berada di PULAU YANG SAMA?!" Aku hanya melongo saat Adrian menganggukan kepalanya. Kembali,
aku memukul pundaknya dengan buket bunga. "JAHAAAAT!!! Dan... orang tuaku..."
"Nah, aku sempet ketemu ayah kamu di pertemuan orang tua para penulis. Ingat?" Kepalaku terangguk. Ayah diundang penerbit novelku ke Depok dua bulan yang lalu untuk pertemuan itu. "Waktu tahu ada ayah kamu, aku langsung kenalan dan bilang kalau aku... pacar kamu."
Tanganku terlipat di dada. "Kamu sinting."
"Hei, tapi ayah kamu menyambut dengan baik! Dia melayani interview-ku, makan siang bersama, dan... sebenarnya ayah kamu yang merencanakan pertemuan ini." Seringainya muncul. "You have such a great parents and cute sister."
Aku meringis kesal. "Hah, dan nggak ada yang ngasih tahu aku!"
"I save you the last for the best," katanya dengan tatapan yang dalam yang membekukan. "Aku serius dengan hubungan ini, Dita. Selama kuliah, aku belajar tentang Indonesia. Besar kemungkinan, setelah kuliah, aku akan benar-benar bekerja di sini. Aku juga akan mengajukan permintaan naturalisasi."
Mataku menyipit – apa dia sedang mabuk? "For what sake?"
"For you, what else? Aku sudah lelah menghadapi drama-drama itu lagi di Amerika." Tangannya mengelus rambutku. "Begitu menginjakkan kaki di tempat kelahiran kamu, I suddenly know why you always bring a peace for me."
Kepalaku menggeleng tidak percaya. "Aku nggak tahu harus bilang kamu nekat atau gila."
Adrian terkekeh; telapak tangannya menangkup wajahku. "\*I will do everything for you as long as you keep staying by my side. We're gonna chase our dreams here. Together."
Air mataku meleleh. Di kota ini, Bandung – kota di mana aku dilahirkan, Adrian datang dan mengorbankan semunya untuk mewujudkan keinginanku untuk menghabiskan sisa hidup kami di sini. Apa lagi yang bisa kuharapkan selain hidup bahagia bersamanya?
Kemudian, Adrian mendekapku erat. Sebuah dekapan yang kembali menghantarkan kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama aku rindukan. Cukup, Dita, cukup dengan semua drama itu! Adrian memang bukan pangeran berkuda putih. Dia lebih dari itu!
"Jadi, kita harus menyusul secepatnya?" tanya Adrian sambil merapikan rambutku dan melirik buket bunga itu. "Kapan?"
Aku tersenyum dan menepuk manja pundaknya. "Selama ada kamu."
Sayup-sayup, aku mendengar Jared berseru dan mulai menyanyikan sebuah lagu; Endlessly. Adrian tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
"A-Apa?" tanyaku gugup. "Dansa?"
"Have heard He is We's song called All About Us?*" tanyanya dengan alis terangkat. "They said, 'lovers dance when their feelin' in love'. So, shall we? Because, I believe you can."
Aku merengut sebal, namun entah kenapa tanganku malah menyambut tawarannya.
Adrian memeluk pinggangku dan salah satu tangannya yang lain menggenggam tanganku bersama buket bunga. Melihat ini, aku hanya bisa tersenyum geli.
"Anggap ini rehearsal untuk pernikahan kita," bisiknya lembut. "Well, I can't hardly wait to introduce you as Mrs.Choi."
Aku tertawa kecil. "Kita bisa latihan untuk itu juga sekarang."
Adrian ikut tertawa, sebelum memberiku ciuman mesra di kening.
Oke, ini benar-benar sudah berakhir, kan? Karena aku ingin istirahat bersama Adrian sekarang.

And there's no guarantee, that this will be easy
 It's not a miracle you need, believe me
Yeah, I'm not angel, I'm just me
But I will love you endlessly
Wings aren't what you need, you need me...
(Endlessly – The Cab)

***
TAMAT


~ (oleh @erlinberlin13)

Monday, 10 October 2011

#29: Epilog (pt 2)

"Pokoknya, buket bunga mawar ini—" Helen mengacungkannya padaku "—HARUS jatuh ke tangan KAMU!" Nerva, sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit, tertawa lepas.
"Siap-siap juga dengan pertanyaan 'kapan nyusul?'. And hence you don't bring your boyfriend, you'll need to explain his existence!"
"Sebenernya yang nikah siapa, sih?" keluhku. "Kok malah aku yang tertekan?"
Yeah, finally, Helen's wedding party!
Setelah lima tahun yang panjang dan melelahkan, Jared akhirnya berhasil merubah nama belakang Helen menjadi Brokepatth. Helen Brokepatth. Pernikahan antar bangsa memang terdengar keren. Tapi, aku, sebagai sahabat Helen yang membantu selama enam bulan terakhir untuk hari spesialnya, tidak setuju dengan pendapat itu! Aku bisa saja stress, tapi Helen dan Jared sangat serius menggarapnya.
Bagian paling mengharukan adalah ketika mereka berdua akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Helen menoleh pada kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca – sadar dia akan pergi jauh setelah ini. Dia akan tinggal di Bandung satu bulan lagi, dan selama itu pula, Jared akan membantunya untuk mengurus masalah kewarganegaraan.
Salut, miris, sedih, kagum... itu yang kurasakan. I mean, mungkin aku juga akan mengalaminya.
Tapi, hari ini, di resepsi pernikahan yang digelar di rumah Helen, perasaan-perasaan kelam dilarang masuk. Kedua pengantin mengonsep resepsi ini dengan garden party, karena halam belakang rumah Helen cukup luas dan menghadap city view kota Bandung serta pegunungannya yang indah. Dress code: white-thingy. Oke, nggak harus 100 persen putih juga, sih. Oh, dan Mitha yang merancang pakaian untuk pengantin dan para 'panitia' yang terlibat dalam acara.
Salah satunya aku. Ingat gaun yang Mitha kirimkan ke New York? Itu adalah contoh untuk gaun resepsi ini. Jadi, tidak jauh berbeda, hanya motif batik di pitanya yang diperkuat (dan untukku, gaunnya diukur ulang). Agar tidak terkesan sepi, aku juga memakai bando dengan motif batik yang hampir sama dengan pitanya.
"Simply gorgeous," puji Nerva, "tapi, sayang, cowoknya nggak ada." Errr!!!
Di tengah-tengah acara, Helen, yang memakai greek gown dan mahkota dari bunga forget-me-not, melangkah ke tengah taman bersama Jared di belakangnya yang sangat gagah dengan tuksedo putih. Para undangan berkumpul untuk memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Terutama para wanita.
"Siapapun yang menangkap buket ini," katanya dengan lirikan tajam padaku,
"harus menyusulku untuk menikah SECEPATNYA!"
Helen langsung melemparkannya ke tengah kerumunan para wanita yang heboh berlari dengan widgets dan high heels. Beberapa orang ikut berteriak – meramaikan suasana. Namun, entah karena takdir atau ada skenario, buket itu terlempar jauh ke arahku. Tanganku refleks menangkapnya – seolahkeduanya adalah dua kutub magnet yang berlawanan.
Tepuk tangan semakin riuh. Nerva menyeringai puas. Helen juga.
Duh.
"Bisa minta perhatiannya sebentar?"
Aku terkejut mendengar suara itu. Dari pintu yang menhubungkan rumah dan taman, kedua orang tuaku muncul bersama—EH? Kalau bukan karena tinggi badannya yang menjulang dan rambutnya yang kecoklatan...
"Ada yang ingin bertemu dengan putri sulung saya," kata ayah sambil melangkah ke arahku. "Oh, kebetulan sekali Dita yang mendapat buketnya!"
Ssh, I wish my father knew I don't believe in coincidence!
Terdengar beberapa siulan yang membuatku semakin malu. Terlebih lagi saat Adrian menjabat tangan ayah dan menyalami punggung tangan ibu sebelum menghampiriku, my cheeks are already BURNT!!!*
YA TUHAN, SKENARIO APA LAGI INI?!!!
Adrian mengulurkan tangannya padaku. "Bisa kita bicara?"

***


~ (oleh @erlinberlin13)

Sunday, 9 October 2011

#28: Enchanted

So, I've been thinking lately
That I should grow up, maybe start to show up on time
But, let's be real, baby
It's not the way that we work, so why waste the sunshine?
(Starlight – Tonight Alive)

Pesan yang Adrian sampaikan hanya jadwal keberangkatannya di JFK Airport pukul sepuluh lewat 12 menit. Namun, saat aku menelepon, ponselnya malah tidak diaktifkan. Wow, kami ternyata orang-orang yang senang bersikap dramatis!
Cuaca mulai hangat hari ini, jadi kuputuskan untuk memakai blazer, kemeja, dan scarf. Oh, plus beanie ungu pemberian Eris yang Ares berikan kemarin. Oke, ini menumbuhkan saru ide; pergi ke Branhworth Coffee mungkin bukan ide yang buruk sebelum menemui Adrian di bandara.
"Oh, hai," sapaku canggung begitu melihat Ares dan Eris mengobrol di konter.
"Eh, maaf kalau ganggu."
"No, it's surprising instead. Kita baru aja ngobrolin tentang kamu dan Adrian," sanggah Ares; tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau pergi ke bandara?"
"Iya, umh. Bisa pesen hazelnut coffee? Tapi, dikemas ke kap kopi," pintaku yang langsung disambut anggukan Eris. Dia terlihat senang mengetahui aku memakai beanie pemberiannya. Aku lalu teringat sesuatu, kemudian membuka tas untuk mengeluarkan kemeja bersejarahku.
Dahi Ares merengut dan saat Eris menyerahkan kap kopi, aku memberikan kemeja itu padanya. "Ini seharusnya disimpan seseorang yang lebih tepat."
Eris melirik ke samping dan Ares tersenyum padanya. "That's yours."
"Trims, Dita," katanya, lalu mengambil kemeja itu. "Umh, ngomong-ngomong, kopinya nggak usah dibayar."
"Eh?"
"We wish you luck," Ares menambahkan. "Tolong bawa kabar gembira setelah kamu bertemu dengan Adrian."
Aku menatap mereka bergantian. "Pasti, dan... terima kasih."
Karena tidak bisa berlama-lama di sana, aku pamit, dan naik taksi yang melintas di depan kedai. Lima menit pertama, jalanan masih lancar sampai, tanpa kuduga, kami malah terjebak dalam kemacetan luar biasa di New York.
Apa ada kecelakaan? Aku sudah pasrah begitu menatap arloji; menarik perhatian sang supir.
"Ada pertemuan penting?" tanyanya dengan aksen Spanyol yang kental.
"Emh, iya." Aku meringis was-was. "Nggak bisa nembus, ya?"
"Begitulah. Tapi, kalau jalan alternatif, saya tahu."
Supir itu kemudian membawaku dalam sebuah perjalanan seperti yang kulihat di film-film action ­– di mana polisi kota New York mengejar penjahat melewati jalan-jalan rahasia di kota ini. Aku berusaha menjaga kap kopi agar tetap aman dan isinya tidak tumpah. Sampai sepuluh menit kemudian, taksi secara mengejutkan berjenti tepat di depan JFK Airport.
"Sudah sampai," kata si supir santai.
Aku langsung memberinya uang – dengan sedikit bonus atas petualangan tadi. "Muchas gracias..." mataku membaca nama di kartu identitasnya "... Pedro."
Dia tersenyum padaku. "De nada, bella."
Selanjutnya, aku berlari masuk ke bandara dengan tangan kanan memegangi kap kopi dan tangan kiri memegangi ponsel. AH, SIAL! KENAPA AKU HARUS LUPA MENGISI BATERAINYA DULU?!! Baterainya low dan mati dalam waktu yang singkat.
Jadi, aku harus memeriksa di mana Adrian berada dalam waktu kurang dari 15 menit! Belum lagi, bandara ini terlalu ramai dan sibuk, menyulitkan tubuh mungilku untuk melihat setiap terminal keberangkatan.
"ADRIAN CHOIIII!!!!" Aku berteriak dan frustasi memanggil-manggil namanya di tengah kerumunan orang yang lalu lalang. Kenapa dia jadi mempersulit keadaan saat aku akan memberinya jawaban? "ADRIAAAN!!! K—"
Seseorang menyambar tangan kananku. Kepalaku langsung menoleh.
Senyum itu...
"Jangan malu-maluin!" Alisnya terangkat begitu menghirup aroma dari kap kopi yang kubawa. "Hazelnut coffee?"
"Kamu pikir?" sahutku dengan suara bergetar.
Dengan waktu sesingkat ini, aku berusaha untuk mengabaikan basa-basi ala drama Korea atau film romance. Ini realitanya – aku kehilangan semua kata dalam kepalaku begitu menatap Adrian. Seperti dibekukan.
Aku mendesah frustasi. "In the past two days, I retraced my past. Sebuah kejutan bagiku untuk mendapati mereka sudah menemukan pasangan yang tepat. Jujur, rasanya aneh ditinggal sendirian seperti ini. Aku juga sudah terlalu lelah menghadapi drama-drama yang melibatkan banyak perasaan."
Adrian berdiri di hadapanku. "Well, then, have you found the answer?"
Aku bisa saja menangis kesal begitu mendengar penerbangan menuju Ohio akan segera berangkat. Tapi, begitu Adrian meraih dan menggengam tanganku, waktu tiba-tiba melambat. Waktu seolah memberiku kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.
"Adrian," ujarku dengan mata memanas, lalu susah payah mengangkat tangan dan menempelkan telapak tanganku di dada kirinya, "is there any place for me?"*
Perlahan, senyumnya mengembang. "It always belongs to you, Dita."
"So, there's no hesitate." Aku membalas senyumnya. "I belong to you."
Detak jantungnya berpacu semakin cepat ketika Adrian menundukan kepalanya dengan salah satu tangannya memeluk pinggangku. Tanganku mencengkram pundaknya dan, dalam satu detik, aku merasakan bibirnya mencium bibirku. Manis dan hangat.
Keriuhan di bandara seolah menghilang – meninggalkanku dan Adrian bersama aroma hazelnut coffee yang menguar di sekitar kami. I fill that empty glass. I rely on his heart.
Tapi, sayangnya, aku tidak bisa membiarkannya terlalu lama. Namun, Adrian mengakhirinya dengan lembut. Telapak tangannya yang besar dan kokoh menangkup wajahku.
"I love you," katanya dengan sorot mata yang hangat – sehangat hazelnut coffee yang kubawa untuknya. "Will always do."
"I love you too," sahutku, "and, please, come back soon."
Adrian tertawa sejenak, kemudian memberiku ciuman di kening sebelum pergi.
Rasanya berat, berat sekali. Tapi, aku tahu perpisahan ini adalah sebuah permulaan yang baru. Dan ketika jemari kami yang bertaut akhirnya saling melepas, kami tahu, ada dua hati yang baru saja bersatu.

I could make you happy, make your dreams come true
No, there's nothing that I wouldn't do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love
(To Make You Feel My Love – Kris Allen)

***

~ (oleh @erlinberlin13)

Saturday, 8 October 2011

#27: Broken Glass (pt 2)

"Ini mungkin terdengar berlebihan, but, there's a possibility he's your Mr.Right, Dita," Ares melanjutkan. "Dua tahun menunggu, kamu berpikir perasaannya akan terkikis. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya – tumbuh semakin besar dan kuat. Apalagi begitu melihat kesakitan kamu saat itu, aku yakin hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah melindungi kamu. And he offers you something: happiness."
Jeda sejenak; Ares beranjak dari kursinya untuk membuat segelas susu cokelat yang baru. setelah pemaparan panjangnya tadi, pikiran dan hatiku terbuka. Tapi, juga ada sesuatu yang ganjil terasa. Bukan, ini bukan hanya tentang Adrian. Ini tentang psikolog yang baru bicara tadi dan kembali dengan menyodorkan segelas susu cokelat padaku.
"Ar..." kepalaku tercondong ke arahnya "... kamu... kenapa bisa sepeka itu? I mean, you've changed. You suddenly care to someone else's feeling."
Dia sempat bergeming, sebelum kemudian tertawa sambil menggaruk kepalanya.
Salah tingkah. "Well, have I? Kalau kamu pikir begitu, well, aku berhasil. I mean, someone has just unlocked my heart."
"Someone?" Mataku memicing semakin curiga. "Eris?"
"Ah!" Ares tergelak semakin keras dan aku sempat melihat pipinya bersemu. Dia memalingkan wajah ke samping, terbatuk-batuk kecil, sebelum kembali menatapku. "Kurang lebih."
"KALIAN KENCAN, KAN?!" todongku tanpa basa-basi. Dia hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang berarti ya. "Arghh!!! Kalian jahat! My boys from past are dating and leaving me alooooooone!!!*"
"Woo, tunggu, tunggu," potong Ares cepat. "Kita, maksudku aku dan ex massive crush kamu itu, justru berharap dengan ini bisa membuat kamu lebih mudah untuk maju dan mendapatkan seseoarang yang lebih pantas. Tapi, ya,ternyata kamu melangkah selam—AW!"
Aku menyentil lengannya. "Kenapa kamu yakin Yudika berpikir seperti itu? Karena dia pacaran sama Momo, huh?"
"Hei, meski aku dan dia nggak punya hubungan yang baik, tapi kita memutuskan hal yang terbaik untuk kamu. Dia termotivasi dariku untuk merespon orang yang lebih peduli dengannya, sementara aku melepas kamu karena tidak bisa mencintai kamu sepenuhnya." Ares mengambil jeda dan menatapku lebih serius.
"Tapi, kita punya satu tujuan: to see you happy with the right person."
Kepalaku tertunduk. Semua yang terjadi di antara kami berputar dan aku seolah-olah menjadi porosnya. I met them, I feel for them, then I separated. Tapi, mereka malah belajar dari perjuanganku dan akhirnya  menemukan seseorang yang tepat.
"Seharusnya, ini jauh lebih mudah untuk kamu, Dita. tapi, ya, aku tahu hati seorang wanita itu mudah pecah seperti gelas," paparnya. "Dan kamu tidak bisa menggunakan gelas yang sudah retak, nanti airnya merembes. Kamu butuh gelas baru untuk menampung air itu. You need a new heart for your love."
Mata kami beradu dan Ares memberiku satu tatapan akhir yang semakin membuatku yakin dengan keputusanku.
"Uh, ini kotak apa?" Ares beranjak dari kursi dapur dan mengambil sebuah kotak yang terletak di atas TV. Aku hanya bisa menelan ludah saat dia membukanya. "Wow, wait, ini foto-foto kamu, ya? Hadiah ulang tahun?"
"Umh, menurut kamu?" Aku memalingkan wajah saat dia menaruh kotak itu di atas meja dan membongkarnya. Ares terkekeh dan senyuman gelinya mengembang.
"Apanya yang lucu?"
Kepalanya mengangguk beberapa kali. "Adrian, huh?! Seriously, Dita, don't let this guy go away from your life."
"Who—" Bola mataku berputar. "Terserah."
"Iya, iya, aku maklum kamu terlalu gengsi untuk mengakuinya," goda Ares sambil menata kembali foto-foto itu ke dalam kotak. "But, I can see you will come to him. Filling his empty heart."
"Kamu..."
Kami saling bertatapan, sebelum tertawa lepas. Mengawali hubungan kami yang baru sebagai teman. Iya, akhirnya aku memanggil Ares sebagai seorang teman.

***

~ (oleherlinberlin13)

Thursday, 6 October 2011

#25: Untouched

I feel so untouched
And I want you so much
That I just can't resist you
It's not enough to say that I miss you
(Untouched – The Veronicas)


Sepuluh hari berlalu.
OKE! AKU HARUS BERTEMU DENGAN ADRIAN!
Begitu selesai memakai mantel dan scarf, aku – dengan semangat yang bercampur dengan was-was – berlari ke arah pintu. Namun, begitu aku membukanya...
"HAH!" Mataku membelalak kaget begitu melihat Adrian berdiri di sana dengan posisi tangan terangkat – siap untuk mengetuk pintu. Kami terdiam sejenak, sampai akhirnya dia menurunkan tangannya dan menatapku penuh curiga. Tunggu, ke mana kacamatanya? Apa dia ke sini untuk meminta ganti rugi?
"Kamu mau pergi, ya?" tanyanya.
"Emh, iya, tadinya..." tanganku mematut-matut ujung mantel. Uh, kenapa tiba-tiba jadi secanggung ini? "Eh, ayo masuk. Aku nggak jadi pergi."
Adrian menungguku di ruang tengah, sementara aku kembali mengganti baju dengan sweater dan celana panjang di kamar. Cuaca sedang sangat dingin dan membuatku agak mengantuk. Kalau jadi pergi tadi, mungkin aku akan tertidur di subway.
"Mau kopi?" tawarku yang disambut anggukan darinya. Bukan hal yang sulit untuk membuat secangkir kopi hitam dengan taburan hazelnut giling untuk Adrian. Tapi, kemudian aku dikejutkan oleh perban yang melilit lengan kirinya saat menaruh cangkir di atas meja.
"Ya ampun!" Aku terkesiap kaget dan nampaknya Adrian risi ketika aku menyingkap lengan kemejanya. Perban itu ternyata menutupi lengannya sampai ke sikut. "Kamu kenapa? Jatuh? Ketabrak?"
"Ini..." Dia berusaha melepaskan tanganku. "Nggak parah, kok!"
Kemudian, aku ingat berita-berita kriminal yang akhir-akhir ini terjadi di Brooklyn. Apa Adrian adalah salah satu korbannya?
"Aku cuma keserempet mobil, Dita," katanya, berusaha menenangkanku. "Kegores aja, nggak sampai patah tulang atau apa yang lebih parah."
"CUMA? Gimana bisa kamu hilang ini CUMA?!" hardikku yang membuatnya terdiam.
"Siapa yang nyerempet? Mobil apa?"
Adrian tidak menjawab dan dia malah menyesap kopi racikanku. "Mmh, you could be a good wif—*"
"ADRIAN!"
"Dita, really, I'm okay!" katanya, kali ini dengan serius meyakinkanku.
"Jangan jadi secemas itu, karena mungkin berita yang akan aku sampaikan selanjutnya malah bikin kamu makin down. It doesn't sound good."
Aku merasa bersalah sekarang. "Maaf..."
"Oke, first of all, it should be who ask for the apologize," katanya semakin serius dan mengintimidasi. "I mean, tentang tiket itu. Apa kamu... mau memaafkanku? I admit that was... such a big mistake."
Aku termenung sejenak. Seharusnya aku masih merasa sangat kesal, tapi ucapan Ares di apartemenku beberapa hari yang lalu merngubah segalanya. "Aku sudah memaafkannya, Ad. I didn't tell Ares and so far, it's okay."
Adrian meringis – ada dilema yang tergambar jelas dalam sorot matanya. Ini sangat jauh berbeda dari obrolan-obrolan kami yang biasanya penuh tawa dan canda. Ini terlalu kaku dan membuatku tegang.
And I sense so called farewell thing.
"Ini terlalu cepat dari rencana, tapi, aku akan pulang ke Ohio lusa besok untuk mengurus surat pengunduran diri dari Ohio Newspaper,"* paparnya sendu yang langsung membuatku terhenyak kaget. "Itu karena aku baru menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 dan universitas itu menawarkan sebuah pekerjaan. Sayangnya, itu membuatku harus melepas pekerjaan di sini—"
"K-Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. "KAMU UDAH SUSAH PAYAH BUAT JADI
JURNALIS, AD! Itu cita-cita kamu, kan? ITU MIMPI KAMU, KAN?"
"But, now, it's nothing without you," sambarnya cepat. "Sebelum bertemu kamu, yang ada di pikiranku hanya bagaimana meraih mimpi itu. I was an obsessive robot. I was careless with my heart. And then YOU came into my life! Kamu memperkenalkan semuanya. Tentang hati yang rapuh. Tentang hati
yang yang sewaktu-waktu bisa membeku jika tidak pernah disentuh oleh sebuah perasaan."
Adrian malah menarik tanganku saat aku akan melepaskannya. Mata kami bertemu dan tanpa kacamatanya, aku bisa membaca setiap sorot yang dia berikan dengan jelas.
"Aku belum pernah seperhatian ini dengan seseorang," katanya lebih lembut.
"Dan aku belum pernah setakut ini untuk kehilangan seseorang."
"Terus, kenapa kamu malah mutusin buat ninggalin aku?" tanyaku kemudian.
"Kalau kamu takut untuk kehilangan, kenapa kamu malah menjauh dariku?"
Dia menghela nafas panjang. "Aku nggak akan ninggalin kamu sepenuhnya. Tapi, kalau kamu mau, aku akan melakukannya. It's you who will decide."
"A-Apa?"
"Dengar, ini mungkin akan seperti tekanan klasik." Adrian menatapku semakin dalam. "Selama dua hari ke depan, pikirkanlah keputusan yang ingin kamu ambil. Kamu tahu sendiri aku selama ini nggak pernah bercanda dengan perasaan ini." Kemudian, dia kembali menempelkan telapak tanganku pada dada
kirinya. "Di sini masih kosong. Aku hanya akan pergi dari kehidupan kamu sepenuhnya kalau kamu yang memintanya. Then, I'll stop to love you."
Terdengar mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya menunggu seperti yang Adrian lakukan. Tapi, tentu saja dia tidak menunggu dalam diam. Selama dua tahun, dia tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya padaku dan aku tahu, dia melakukannya karena berharap... aku bisa bisa membalasnya.
Semakin lama, aku tidak menyangkal perasaannya bukan main-main. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan harapan palsu.
"Dengar, jangan kasihani aku untuk masalah ini," pinta Adrian sungguh-sungguh. "You really mean a lot to me. Seandainya aku bisa menunjukannya dengan sesuatu, Dita, but nothing compares it. Nothing
compares you."
Aku mendesah frustasi begitu merasakan debar jantungnya yang semakin cepat. Ini sudah lebih cukup bagiku.
"Stop talking," pintaku lirih. "Kamu benar-benar memberikan tekanan."
Adrian mengangguk patuh, kemudian melepaskan tanganku. Hah, aku tidak habis pikir, kenapa wanita selalu butuh waktu untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan?
"Aku akan menunggu," bisiknya lembut. "Lusa, Dita, dan selama dua hari ini,
aku nggak akan ngeganggu kamu."
"Tunggu!" cegahku sebelum dia berdiri. "Kacamata kamu ke mana? Was it... really broken?"
"Ya dan aku memutuskan untuk memakai lensa kontak," jawab Adrian sekenanya.
"It also helps me to see your beautiful eyes."
Kemudian, Adrian beranjak dari sofa – kembali menutup lukanya dan memakai mantel. Aku melangkah lambat-lambat di belakang. Sebuah pertanyaan muncul dalam pikiranku; kenapa dia tidak memutuskannya sendiri? Kenapa harus... aku?
"Karena aku peduli dengan kamu, Dita," katanya tiba-tiba – seolah-olah baru membaca pikiranku. "Aku nggak mau membuat kedua belah pihak menyesal nantinya."
Setelah itu, Adrian pergi tanpa menatapku sama sekali. Sempat tergoda untuk berlari dan menahannya dengan pelukan dari belakang. Tapi, kakiku terpaku erat dan aku hanya bisa menatap kepergiannya dari ambang pintu.
Hanya ada dua orang yang bisa membantuku saat ini...


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Wednesday, 5 October 2011

#24: Denial (pt 2)



Delapan hari berlalu. Adrian belum menemuiku.
Sebenarnya, aku bisa saja pergi ke Brooklyn dan datang ke apartemennya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tapi, akhir-akhir ini, ada banyak berita yang mengabarkan tindak kriminalitas sedang meningkat di sana dan membuatku parno. Menelepon? Jangan tanya sebesar apa gengsiku untuk melakukannya!
Jadi, aku hanya berkutat di apartemen atau jalan-jalan di Central Park. Aku memutuskan untuk membalas beberapa email penggemar – juga membalas postcard Yudika. Kami bertukar kabar lewat  email  dan aku senang membacanya – he's truly happy now with her. Iya, Yudika akhirnya berkencan dengan Tomomi.
Tapi, hari ini, aku memintanya untuk ngobrol via Skype. Aku tidak tahan untuk menceritakan hubunganku dengan Ares yang kurang menyenangkan setelah putus.
"Kayaknya aku kena karma, deh," keluhku sambil bertopang dagu. Yudika, yang terlihat berbeda dengan kulit cokelat terbakar matahari, menyimak dengan tatapan penasaran. "I mean, ya, ngejar-ngejar masa lalu."
Dia tiba-tiba tergelak lepas. "Aku malah mikir kamu nggak kena karma sama sekali. Kasusnya jelas beda, Dit. Aku dulu ngejar-ngejar kamu tapi kita nggak pernah pacaran sebelumnya. Sementara dengan Ares... kalian berdua kan pacaran dulu. It's about the relationship!"
Bola mataku berputar. "Tapi, temanya tetep ngejar masa lalu!"
"Damn you, author!" *Yudika berdecak tidak setuju. "Oke, just ask what you want to, Cupid."
"Umh..." Kepalaku tertunduk sejenak. "Setelah open mic itu, apa yang kamu rasakan? How could you move on after that?"
Sebuah senyuman tipis melengkung di wajahnya. "Awalnya memang sulit. aku nggak bisa ngelepas kamu semudah itu, but you loved him so much, I could feel that. Lalu, meski aku nggak suka sama Ares, ada satu ucapannya yang malah memotivasiku untuk cepat bangkit."
Alisku terangkat. "Apa?"
"Untuk apa terus mengejar Dita sementara di sekitar kamu, atau malah di samping kamu, ada orang yang lebih peduli!" Kami tertawa sejenak. Ini pasti bagian pertengkaran mereka yang tidak kusaksikan. "Orang yang lebih peduli– that person is Momo. Aku sempat beranggapan rasanya sulit untuk mencintai orang lain. Tapi, dia nggak menyerah begitu saja. Bahkan waktu dia diutus ke Afrika dan diperbolehkan untuk membawa satu rekan kerja, she chose me, because she knew I'd really want to go. Aku mulai membuka hati dari sana."
"Nice story." Aku membayangkan mereka berdua kencan di tengah padang rumput Afrika – di bawah sinar mataharinya yang panas. "She finally set you free from love blindness."
Alisnya bertaut. "Hmm, aku malah berpikir kalau selama ini, sebenarnya bukan cinta yang membuat kita 'buta' – ini kan hanya sebuah perasaan. Mungkin faktor sebenarnya adalah karena kita tertekan dalam sebuah kondisi. Hei, seseorang bisa jadi baik atau jahat dalam situasi yang terdesak, kan?"
Kepalaku mengangguk setuju. "Jadi, apa menurut kamu aku harus membuka hati untuk orang lain?"
"Well, Dita, Athena's Diary sempat ditolak empat penerbit sebelum akhirnya diterima dengan penerbit yang tepat dan mengantarkan kamu dalam kesuksesan ini, kan?" katanya dengan mata berbinar. "*hat's also the way you'll meet your Mr.Right. Kamu akan gagal dulu, belajar memperbaikinya, sampai menemukan dia yang membuat kamu merasakan takut akan kehilangan yang sangat. He's the one who makes you feel that a half of your life is owned by him. Soulmate*."
Oke. Wow. Yudika ini sebenarnya dokter spesialis perasaan, ya?
"Such a deep 'speech'," komentarku yang disambut tawa ringan khasnya. "Thanks, Yudika."
"No, thanks, Dita," potongnya cepat, "* learnt from you."
Aku diam mematung. Emh, ini aneh. Kenapa cowok-cowok ini, yang pernah mengisi masa laluku, mengucapkan terima kasih setelah belajar dari perjuanganku melepaskan mereka?


***




~ (oleh @erlinberlin13)

Tuesday, 4 October 2011

#23 Denial (pt 1)

That awful memory of yours
 What blessing, what a curse
And all our confessing forgotten every word we're saying
From the womb, I heard my name on your lips
It sounds the same
As the many times I've ignored since that day...
(That Awful Memory of Yours – Copeland)


Tidak ada band yang bisa menandingi Copeland bagiku. Bahkan, setelah lima tahun sejak bubar, lagu-lagu mereka tidak pernah membosankan dan sanggup menemaniku dalam situasi apapun.
Termasuk situasi ini. Situasi di mana semuanya berwarna abu-abu.
Ponselku sengaja tidak diaktifkan selama empat hari terakhir untuk menghindari panggilan apapun dan dari siapapun. Satu hari setelah konser itu, aku sempat demam, tapi sanggup bertahan sampai sembuh dan memutuskan untuk tidak keluar dari apartemen.
Hah, selalu begini! Tapi, aku tidak bisa menerima dengan apa yang dilakukan Adrian! Kenapa dia menghalangi pertemuanku dan Ares di Norfolk?! Apa dia ketakutan atau terlalu cemburu?
Seseorang mengetuk pintu. Aku cukup tenang karena itu hanya kurir yang mengantarkan postcard. Namun, tiba-tiba saja aku jadi ingat—AH! Mataku kemudian membaca siapa pengirimnya – Yudika Firdiyantoro. Postcard-nya kali ini adalah pemandangan savana di Afrika dengan zebra, jerapah, dan singa di dalamnya.
Di baliknya ada sebuah surat juga. Antara penasaran dan gelisah, aku membacanya.
--
Hi, Cupid!
It seemed like I was too cold at the first letter :)
Well, aku belum mengucapkan selamat atas kesuksesan "Athena's Diary". Momo baru membelinya via online dan beberapa hari lalu, aku baru selesai membacanya. Still the awesome you, aku tidak pernah meragukan kemampuan kamu
dalam menulis. :D

Hmm, tapi ada satu hal lain yang mengejutkanku. I checked your personal blog and there was so many people who asked about an article in New York Times. Aku baru cek di situsnya dan menemukan artikel yang dimaksud, "Past in Present" – ditulis oleh Ares. It shocked me, by the way; apa dia menulis artikel itu atas sepengetahuan kamu?
Ah, well, I'm not good enough at writing a letter. Reply anytime? Maybe with another postcard or leave an email for me.
* *
Regards,
-y


Aku ingin sekali membalasnya, tapi... ah, it's not the right time.
Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu apartemenku. Siapa lagi? Aku menyeret kaki ke arah pintu dan membuka pintu tanpa mengecek siapa yang datang karena terlalu malas. Sialnya, ternyata itu bukan keputusan yang bagus.
Aku mematung di ambang pintu. Ares.
"Oh, God, thanks!" serunya dengan wajah lega. "NYT baru menerima berita kalau ada seorang gadis yang tewas di apartemen, I'm worried if—ah, lupakan! Glad to see you're okay!"
"Ayo masuk," sambutku singkat.
Ares membawakanku makanan karena mengkhawatirkan kondisiku. Apalagi setelah teleponnya tidak diangkat beberapa kali. Hmm, aku jadi tergoda untuk mengaktifkan ponsel untuk mengecek berapa panggilan darinya yang masuk.
Kami duduk di meja makan. Sementara aku mencari topik pembicaraan, Ares mengeluarkan makanan yang dia bawa – beberapa roti kering dan kue cokelat.
"Ares," kataku akhirnya, "soal tiket itu, aku minta maaf. Kamu pasti ngeluarin banyak uang untuk itu, biar aku bayar—"
"Jangan, Dita!" larangnya. "Sebenernya, aku nggak ngeluarin uang sepeser pun untuk tiket-tiket itu. Those are my birthday presents from... Eris."
Aku melongo. Ulang tahun? "K-Kapan? I mean, your birthday?"
"Sepuluh hari setelah ulang tahun kamu. Eris memberinya karena... dia menganggap ada sesuatu yang belum selesai di antara kita – khususnya dengan hubungan kita dulu. She wanted both of us to retrace it all,"  paparnya sambil menyodorkanku roti dan kue. "Tapi, aku masih nggak ngerti... kenapa amplopnya nggak ada di paket itu, ya? Apa jatuh?"
Aku bisa saja mengadu kalau Adrian yang menyembunyikannya. Tapi, itu berarti aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara aku dan dia. Sementara saat ini, aku masih terlalu sakit dengan perlakuan Adrian. Biar saja Ares tahu aku dan dia hanya teman sejak di bangku kuliah.
"Kayaknya sih jatuh," kataku sambil menikmati kue cokelat – pura-pura ikut bingung. Tapi, aku semakin rikuh karena Ares menatapku dalam dan penuh selidik.
"Kalian bertengkar?" tanyanya tiba-tiba.
"Bertengkar? Siapa yang bertengkar?!" Aku curiga kalau Ares juga berprofesi sebagai cenayang. Kenapa dia jadi sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan, sih?
Dia tersenyum kecil. "Sama siapa lagi? Adrian, kan?"
"Kamu ngomong apa, sih?"
Kemudian, dia menggeser kursinya ke sisi meja lain; di sampingku. Sementara aku menenggelamkan kepala ke dalam sweatshirt seperti seekor kura-kura.
Ares terkekeh, lalu menarik tanganku.

"Sebentar," bisiknya, "aku mau tes sesuatu."
Dia mencondongkan tubuhnya mendekat dan tanpa basa-basi mencium bibirku.
Awalnya, aku mengira akan ada sensasi aliran listrik dari ujung kaki ke ujung kepala yang membuat akal sehatku hilang dalam satu detik. Tapi, entah kenapa, otakku malah memberi perintah untuk mendorong Ares untuk menjauh.

Nampaknya, Ares sudah mengetahui hal ini. Karena dia tidak mengikuti kemauanku dan mengakhiri ciumannya.
"Just because we're not dating, you can't hide anything from me," ujarnya santai. "Well, you just did a denial,* Jardine." 
Aku terperangah kaget. Penyangkalan... atas apa? Penyangkalan ini seperti sudah di­-setting oleh otakku. Apa sugesti itu—"Ar..." Aku kembali menutup mulut – kenapa jadi sulit sekali untuk menjelaskannya. "Hah, aku nggak tahu harus ngomong apa! Everything seems messing my life!"
"Kalau gitu, boleh aku lanjutin dulu?"
Kepalaku mengangguk.
Ares termenung sejenak, kemudian tangannya menggenggam jemariku hangat.
"Dita,
let's move on," ujarnya lembut, namun menohok. "Jujur, aku juga sebenarnya ingin hubungan kita kembali setelah kita bertemu di Wal-Mart itu. I couldn't sleep without thinking of you first. Tapi, kemudian aku berpikir kamu cukup kuat untuk menghadapinya. Terlebih lagi, ada satu hal yang selalu aku ingat; you can't love a person who hurts you twice."
Aku tidak percaya dia mengingatnya dengan baik.
"Jadi, dari sana, aku juga mulai maju. Bahkan, semakin optimis saat bertemu dengan Adrian di Café Lalo waktu itu." Salah satu alisnya terangkat. "Well, I know that testing a woman through her heart could hurt. But, that night when we made out, I felt something different. Ada orang lain yang kamu pikirkan. Kamu mengkhawatirkannya dan itu bukan aku." 
Mataku memicing tajam padanya. "Kamu pikir aku mengkhawatirkan Adrian, Ar? Demi apa?!"
"Demi apa yang kamu bilang barusan. Aku nggak tahu kalau kamu ternyata mengkhawatirkan dia," sambutnya cepat yang membuatku salah tingkah. "Ya, aku nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya di antara kalian selain teman sejak kuliah. Aku nggak maksa kamu buat cerita. Tapi, kalau seandainya memang benar, I guess he's helped you much."
Aku tidak suka dikalahkan dengan logika.
"So, would you?" tangannya semakin erat meremas jemariku. "Would you like to get over it? Karena, aku sebenarnya belajar dari kamu, Dita. I remember those days when you struggled to make your ex massive crush moving on. Aku ingin bisa setegar dan sekuat itu. You're such a, such a tough person. Strongest girl I've ever met."
Mataku memanas dan satu persatu, bulir mata itu jatuh di atas punggung tangan Ares. Setelah dia memaparkan semuanya, aku merasa sia-sia. Bahkan, ketika bayangan Adrian muncul, aku tidak lagi mengenyahkannya.
"Masa lalu memang tidak selamanya indah," ujar Ares sambil menyeka air matanya. "But, if you want to learn it for real, you can make your future better*."
Kepalaku menengadah untuk menatap mata Ares. Mata hijau kecokelatannya yang pernah menghangatkan hatiku. Apa sebenarnya... perasaaku yang sudah mulai terkikis?
Dia tersenyum manis. "I know you easily forgive someone's mistake."
Kemudian, Ares memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.


Remember Harbor Boulevard
 The dreaming days where the mess was made
 Look how all the kids have grown
 We have changed but we're still the same
 After all that we've been through, I know we're cool
(Cool – Gwen Stefani)


***


~ (oleh @erlinberlin13)

Monday, 3 October 2011

#22: Retrace (pt 2)

Brooklyn adalah salah satu kota terpadat selain New York dan Manhattan. Letaknya yang berada di kawasan Long Island memungkinkanku melewati Brooklyn Bridge yang menjadi penyambung kawasan Manhattan dan Brooklyn. Pemandangan Sungai East juga menghibur mataku. Rumah Adrian yang sudah direnovasi terletak tidak jauh dari Sungai East dan jalan raya. Meski masuk sebagai salah satu wilayah terpadat, aku tidak melihat banyak kendaraan dan orang-orang melintas di sini.
"Home sweet home!" seru Adrian begitu membuka pintunya. "Gimana? Bagus, kan?"
Mataku terpaku memandang wallpaper berwarna biru laut dengan corak abstrak. Beberapa perabotannya masih ditutupi plastik, hanya dapur saja yang perabotannya sudah siap untuk dipakai.
"Ada berapa kamar di sini?" tanyaku penasaran. Rumah ini tidak seluas rumah Ares di Norfolk dan terhimpit dengan rumah-rumah lainnya.
"Baru dua. Appa rencananya mau renovasi lagi rumah ini jadi dua lantai," jawab Adrian. "Tapi, kurasa, begitu menikah nanti, aku nggak mau tinggal di sini."
Alisku terangkat. "Kenapa?"
Matanya melirik padaku. "Kamu mau tinggal di sini?"
Aku diam termenung dan mengolah maksud dari pertanyaannya itu. "EH? APA? You want to marry me?* HAH!"
Kami tergelak selama beberapa detik, sebelum Adrian mempersiapkan makan malam. Aku tahu, ada sebagian dari diri Adrian yang menganggap pertanyaan tadi serius. Tapi, aku belum bisa menjawabnya. Aku masih butuh waktu.
"Dita," katanya setelah kami selesai makan, "I wanna ask you something."
"Apa?"
"How much Ares means a lot to you?"
Such a deep question, with a deep answer too. Bibirku mengulum; memikirkan jawaban apa yang tidak panjang, tapi cukup mengena. "He means a lot to me. Maksudku, Ares... dia adalah orang pertama yang tanpa banyak basa-basi ingin menjalin hubungan denganku. Bagi wanita, tidak ada perasaan yang lebih menyentuh dibanding dengan dicintai seseorang yang berarti baginya. Meski pada akhirnya, aku tahu dia tidak mencintaiku sepenuhnya. Tapi, tetap, dia pernah berada di hatiku."
"With all the imperfections he has?"
Aku mengangguk mantap.
Adrian menghela nafas panjang; jari-jarinya mengetuk meja dengan gelisah.
"Bagaimana kalau seandainya dia menawarkan kesempatan kedua?"
Déjà vu. Aku ingat Adrian pernah menanyakan hal ini dua tahun yang lalu.
Jawabannya jelas berbeda. Mataku menatapnya lebih lama dan membuat Adrian salah tingkah.
"Tolong, Dita, jangan jawab pertanyaan ini karena ada aku," pintanya dengan senyum getir. Tapi, menurutku, ada atau tanpa Adrian, jawabannya memang akan selalu berubah.
Tapi, aku juga bukan Yudika – aku bukan orang yang seobsesif itu. Hatiku memang meronta-ronta saat bertemu Ares dua tahun yang lalu di Wal-Mart. Aku masih berpikir kami bisa kembali setelah bertemu di apartemen Ares. Namun, aku tetap tidak bisa mencintai orang yang pernah menyakiti perasaanku dua kali.
Ponselku berdering; memecah keheningan. Dari Ares.
Mataku mengerling pada Adrian sejenak. "H-Halo?"
"Dita? Kamu ada dimana sekarang?"
Telingaku menangkap keriuhan di belakangnya. Bukan suara hujan, tapi orang-orang yang sedang berteriak. Mataku membelalak. Crowd konser?
Kamu nggak tahu hari ini dia pergi ke Norfolk?
Apa dia sedang berada di The NorVa?
"Dita?" ulangnya lagi.
"Ar, aku ada di Brooklyn, kenapa?" Adrian beranjak dari kursi dan pergi ke ruang tamu untuk memberi privasi. Atau mungkin merasa terintimidasi. "K-Kamu di mana?"
Tidak ada jawaban sejenak selain koor panjang dari orang-orang di sana.
"Jangan tutup teleponnya."
Keriuhan itu melemah ketika seseorang mengetuk-ngetuk mic dan dugaanku bahwa Ares sedang berada di tengah konser semakin kuat saat suara gitar dan drum terdengar di sana. Kemudian, orang tadi – laki-laki – bicara, "I hope you all now aren't in a broken hearted feeling. Because, this song will, yeah, probably kill you in a second."
Ada beberapa orang yang tertawa dan orang itu melanjutkan, "We're gonna play it in acoustic. This song is called Retrace."
Dahiku mengerut. Retrace? Anberlin? Ares di konser Anberlin?
Orang tadi pasti Stephen Christian.
Intro lagu mulai dimainkan. Jariku mati rasa.
*Oh how I've tried to get you out of my head
*And I lied, the broken words I said
*Never thought I'd walk on this street again
*Standing where it all began*
Rintik hujan mereda dan sayup-sayup, aku bisa mendengarkan Stephen menyanyikan lagunya. Well, aku sebenarnya bukan penggemar Anberlin, tapi ada beberapa lagu mereka yang aku sukai. Salah satunya Retrace dan entah kenapa, aku merasa Ares sengaja memintaku untuk mendengarkan lagu ini.
Seperti yang dia lakukan di konser We Are the in Crowd.
Oke, should I notice something on the lyrics?
*Oh how now I find, every subtle thing screams your name
*It reminds me of places and times we shared
*Couldn't I've locked in these memories
* Now I'm chained to my thoughts again
Rasanya ada panah tak terlihat yang menembus jantungku dari belakang.
Air mataku meleleh dan punggungku merosot di kursi seperti lemas kehabisan tenaga. Tanganku hampir saja melepas ponsel, tapi kemudian aku menggenggamnya semakin kuat. Ares memang sengaja pergi ke Norfolk. A place where we met. A place where we shared our love. A place where we separated.
Did he retrace our memories? For what?
Ares belum mengatakan sepatah kata pun – padahal aku yakin dia bisa mendengar isakanku yang semakin keras. Sementara Stephen terus bernyanyi bersama para penonton.
Di paruh terakhir lagu, aku hampir seperti orang yang kehabisan oksigen.
*And nowhere else has ever felt like home
*And I can't fall asleep when I'm lying here alone
*I replay your voice, it's like you're here
*You moved the earth, but now the sky is falling...
*Retrace the place we took on that lost summer night
*In my mind, I'm back by your side
*Retrace the steps we took when we met
*worlds away, counting backwards while the stars are falling...
Tepuk tangan bergemuruh – menyaingi suara isakanku.
"Still there, Aphrodite?" tanyanya khawatir.
Dengan susah payah, aku menjawab, "M-Maksud kamu apa, Ar?"
"Tunggu sebentar."
Sambil menunggu Ares bicara lagi, tanganku menarik tisu dari kotaknya di atas meja untuk menghapus air mataku. Saat Ares kembali, keriuhan konser tadi sudah hilang. Aku rasa, dia sengaja pergi ke luar dari venue agar bisa mendengar suaraku dengan jelas.
"Kamu udah buka paket yang aku kasih?"
"I-Iya. Kenapa?" Uh, kok malah nanyain paket, sih?
Ares menggumam sejenak. "What did you get?"
"Mug, kacang giling... itu aja." Sekarang aku jadi penasaran. "Emang ada apa lagi?"
"Cuma itu?" Dari suaranya, Ares terdengar sangat kaget. "Well, in case you din't find or notice, there was a blue envelope. *Di dalamnya... ada tiket konser Anberlin malam ini di The NorVa."*
Seketika itu juga, punggungku tegak kembali. "A-Aku nggak nemu, Ar."
Dia menarik nafas panjang dan menciptakan keheningan yang panjang selama satu menit. "Seharian ini, aku nunggu telepon dari kamu. Berharap kamu nanya maksud aku ngasih tiket itu. Tapi, sampai aku di Norfolk... I didn't get you message or call. Aku pikir, kamu memang sudah melupakan semuanya,
terlebih lagi waktu liat kamu dengan dia di apartemen."

Kepalaku menoleh ke belakang. Mana Adrian?
"I just wanted to retrace it all. Memastikan apa yang kita putuskan dua tahun yang lalu itu... memang benar."
Tenggorokanku tiba-tiba seperti tercekik saat akan menyanggahnya. Aku ingin menjelaskan apa yang Ares lihat di apartemen siang itu hanya salah paham belaka! Tapi, tidak bisa. Ada sesuatu yang menahanku untuk terus diam.
"Aku pikir," katanya lagi, "itu memang keputusan yang tepat."
Kepalaku menggeleng lemah – tapi aku tahu dia tidak bisa melihatnya.
"Tapi, aku senang bisa melihat kamu sebahagai sekarang, Dita. It seems like that guy could give you everything you want and need."
"Ares—"
"I loved you," interupsinya cepat, "glad to know I once told you this."
"Ar..."
"See you there!"
Telepon terputus dan aku kembali bergeming bersama hujan. Perlahan, aku membaringkan kepalaku di atas meja. Kehabisan tenaga karena terlalu lama menangis.
Amplop? Amplop apa yang Ares maksud?
"I'm such a devil."
Kepalaku terangkat kembali. Adrian keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan menghampiriku. Di tangannya, aku melihat ada sesuatu yang—OH! Aku langsung berdiri dan melangkah mundur; menjauhinya.
"Ad?" desisku tajam. "Was it YOU?"
Dia meletakkan amplop berwarna biru itu di atas meja. "It was me who stole it while you ch—"
PLAK!
Adrian tertegun saat aku menamparnya keras sampai kacamatanya terjatuh dan retak di lantai. Matanya terarah padaku, tapi aku tidak peduli dengan apa yang dia rasakan sekarang. Tanganku meraup amplop itu dan membuka untuk mengetahui apa isinya – ada tiket konser Anberlin dan... satu tiket pesawat
ke Norfolk!!!
"Dita—"
"Adrian Choi yang aku kenal adalah pria baik yang sopan, bertanggung jawab..." potongku cepat dan terus berusaha menjauh saat dia mendekat.
"Kamu... kamu bukan dia! Kamu bukan Adrian Choi. KAMU PENGECUT!!!"
"Let me explain—"
"NO!" *hardikku keras. "JANGAN PERNAH DATANG APALAGI BICARA DENGANKU!"
Tanpa banyak bicara lagi, aku meraih tas dan scarf*, kemudian berlari keluar dari rumah Adrian. Aku mengenyahkan hujan yang masih turun maupun teriakannya di belakangku.
Karena, yang ada di pikiranku hanya satu: Ares.


***


~ (oleh @erlinberlin13)