Warung Bebas
Showing posts with label Halo Kaleidoskop Hujan. Show all posts
Showing posts with label Halo Kaleidoskop Hujan. Show all posts

Friday, 30 September 2011

#5: Hola Absurdia!

Absurd dan pertanda. Entah kenapa dua kata itu begitu menarik perhatianku. Oknum yang disinyalir memiliki keganjilan dalam batas kewajaranku selalu berhasil memasuki ruang imajinerku, berkomplot dengan spektrum-spektrum cahaya untuk menembus alam bawah sadar seorang Mirabilly Shialava. Tak terkecuali Rianda, pria ajaib yang kutemui di gerbong satu kereta Subuh Bandung - Jakarta.

"Wah, Mbak Mirabilly udah dateng dong, pagi banget." Pria berkumis berperut agak tambun itu membuyarkan lamunanku. Aku biasa memanggilnya Mas Udin. Ia selalu menjadi teman berbincangku bila kawan-kawan sekelasku belum datang.

Mas Udin adalah seorang tata usaha di gedung ini alias karyawan sibuk. Gedung berinterior serba putih ini merupakan tempat tujuanku setiap hari Sabtu tiba. Sebuah sekolah di bawah naungan kantor berita pertama di Indonesia, tempat para jurnalis handal lahir. Mochtar Lubis salah satunya. Bahkan namanya pun diabadikan dalam sebuah nama penghargaan, Mochtar Lubis Award, seperti Pulitzer Prize – sebuah penghargaan internasional tertinggi dalam bidang jurnalistik, bahasa dan seni. I do want it so bad!

"Hari ini materinya apa Mas Udin? Gurunya Kang Dadan ya?"

"Iya Mbak Billy, hari ini materinya apresiasi seni dan budaya Mbak, liputan keluar sih kata Kang Dadan,"

"Wah, kemana emang liputannya?"

"Ke Galeri Nasional kayanya, lagi ada pameran seni-seni gitu tuh."

"Oh ya? GalNas? Lukisan? Karya seniman senior gitu kah?"

"Bukan, katanya sih campuran gitu, karya seorang seniman muda, judul pamerannya : Absurdia."

Nice. Sekali lagi kosa kata itu menghantui hariku. Menyedot setengah dari penglihatanku, menuju bayang-bayang spektrum yang bergumul, berkomplot untuk membentuk sosok-sosok absurd yang pernah bernaung di pikiranku. Salah satunya Rianda. Hebat, pria gerbong satu itu sudah mulai menetap dalam otak kecilku. Absurd, ya, pria itu sudah mulai sedikit-sedikit mengalahkan posisi Rega dalam benakku. Rianda. Kamu absurd dan luar biasa.

***
Aksara Sunda kuno setinggi bahu di depan gerbang masuk GalNas ini begitu mengusik perhatianku. Terbuat dari bahan suede (sejenis material penutup sofa atau untuk bahan membuat sepatu), artwork ini menciptakan sebuah kombinasi antara sifat kasar, halus dan terlihat gagah. Seni instalasi, sebuah bentuk artwork yang sangat aku kagumi. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, mataku berbinar-binar menatap sebentuk unik yang berdiri kokoh di depanku. 

"Kamu suka yang kaya gini Bill?" ujar Virsa, salah satu teman sekelasku dalam sekolah jurnalistik ternama di Indonesia ini.

"Gimana lagi, Vir, empat setengah tahun saya hidup dalam rasa cinta sama seni instalasi, gimana nggak bakalan kagum parah coba?" Mulutku menjawab, pandanganku masih menerawang, menelusuri instalasi-instalasi cantik yang tersebar di gerbang area galeri.

"Ini aksara Sunda lho, kemarin saya udah nanya ke senimannya, dia bilang artinya janggal," ungkap Kang Dadan sembari membidikkan kamera SLR kesayangannya ke arah artwork unik itu.

"Pantes deh nama pamerannya Absurdia."

"Jadi penasaran deh, siapa sih seniman di balik pameran ini?"

Ya, suara-suara itu seakan berkumpul dan bergerombol, menggema dalam dimensi dunia psychedelic milikku, yang mulai melayang-layang, menjadi backsound untuk ruang batas antara mimpi dan kenyataan. Karya-karya manusia tak dikenal ini telah membuatku memasuki blackhole kembali. Membangkitkan kenangan dan perasaan terpendamku pada seni instalasi yang seakan terlupakan. I love this kind of art!

Lamunanku sedikit terbuyarkan, saat Ganes – salah satu teman sekelasku – menepuk pelan bahuku, dan berkata, "Nama senimannya R. Pranata, Bill, tuh camkan, siapa tau cocok sama kamu, daripada bermuram durja mulu!"

"Ahaha, sial! Ga kali Nes, tega banget sih, kayanya orang ini udah banyak makan asam garam deh. Kamu nyuruh saya pacaran sama om-om ya?"

"Ya kali, Bill, kamu kan sukanya yang aneh-aneh."

Sial, Ganes sialan! Memang sih, rasa penasaran sang seniman di balik pameran Absurdia ini cukup menghantui pikiranku, kembali membuat tubuh dalam dimensi bayanganku seringan kapas, terbang menyusuri lautan masa lalu yang sudah lama tersimpan, tertutupi program-program berjudul Microsoft Office dan kertas berhamburan. Sepertinya aku memang harus berterimakasih langsung pada Mas Pranata yang entah wujudnya seperti apa. Setidaknya, ia telah menghadirkan kembali kata-kata absurd dan seni yang telah kulupakan bertahun-tahun lalu. 


***

Galeri itu dipenuhi artwork cantik yang diletakkan dengan sangat apik. Mas Pranata sangat pintar menatanya, sehingga ambience berbeda didapat saat melangkahkan kaki di ruangan ini. Kutelusuri satu per satu. Pria absurd ini selalu menyuntikkan unsur luar angkasa ke dalam karya-karyanya.

Astronot, alien yang dibentuk seperti salah satu tokoh perwayangan bahkan istana cuaca pun ada di sana. Ah, istana cuaca, salah satunya adalah kerajaan hujan. Dan, terpampang rapi, sebuah kaleidoskop raksasa di sana. Damn, Mas atau Om atau Pak Pranata, seolah-olah isi dari pameran ini mencerminkan isi otakku. Hujan, kaleidoskop, absurd. I owe you so much, dear Mysterious artist!

"BIODATA". Entah karena tulisan itu begitu besar, ataukah warnanya terlalu cerah, atau juga memang kosa kata itulah yang sedang aku cari di seantero ruangan galeri ini. Biodata, data pribadi. Pastinya, di sana akan terpampang, siapakah sebenarnya Mas Pranata yang absurd ini.

Nama : R. Pranata Priya

Nama yang cukup aneh. Jelas-jelas Mas Pranata berjenis kelamin pria. Untuk apa masih ada kata "Priya" di belakangnya. Huruf R yang bertengger di depannya pun masih misteri. Mungkinkah sebenarnya dia memiliki turunan Raden alias darah bangsawan?

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung, 15 Oktober 1985

Wow, Bandung? Dia jelas-jelas lahir di Bandung, orang mengagumkan ini memiliki tanah kelahiran yang sama denganku, seorang Mirabilly.

Prestasi :
-    Pameran Seni Kontemporer di London
-    Pameran Seniman Kontemporer Asia Pasifik di Singapura


Masih berderet panjang kolom prestasi yang ia miliki, sungguh, Mas Pranata ini memang mengagumkan. Mataku seakan tercengang melihat deretan penghargaan dan pameran yang pernah ia ikuti. He's awesome!


Baiklah, Absurdia! Pameran ini sukses sekali membuatku penasaran dengan Mas Pranata, seorang seniman yang gemar memasukkan nilai-nilai absurd ke dalam mahakaryanya. Tentunya, rasa penasaran ini kembali menjangkitiku, setelah rasa sesak yang terjadi saat aku kehilangan sang pria gerbong satu, Rianda.

Aneh. Kenapa aku bisa mendadak penasaran dengan dua sosok berbeda, dalam waktu yang cukup bersamaan. Apakah ini sebuah bentuk melarikan diri dari bayangan kutukan gerimis milik Rega? Tadi Rianda, sekarang Mas Pranata. What's wrong with me?


***

"Maaf Mas, kalo Mas Pranatanya ada?" tanyaku pada salah seorang panitia yang berjaga di sana.

"Mas Pranata masih di jalan, Mbak. Maaf, kalau boleh tahu, Mbak darimana ya?"

"Oh, saya Mirabilly, ada tugas dari sekolah jurnalistik saya, untuk berbincang sedikit dengan Mas Pranata."

"Oke, Mbak, nanti saya sampaikan ya, sebentar lagi sampai kok."

Ah, baiklah, Mas Pranata. Kembali aku harus menunggu dan meredam rasa penasaranku ini. Aku tak tahu, seperti apakah bentuk dari Mas Pranata ini. Karya demi karya kuperhatikan hingga mendetail. Masih tentang luar angkasa, bumi, hujan, matahari. Tak ada satupun bentuk-bentuk kenarsisan dalam karya Mas Pranata ini. Bayangan tentang wajahnya pun sungguh abstrak.

Tiba-tiba, kulihat sorotan cahaya menuju arah sebuah lukisan. Aneh. Janggal. Ini seperti sebuah potret dirinya, dalam aliran lukisan kubisme, sebuah gerakan seni abad ke-20, menyerupai karya Pablo Picasso dan Georges Braque. Aku masih tak bisa menangkap sosoknya. Hanya tampak sedikit rupa kacamata, rambut panjang, dan yang pasti, ia lelaki.

Eh! Tunggu dulu! Guratan tanda tangan nyaris tak terlihat menghiasi kanvas setinggi badanku ini. Goresan milik Mas Pranata yang pasti. "Coretan ini begitu familiar, Mirabilly!" sepertinya pupil mataku berbisik demikian. Ya, tanda tangan ini terasa tak asing. Sangat tak asing.

Raden. Rindu. Ronda. Ah, déjà vu! Aku pernah mengalami hal ini beberapa jam yang lalu. Menatap lama sebuah guratan tangan bertuliskan nama. Ya, sekali lagi, mataku meyakinkan otakku, bahwa ini tanda tangan RIANDA.

I found love, didn't even know I needed it
But I found love, never even crossed my mind
#nowplaying Free Design - I Found Love



-bersambung-




~ (oleh @heykandela)

Sunday, 18 September 2011

Ini Ibukota, Dia Rianda

"Sebentar lagi Anda akan sampai di Stasiun Gambir Jakarta...."


Suara itu membangunkanku dari tidur lelap tanpa mimpi. Pemandangan kota Jakarta menghiasi jendela kaca yang semula menjadi kaleidoskop tercintaku. Mataku masih terlalu blur untuk menikmatinya. Samar. Keluarga mata sedang bersinkronisasi kembali, kembali dengan para syaraf2 manis setelah bangun dari tidurnya yang cukup, untuk kembali bekerja membantuku.


"Mbak, udah mau sampe Gambir," sayup-sayup suara itu hinggap di daun kupingku, menembus sang gendang telinga untuk kemudian dicerna oleh otakku.


Oh, sudah mau sampai Gambir ya. Eh! Kok ada orang di sebelah saya?? Sontak aku pun terkaget-kaget melihat sesosok pria menempati kursi sebelahku. Kursi F gerbong satu.


Si pria gerbong satu yang tersenyum hangat itu, dia duduk manis di sebelahku, sembari menggenggam tas selempang berwarna coklat ladu. Seemed old-fashioned but everlasting. Nice bag. But anyway, kenapa sampai pria ini ada di sebelahku?


"Eh, kamu kenapa disiniii???" Ujarku sedikit bernada tinggi saking shocknya.


"Ini handphonenya Mbak ketinggalan di WC," sambil tersenyum kecil, si pria misterius itu menggenggam smartphone hitam kesayanganku.


Ah, bodoh sekali memang, bahkan telepon selularku saja terlupakan gara-gara lamunanku tentang Rega, si pria pemberi kutukan gerimis itu. Kenapa juga harus tertinggal di kamar kecil tempat kubuang kenangan manis bersama Rega, dan kenapa juga harus sang pria ajaib ini yang menemukannya.


"Makasih yes.. Saya nggak sadar malah kalo handphone saya ketinggalan mas.."


"Padahal coba saya berniat jahat ya, mungkin aja handphone Mbak udah saya jual lagi, lumayan tau Mbak, hari ginii.."


"Untungnya Mas orang baek tapi kan? Haha, kalo nggak baek ngapain balikin handphone saya,"


"Siapa bilang gratis?"


"Lah, jadi bayar?"


"Bayar dong, hari gini nggak ada yg gratis Mbak,"


"Yah masa bayar sih???" ujarku kecewa. Agak-agak takut juga, masa iya dia seperti Mas-mas pembajak kereta api yang waktu itu sempat menimpa kereta api menuju Cirebon. Kalau iya, berarti saya penasaran dengan orang yang salah, damn!


"Mbak, bayarannya saya mau minta Milo kaleng yang ada di meja Mbak, boleh?"


Langsung kuperhatikan meja kecil di hadapanku. Ya, kaleng berwarna hijau itu memang terpampang di sana, tapi aku yakin itu bukan punyaku. Aku tak membeli apapun dari semenjak aku melangkahkan kaki di gerbong ini.


"Bu-bukan punya saya kok, Mas,"


Dia tampak mengacuhkan kata-kataku, sembari asyik mengeluarkan sesuatu dari tasnya, "Nah, ini kembaliannya, Mbak, kelebihan tuh bayarannya."


Pria aneh itu memberikan secarik kertas bergambar mirip dengan sketsa uang kertas Indonesia, hanya gambar pahlawannya diganti dengan sosok perempuan yang sedang terlelap, oh baiklah, itu aku. Mulut terbuka seperti ikan mau dipancing, bahkan ia membubuhkan kawat gigi dan juga tahi lalat di bawah kiri bibirku. Detail!


"Eh, kapan kamu ngegambarnya?"


"Ahaha, saya pernah mimpi ketemu sama orang persis kamu, ketinggalan tiket dan HP, ceroboh dan panikan, dan tukang ngelamun juga. Makanya saya apal banget raut muka kamu kaya apa."


"......."


Hening, aku tak tahu akan berkata apa. Ini cuma sekedar gombal. Mentang-mentang aku orang yang mudah luluh oleh pertanda alam, banyak orang yang memanfaatkan kebodohanku ini. Sejak Rega berlalu, aku tak percaya pertanda, semua itu seperti gombal bagiku.


But, anyway, darimana dia tahu bahwa aku tukang melamun?


"Nih, simpen ya Mbak, jangan ketinggalan tiket sama HP lagi, saya duluan ya, Gambir udah sampe tuh," dan pria misterius itu langsung berlalu bersama postman bag yang ia selempangkan. 


Otakku mulai lambat bekerja. Sepertinya asupan oksigenku kembali tersumbat untuk berjalan ke otak. Hati yang bermain di sini. Aku hanya bisa berdiam diri, speechless dan moveless.
Satu, dua, tiga....


Barulah tiga detik kemudian aku menyadari, pria itu hilang entah kemana dan aku tak sama sekali bertanya namanya, alamatnya, apapun tentangnya, sampai nomor kontaknya. Come on Billy, ini kan bukan jaman urdu yang belum mengenal teknologi handphone, internet, atau telepon. Damn, I've lost my superhero, again.


Kuambil tas selempangku dengan segera. Langsung saja kuarahkan langkahku menuju pintu keluar gerbong satu ini. Sang pria penyelamat di dalamnya sudah raib entah kemana. Otakku pun terlampau terlambat mencernanya. Bodoh, bedon, tolol!


Sempat kuputari daerah sekitar gerbong-gerbong itu, pria berambut terikat berkostum T-Shirt tye dye gambar Beatles, blue jeans dan converse hitam putih. Damn, he's actually gone!! Tak ada penampakan seperti itu di antara orang-orang sebanyak ini.


Where the hell you are???


Sekalinya aku menemukan orang yang bisa menghilangkan sedikit kenanganku tentang Rega, dan aku menyia-nyiakannya begitu saja. Bahkan lebih tepatnya, aku tak tahu sama sekali, siapa dia, darimanakah dia dan akan kemanakah dia. Yang aku punya, hanya kenangan manis tentang kaleidoskop hujan, gerbong satu, dan secarik kertas uang mainan bergambar wajahku.


Kuambil secarik kertas dari kantong jeansku. Kuperhatikan sedikit ilustrasi bodoh uang-uangan hasil iseng ini. Hehe, sial, dia menggambarkan sosok tidurku ini jelek sekali. Bahkan ada cairan-cairan samar yang tampak keluar dari mulutku. Aku kan tak seperti itu. Dia hiperbola!


Ehm, sebentar, di bawah air-air liur menyebalkan yang ia gambarkan itu, terlihat segurat garis, lama-lama kuperhatikan dia membentuk nama. Tanda tangan kah??


Kubaca perlahan sembari duduk di tangga hijau Stasiun Gambir. Ini tanda tangan yang tak terlalu membingungkan, simpel dan sederhana. Pasti aku bisa membacanya. Pasti.


Ri, ri.... Rinda, rindu, rendi, ronda, rendra, ..... Oh, bukan. Rianda. Ya, nama pria misterius di gerbong satu itu adalah Rianda.

I think that possibly maybe I'm falling for you
Yes there's a chance that I've fallen quite hard over you.
- Landon Pigg - Falling In Love at The Coffee Shop

-bersambung-




~ (oleh heykandela)

Friday, 16 September 2011

#3 Pria Gerbong Satu

Pria gerbong satu. Itu saja julukannya. Aku bingung akan menamainya apalagi. Sepertinya dia semacam Charlie Chaplin atau Mr.Bean yang minim mengeluarkan kata dari mulutnya. Oh maaf, ralat, dia itu seperti patung yang baru belajar menjelma menjadi manusia, hanya sedikit bergerak ataupun berbicara. Kalimat terakhir yang muncul dari mulutnya adalah, "Sama-sama ya Mbak," dan aktivitas terakhir yang ia lakukan adalah menempelkan kertas bergambar senyum di kaleidoskop hujan, kaca kereta gerbong satu.


Kursi dan jendela kaca membentuk jarak, menyerupai semacam lubang intip. Di sana lah aku berusaha mendeteksi seperti apa rupa pria misterius yang telah menolongku tadi pagi. Bayangkan, sudah hampir setengah perjalanan – dari langit gelap, berganti menjadi gradasi biru ke ungu, hingga warna spektrum matahari terbias kabut pagi – aku masih belum sanggup menyapa atau sekedar melihat wajahnya. Hanya sepertiga. Bagian setengah senyuman, setengah batang hidung dan sebelah mata.


Berbagai cara kulakukan untuk mengintip sang superhero tiket yang satu ini, tapi hasilnya, NI – HIL ! Yang kudapatkan hanya pemandangan punggung yang terbalut jaket hitam, kulit tangan yang agak kecoklatan dan rambut panjang ikal terikat rapi. Dalam genggamannya, teronggok manis sebundel majalah berwarna kuning pada covernya. Sebuah majalah ternama, yang tak salah lagi, menjadi salah satu cita-cita tujuan pekerjaanku kelak – seorang travel writer.


So the point is, aku sedang berada dalam sebuah titik tertinggi rasa penasaran nan menggebu-gebu. Namun Sang Penasaran rupanya bertarung sengit dengan Si Gengsi yang terlalu tinggi dalam diri seorang Mirrabilly Shialava. Sial. Sepertinya dalam diriku, kedua pihak ini sedang baku hantam hingga lebam-lebam. Atau juga terjadi pertumpahan darah bak film-film perang seperti 300, Braveheart ataupun Bands of Brother.


Tengtengterengteng! Rasa gengsi mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Sang Penasaran mengalahkannya dengan telak. "Baiklah, ayo Mirabilly, kamu bisa!" ujarku dalam hati, seolah sedang membawa bambu runcing, maju menuju medan perang.


Sontak aku berdiri meninggalkan kursi F dan kaleidoskop hujan raksasaku. Sungguh, jika aku tak bisa menyapa sang misterius ini aku bersumpah akan membuat web atau blognya saat aku pulang nanti. Aku-ingin-menyapa-pria-gerbong-satu-dot-kom.


Kulangkahkan kaki menuju kursinya dan............ OK, baiklah, dia tidur saudara-saudara! Terlelap dengan wajah tertutup jaket, tangan menyilang dan bertumpu kaki. Sial. Mana bisa aku melihat sisa dua per tiga yang terhalang oleh kursi dan jarak-jarak tak menentu ini. Yang bisa kutangkap adalah, pria misterius ini bercelana jeans, so casual, dengan sepatu converse hitam putih semata kaki, sama persis dengan yang sedang kukenakan kali ini. Sisanya, aku hanya melihat tampak depan yang terbalut jaket hitam tebal.


Daripada terlanjur malu karena berdiri mendadak, aku pun berniat mengunjungi toilet yang terdepat di sambungan gerbong satu ke gerbong lainnya. Sial, sekalinya gengsi gue kalah, eh si bocah oknum pembuat peperangan ini malah tidur.


Kubuka pintu toilet perlahan. Baiklah, sebenarnya kan aku tak ingin buang air kecil atau apapun. Aku hanya duduk di atas kloset, dan melamun. Renungan kloset, demikian julukanku. Toilet, kloset dan hal-hal lain yang berbau sanitasi memang spot yang paling cocok untuk melambungkan awan-awan lamunan, atau bahkan keluhan dan air mata. Tak jarang aku menelepon Rega di sana. Atau hanya sekedar mengirim pesan dan berkata "Saya lagi renungan kloset lho". Bahkan kloset pun menyimpan kenangan bersama Rega. Rega is all around.


Sudahlah, 5 menit cukup untuk membuang semua keluhanku dan awan-awan lamunanku tentang Rega. Rega Petrichor, si pria pembuat kutukan gerimis yang hinggap di pori-pori kulitku, menyusup melalui tangkapan cahaya oleh pupil mataku, bahkan ikut masuk melalui gendang telingaku. Kenapa sih saya nggak bisa semudah itu ngelupain kamu, kaya kamu ngelupain saya?


Pintu toilet pun kubuka. Dengan wajah tertunduk dan lesu aku mengambil langkah keluar dari stainless flooring itu. Eh, sepertinya ada orang yang sudah menungguku keluar toilet dari tadi. Aku melihat sosok itu dari bawah ke atas, dalam slow motion style. Converse hitam-putih, jeans, T-Shirt tye-dye bergambar The Beatles, dan..... ya, itu dia. Sang pria misterius yang ingin kuucapkan kata terimakasih, karena telah menjadi penyelamat tiketku. Dia si pria gerbong satu.


Sesaat, waktu pun seakan terhenti. Freeze! Seperti di film-film layar lebar luar negeri. Angle kamera pun berubah-ubah. Diputar perlahan, masih dalam freeze motion. Wajahnya panjang sedikit membentuk persegi panjang. Matanya besar, bulat, namun agak menyipit ke arah pelipis. Menusuk, seperti elang. Rambutnya ikal menuju keriting, terikat konde dengan rapinya. Oh, inilah wajah asli sang pria gerbong satu.


Dia tersenyum. Senyuman yang ia lontarkan dari sela-sela kursi kereta. Bentuk bibirnya bahkan sama persis seperti bentuk smiley face yang ia gambarkan di kertas tadi. Senyuman sepertiga yang kini kulihat bersatu dengan dua per tiga bagian yang samar dari pandangan kursi F tadi. He has a very good way of smiling.



"Eung... mau ke toilet?" Tingtong! Pertanyaan bodoh malah kulontarkan dari mulutku. Bego! Bedon! Benga! Tolol! Jelas-jelas dia menungguku keluar dari toilet, karena dia juga berurusan dengan kloset, wastafel, tissue toilet dan lantai-lantai stainless kereta itu. Mirabilly, kamu suka bego deh.


"Iya..." suara berat itu terlontar lagi. Suara yang telah menolongku hari ini. Apakah dia superhero yang Tuhan kirimkan untukku, ataukah utusan planet hujan yang tak ingin aku mendayu-dayu pada sang pria gerimis?


Kembali ke dunia nyata, aku memasuki gerbong satu kembali. Rasa penasaranku sudah tuntas. Aku sudah melihat wajahnya. Dan mungkin dia sedang bergumul bersama awan-awan lamunan tentang Rega yang baru kutinggalkan di sana. Mungkin akan tetap di sana, atau akan kembali mengejar untuk menghantuiku kembali.


Sudahlah, hari ini, rehat sebentar ya awan-awan kenangan Rega. Aku lelah. Ingin istirahat, barang sehari saja. Ya?


Kembali menduduki kursi F di gerbong satu, kembali lagi menatap kaleidoskop hujan dengan titik-titik air yang mulai mengering, dibawa pergi oleh spektrum cahaya cantik untuk kembali menghadap istana hujan di atas awan. Kembali membenamkan diri dalam playlist gerbong satuku dalam iPod, dan memejamkan mata perlahan.


That my heart has been captured by your funny little smile

Finally I'm happy if only for a while.
#nowplaying Alexander Rybak – Funny Little World.


:)


-bersambung-




- (oleh @heykandela)